tirto.id - “Saya takut digusur. Terus saya tinggal di mana? Uang nggak punya. Saya pikirin cucu saya yang masih kecil-kecil," kata Rosminah (60) dengan wajah memelas kepada reporter Tirto di Kampung Kolong Tol Angke 2, Jakarta Barat, Selasa (20/6/2023).
Siang itu, sekitar pukul 14.30 WIB, Rosminah bercerita tinggal di pemukiman Kolong sejak 2012. Ia membeli bangunan berbahan triplek bak rumah bedeng seharga Rp2 juta dari teman suaminya dengan cara dicicil.
Totalnya empat pintu. Dengan dua pintu saling berhadapan dan dipisahkan sebuah lorong jalan untuk warga melintas, tetapi dengan cara membungkuk.
Lantainya beralaskan semen dan sebagian keramik. Sedangkan atapnya adalah pondasi jalan tol yang dilintasi mobil. Di depan rumahnya begitu temaram, bahkan nyaris gelap karena berada di kolong tol dan minim penerangan. Hanya dari pantulan cahaya matahari.
Sebelumnya ia tinggal di Kampung Gusti Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, dekat Hotel ATT dengan membayar biaya sewa sebesar Rp600.000 per bulan. Dengan pertimbangan lebih efisien, ia memilih pindah ke Kampung Kolong.
Akhirnya ia bersama keluarganya bisa tinggal di Kampung Kolong dengan luas sekitar 100 meteran. Di sana, ia tinggal bersama suami, tiga anak, lima cucu, dan dua mantu. Cucunya yang paling kecil berusia 1 tahun 4 bulan.
"Ya lebih enak tinggal di sini. Tinggal cari buat makan, nggak perlu bayar kontrakan, jadi anak dan cucu bisa makan tiga kali walau garem, ikan asin, sayur asem. Saya sudah bahagia banget lah lihat cucu makan," ucapnya.
Selama tinggal di Kolong Tol Angke 2, perempuan yang telah menginjak usia lansia itu berusaha menerima dengan legowo. Meski kondisi pemukimannya engap dan lembab, suara berisik dari getaran mobil yang melintas dari atas plafon dan debu jalanan.
Ketika turun hujan deras, kata Rosminah, Kampung Kolong hanya becek saja, tidak sampai terjadi banjir. Padahal berdasarkan pemantauan Tirto, Kampung Kolong berada di dataran rendah dan hanya berjarak 100 meter dari Sungai Ciliwung.
“Kalau becek, kami akalin pakai batu-batu biar bisa jalan. Hidup di sini apa adanya saja, kami bersyukur ada tempat, ada rejeki buat makan. Dikasih kesehatan, itu bersyukur," tuturnya.
Selama tinggal di pemukiman tersebut, ia mengaku tak pernah mengalami sakit yang berarti seperti sesak, gatal-gatal, dan sejenisnya yang memungkinkan di usianya yang sudah sepuh rentan mengalami.
"Saya dari dulu sudah ada lemah jantung pas di Kampung Gusti. Selama tinggal di sini sudah biasa," klaimnya.
Akan tetapi, di Kampung Kolong tak memiliki fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes). Ketika sakit, Rosminah masih bisa menggunakan obat warung. Tetapi jika penyakitnya parah, ia terpaksa harus ke Puskemas yang berada di wilayah Teluk Gong dengan transportasi bajaj dengan biaya Rp15 ribu dengan jarak tempuh sekitar 30 menit.
"Buru-buru naik bajaj biar dapat antrian di Puskesmas. Pulangnya ya saya jalan," tuturnya.
Ketika awal tinggal di Kampung Kolong, ia mengaku cukup kesulitan ketika melewati setiap lorong karena harus membungkuk. Bahkan, kepalanya sering terpentok sehingga mengalami pusing hingga benjol.
“Dulu almarhum bapak sering ke sini nengokin cicitnya. Sering kejedot, kepalanya benjol, pernah bocor. Terus nggak ke sini-sini lagi," tuturnya.
Selama tinggal di pemukiman tersebut, Rosminah masih ber-KTP di kediamannya yang sebelumnya yakni Jelambar, Jakarta Barat. “Kalau di sini [Kampung Kolong] nggak ada KTP-nya," imbuhnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Rosminah dan keluarganya mencari pundi-pundi rezeki dari hasil sang suami memulung. Ia pun terkadang membantu mencari barang-barang bekas seperti botol, kaleng, ember, hingga kardus.
Barang tersebut dijual sekilo mulai dari Rp500 hingga Rp700. Perbulan, mereka mendapatkan penghasilan hanya ratusan ribu. Barang-barang bekas tersebut ia simpan di belakang rumah yang dimasukkan karung.
Ia mengatakan, kebanyakan warga Kampung Kolong mencari rezeki dengan cara memulung.
"Kadang sedih mas kalau lagi mulung dilihat teman. 'Lo mulung yee'," kata Rosminah menirukan pertanyaan satire sang teman. Namun ia tak peduli, selagi usahanya mencari rezeki itu halal.
Selain itu, Rosminah juga menjadi tukang cuci gosong dengan upah sebulan Rp350 ribu. Lalu, ia juga menjual gorengan keliling dengan harga Rp2.000.
Selama tinggal di pemukiman tersebut, ia mengaku belum pernah menerima bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. "Adanya sembako, nggak ada bansos. Ya tiba-tiba ada saja yang kasih, kami dipanggil ke atas. Dari orang gitu. Tapi bukan bansos," tuturnya.
Sementara untuk akses pendidikan, Kampung Kolong memiliki lembaga pendidikan sendiri yang diberi nama "Sekolah Domba Kolong.” Kedua cucunya yang masih TK dan kelas 3 SD disekolahkan di tempat itu secara gratis.
Lalu terdapat Musala Al-Falaq untuk aktivitas warga yang beragama Islam untuk beribadah.
Ia tak terbayang jika suatu saat pemukimannya itu akan digusur. Sebab, saat ini dari Wali Kota Jakarta Barat tengah melakukan pendataan terhadap para warga.
Apabila direlokasi ke daerah lain, ia berpikir biaya ganti ruginya tak akan besar dan hanya untuk beberapa waktu saja. Namun, jika pulang ke kampungnya di Rangkasbitung, ia tak memiliki usaha maupun tanah garapan untuk pertanian.
"Saya berdoa, ya Allah semoga di sini jangan digusur. Kalau digusur, saya mau tinggal di mana," kata dia mengungkapkan kekhawatirannya.
Pada waktu yang sama, Ani (40) juga menceritakan sedikit tentang keresahannya menjadi pemulung bersama sang suami. Sama seperti Rosminah, pendapatannya juga minim.
Namun berbeda dengan Rosminah, ia harus membayar kontrakan sepetak seharga Rp350.000 perbulan. Selebihnya, ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Yang penting bisa buat beli ikan asin," ucap Ani.
Ani bersama sang suami baru tinggal di Kampung Kolong tiga bulan belakangan. Mereka merantau dari Wonosobo, Jawa Tengah untuk mengadu nasib.
Rosminah mengatakan, beberapa warga kebanyakan bekerja sebagai pemulung. Kami bertiga berbincang di depan teras rumah Ani dengan beratapkan pondasi jalan Tol Angke 2.
Di akhir perbincangan, keduanya meminta agar gambar mereka tidak diambil. Namun, mempersilakan jika saya mengambil foto di sekitar pemukimannya.
“Soalnya banyak keluarga yang nggak tahu saya tinggal di sini. Kalau nanti foto saya viral, nanti saya disuruh pulang," kata dia. Demi kenyamanan narasumber, saya tidak mengambil gambar mereka berdua.
Kondisi yang dirasakan oleh mereka memang benar adanya. Saya tiba di depan Kampung Kolong sekitar pukul 13.30 WIB. Di sana, terdapat sekumpulan orang dengan pakaian organisasi masyarakat (ormas) Laskar Merah Putih.
Mereka berjaga di pos yang jaraknya sebelah pintu masuk Kampung Kolong. Ketika ingin masuk, saya dan beberapa awak media sempat dilarang masuk. Namun setelah negosiasi akhirnya diizinkan, namun hanya sebentar untuk keperluan mengambil gambar.
Saya pun mencoba masuk melalui sela-sela tembok beton pembatas jalan raya dengan Kampung Kolong yang hanya muat dilewati oleh satu orang saja. Setelah berjalan lima meter, terlihat sebuah lubang yang cukup besar yang merupakan pintu masuk Kampung Kolong.
Ketika masuk ke dalam, saya harus membungkuk melewati lorong. Jalan setapak demi setapak sekitar 10 meter untuk masuk ke dalam. Di dalam lorong itu, kondisinya begitu pengap dan minim oksigen. Bahkan gelap.
Setelah melewati lorong, saya tiba di jalan setapak warga yang lokasinya berada di tengah-tengah Kolong Tol Angke. Ketika saya ingin meminta izin untuk wawancara, salah satu warga mengimbau agar meminta izin kepada Kepala Sekolah Domba Kolong, Indah terlebih dahulu.
Ketika dihubungi untuk meminta izin, Indah tengah ada giat. "Saya lagi rapat dengan Pak Walikota. Izin nanti ya," kata Indah kepada Tirto, Selasa (20/6/2023).
Sambil menunggu kabar, saya pun menyusuri Kampung Kolong hingga ujung yang jaraknya sekitar 150 meter. Jalannya beralaskan aspal yang sudah pecah-pecah. Di pinggir jalan terdapat selokan untuk sanitasi. Saya mencium aroma yang tak sedap.
Sebelahan kanan dan kiri tampak pemukiman warga yang tinggal di kolong jalan tol. Rata-rata rumahnya berbahan kayu bak rumah bedeng. Beberapa saja menggunakan semen. Di sebelah kiri, terdapat Sekolah Domba Kolong dan Masjid Al-Alaq. Tepat di atas masjid, terlihat pelang Tol Angke bertuliskan Km 17.
Untuk kebutuhan air sehari-hari, mereka menimba dari sumur yang dibor. Sementara itu untuk listriknya, mereka tak menjelaskan secara rinci.
Jika dilihat memang tampak miris. Di tengah kemegahan Jakarta sebagai ibu kota, dan menyambut HUT ke-496, terdapat pemukiman warga yang jauh dari kata layak.
Alasan Warga Halangi Media
Rian, salah satu warga bersama ormas Laskar Merah Putih yang menghalangi awak media mengaku meminta maaf atas perbuatannya. Ia mengaku hanya menjalankan tugas.
Alasannya melakukan penggalangan lantaran warga Kampung Kