tirto.id - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) melakukan observasi ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di Jawa Tengah. Di sana, tampak ribuan sapi yang mencari makan sampah-sampah yang berserakan dan menggunung. Bahkan, sapi tersebut dijual ke masyarakat hingga dijadikan hewan kurban.
Pertama, AZWI melakukan observasi ke TPA Jatibarang, Semarang, Jumat (9/6/2023). Sekitar 1.500 lebih sapi menggantungkan hidup mereka dengan memakan sampah organik yang dibuang di TPA Jatibarang.
Itu merupakan pemandangan yang biasa ditemui para pemulung, petugas maupun pemangku kepentingan yang berkunjung ke sana.
"Iya, karena kan sudah insting-nya [aapi] senang sampah. Jadi kaya sampah sachet kecap-kecap gitu kan manis, jadi ikut kemakan sama sapinya. Begitu juga jenis sampah-sampah yang masih terbungkus plastik," kata staf AZWI, Siti Dzakiyyah kepada Tirto, Selasa (27/6/2023).
Para pemilik sapi mengaku kepada AZWI, hal tersebut telah dilakukan selama kurang lebih 20 tahun. Dimulai sejak pemerintah setempat memberikan bantuan kepada masyarakat berupa beberapa ekor sapi untuk diternakkan pada awal 2000-an.
Salah satunya Asnawi, warga Kecamatan Mijen, Semarang. Ia mengaku bapaknya merupakan penerima bantuan pertama. Lalu dipelihara hingga beranak banyak, beberapa diberikan kepada masyarakat yang belum punya, hingga sekarang jumlahnya ribuan pada generasi ketiga.
Asnawi yang akrab disapa Pak Kliwon mengaku, saat ini sapi yang dimilikinya berjumlah 10 ekor. Namun, jumlah tersebut bisa dibilang sedikit jika dibandingkan dengan sapi milik warga lainnya, yang jumlahnya puluhan hingga ratusan ekor untuk satu orang pemilik sapi.
Para pemilik membiarkan sapi mereka mencari makan sendiri ke TPA hingga petang dan pulang ke kandang. Kadang kala, sapi-sapi tersebut tidak pulang ke kandang, melainkan menginap di tumpukan sampah hingga keesokannya.
“Jika hal itu berulang, maka biasanya sapi akan tetap tinggal di TPA hingga laku terjual," ucapnya.
Kliwon menyadari, bahwa sampah organik bukan pakan yang baik untuk sapi-sapinya. Bahkan, acap kali sapi-sapi di TPA sakit dan mati mendadak karena ‘masuk angin’ alias kelebihan gas metana di dalam perut mereka. Sering juga mati karena tidak sengaja makan plastik.
Tak sedikit pula sapi-sapi mereka terluka bahkan tewas terkena alat berat yang beroperasi di TPA. Selama memakan sampah, badan sapi sulit berkembang. Jika seperti itu sapi langsung dipotong atau jual.
Tentunya harga jual sapi yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Salah satu rekan Pak Kliwon mengaku pernah menjual harga sapinya yang sakit seharga Rp7-10 juta per ekor, berbeda jauh dengan harga sapi normal yakni Rp20-25 juta per ekor. Pembelinya mayoritas dari luar Semarang, Jawa Tengah.
“Kalau yang Jatibarang sih pengakuan mereka engga ada yang mau beli kalau buat kurban, tapi dulu sempat ada. Karena ramai bahaya sapi makan sampah di TPA, jadi nggak ada yang mau beli lagi [buat kurban]," tuturnya.
Bukan hanya TPA Jatibarang, Semarang saja yang dijadikan tempat makan sapi. Melainkan juga di Kota Surakarta, tepatnya di TPA Putri Cempo. Namun kini jumlahnya terus berkurang hingga tersisa 200-300 ekor.
"Yang di TPA Putri Cempo, itu dijual buat kurban, sapi potong juga,” kata dia.
Selain di Semarang dan Solo, terdapat beberapa TPA yang dijadikan peternak untuk menggembala sapi, seperti TPA Sampah, Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta; Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Kampung Ciangir, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat; hingga TPA Alulim Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe.
Dampak ke Sapi & Manusia
Toxic Program Manager, Nexus3 Foundation, Nindhita Proboretno yang juga melakukan observasi mengatakan, sapi yang memakan sampah, dalam tubuhnya akan terkontaminasi sejumlah bahan kimia, seperti logam berat, merkuri, arsenik, limbah B3 (Bahan berbahaya, beracun), dan sebagainya.
Selain itu, tubuh sapi juga terkontaminasi mikroplastik atau plastik dalam ukuran kecil. Lalu, juga terkontaminasi Polutan organik yang Persisten (POPs).
"Dampak ke sapinya kelihatan nggak sehat, kurus, pasti amburadul ya. Fungsi organnya enggak maksimal, pasti beda sama sapi yang digembala di rumput. Kalau racun mah pasti ada," kata Nindhita kepada Tirto.
Koordinator AZWI ini juga mengaku telah mengirim sampel Pops pada sapi yang mengkonsumsi sampah plastik ke Taiwan. Namun dengan syarat harus bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan Lumpy Skin Disease (LSD).
"Ternyata sapinya positif [PMK dan LSD] sebelum dikirim. Akhirnya kami cari sampel ulang," ucapnya.
Ia menyatakan seharusnya tidak boleh ada penggembala sapi di TPA karena akan berdampak buruk pada kesehatan sapi dan manusia yang akan mengkonsumsi dagingnya.
“Pemda berusaha memindahkan sapi, itu yang harus dipikirkan, karena ada yang pemulung juga. Gimana solusinya nggak merugikan pemulung dan sapi, harus ada koordinasi antar instansi," tuturnya.
Sementara itu, Staf Program Kota Minim Sampah Yayasan Gita Pertiwi, Oktaviani Ikasari yang juga melakukan observasi mengatakan, sapi tersebut memakan segala jenis sampah, baik organik maupun yang bercampur dengan sampah anorganik seperti plastik, karet, benda logam, sehingga risiko mencemari pakan yang termakan sapi.
"Kandungan logam dan plastik ini termakan sapi, daging yang dikonsumsi jika mengandung mikroplastik jadi bisa masuk ke dalam tubuh manusia," kata Oktaviani kepada Tirto, Selasa (27/6/2023).
Ia pun meminta kepada pemerintah agar bisa meninjau ulang kembali kebijakan menggembalakan sapi di TPA. Apalagi yang dikhawatirkan masyarakat membeli sapi yang memakan sampah untuk hewan kurban.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan tahapan-tahapan mengurangi jumlah ternak sapi yang digembalakan di TPA menjadi sistem ternak sapi di kandang.
"Perlu meningkatkan kewaspadaan keamanan sumber daging atau perbaikan kebijakan produk pangan asal hewan," ucapnya.
Ketua Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia, Eddy mengatakan, jika logam berat bisa mengendap di dalam hati sapi.
Menurutnya, kontaminasi daging oleh logam berat dapat menjadi ancaman yang serius karena beberapa logam berat dapat bersifat toksik pada level tertentu. Logam berat dapat mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi sepanjang rantai makanan.
“Kalau logam berat bisa mengendap di hatinya. Yang paling sering bahaya cacing pita," kata Eddy kepada Tirto.
Standar Nasional Indonesia (2009) mempersyaratkan batas maksimum 1.0 mg/kg timbal (Pb) dalam daging dan produk daging, namun WHO, 1996 menetapkan standar yang lebih ketat, yaitu sebesar 0.10 mg/kg untuk daging dan 0.50 mg/kg untuk organ sapi yang dapat dikonsumsi.
Asupan mingguan untuk orang dewasa yang ditoleransi sebesar 0.005 mg/kg dengan berat badan 70 kg. Tempat penyerapan Pb pertama kali melalui plasma dan membran jaringan lunak, selanjutnya didistribusikan ke bagian-bagian dimana kalsium memegang peranan penting.
Timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan dan makanan. Konsumsi timbal dalam jumlah banyak secara langsung menyebabkan kerusakan jaringan, termasuk kerusakan jaringan mukosa.
Sistem yang paling sensitif adalah sistem sintesis jaringan darah (hematopoietik) sehingga biosintesis haema terganggu. Semua sel-sel yang sedang aktif berkembang sensitif terhadap timbal.
Masyarakat yang mengkonsumsi bahan pangan berupa daging yang tercemar kandungan logam berat Pb dalam jumlah yang banyak maka dapat berpengaruh terhadap tubuh karena menghambat kerja enzim dan menyebabkan kerusakan sel.
Sifat-sifat membran dari dinding sel akan rusak karena pengikatan dengan timbal sehingga aktivitas sel dapat terganggu. Kondisi yang akut dapat menyebabkan kerusakan perut dan usus, gagal kardiovaskular seperti jantung dan pembuluhnya, dan gagal ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian.
"Bisa terakumulasi dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi," ucapnya.
Respons TPA & Pemerintah
Menanggapi adanya sapi di TPA, Kepala UPT TPA Jatibarang, Wahyu Heryawan mengaku sudah mengimbau dan mensosialisasikan kepada para pemilik sapi agar tidak lagi melepasliarkan sapi-sapi mereka di TPA.
Hal ini merupakan dampak dari merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak, khususnya sapi. Selain itu, sapi-sapi yang dilepas bebas di TPA Jatibarang dinilai tidak sehat, karena mengonsumsi plastik dan sampah lainnya.
“Kami sudah sosialisasikan bahkan memberikan solusi untuk warga agar segera dipindahkan ke tempat yang sudah disediakan. Namun warga keberatan karena lokasinya cukup jauh, (karena) mereka biasanya hanya dilepas liar, kalau jauh kan mereka tentu harus kontrol dan cari pakan baru,” kata Wahyu melalui keterangan tertulis AZWI dikutip Selasa (27/6/2023).
Ketua Satgas untuk Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Suharyanto mengimbau agar memastikan keadaan hewan yang akan disembelih saat kegiatan Iduladha dalam keadaan sehat dan tidak terpapar penyakit PMK serta penyakit hewan lainnya.
Ia juga turut mengingatkan tentang pentingnya menggencarkan vaksinasi PMK. Selanjutnya, pada tahun ini, aturan lalu lintas hewan kurban akan diatur dalam beberapa regulasi.
Di antaranya adalah Fatwa MUI Nomor 34 Tahun 2023 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Merebaknya Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) dan Antisipasi Penyakit Peste Des Petits Ruminants (PPR) pada Hewan Kurban, Peraturan Kementrian Pertanian Nomor 17 Tahun 2023, serta SE Satgas PMK No. 1 Tahun 2023 yang baru saja diterbitkan hari ini (26/06/2023).
Berdasarkan Fatwa MUI, hewan ternak yang sah sebagai hewan kurban antara lain adalah hewan yang sehat, tidak cacat (buta, pincang, tidak terlalu kurus, tidak sakit, dan cukup umur), hewan terjangkit LSD ringan (benjolan belum menyebar dan tidak berpengaruh pada kerusakan daging), hewan terjangkit PPR ringan (Gejala klinis yang ditandai demam suhu 39-40 dan tidak menunjukkan gejala yang parah).
"Selain itu, hewan yang pada tubuhnya terpasang eartag atau penanda lain sebagai identitas hewan dan informasi status vaksinasi, tetap sah digunakan sebagai hewan kurban," kata Suharyanto melalui keterangan tertulisnya, Selasa (27/6/2023).
Per 22 Juni 2023, tren penambahan kasus aktif terpantau mengalami penurunan dengan sisa kasus aktif sebesar 4.499 dari total 630.436 kasus.
Ia melanjutkan, SE Satgas PMK No. 1 Tahun 2023 yang merujuk kepada Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 17 Tahun 2023 menjelaskan beberapa bentuk relaksasi lalu lintas hewan dan produk hewan rentan PMK.
Perubahan pertama adalah dihapuskannya ketentuan wajib karantina 14 hari sebelum keberangkatan bagi hewan rentan PMK yang akan dilalulintaskan di dalam negeri dengan tetap diawasi oleh pejabat karantina berwenang di entry/exit point dan pejabat otoritas veteriner (POV) atau dokter hewan berwenang setempat.
Selanjutnya, terjadi perubahan status zonasi daerah dari yang sebelumnya terdiri atas zona hijau, zona putih, zona kuning, dan zona merah menjadi daerah bebas PMK, daerah terduga PMK, daerah tertular PMK, dan daerah Wabah PMK.
Aturan yang membedakan dengan aturan sebelumnya adalah adanya ketentuan kewajiban melampirkan hasil analisis risiko yang sesuai dengan ketentuan pada Permentan No. 17 Tahun 2023 bagi hewan dan produk segar rentan PMK yang akan dilalulintaskan dari Daerah Bebas PMK menuju Daerah Wabah PMK, Daerah Terduga PMK menuju Daerah Bebas PMK dan Daerah Wabah PMK, Daerah Tertular PMK menuju Daerah Bebas PMK, Daerah Terduga PMK, dan Daerah Wabah, serta Daerah Wabah PMK menuju seluruh Daerah.
Satgas yang menangani PMK bersama dengan Badan Karantina Pertanian yang didampingi oleh BPBD, UPT Karantina Pelabuhan, serta Dinas setempat yang menaungi urusan peternakan dan kesehatan hewan juga melakukan peninjauan lapang ke 5 pelabuhan utama di Indonesia pada 25 - 27 Juni 2023.
Hal ini dilakukan, guna memantau secara langsung penerapan kebijakan dan proses pengawasan lalu lintas ternak khususnya hewan kurban agar aman dari PMK.
“Dengan menerbitkan Surat Edaran ini dan dilaksanakannya peninjauan lapang, kami imbau agar stakeholder terkait dapat segera menyesuaikan aturan serta selalu berkoordinasi satu sama lain agar implementasi aturan di lapangan menjadi lebih efektif dan harmonis. Saya berharap kegiatan kurban di tahun ini dapat berlangsung dengan lancar." tuturnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz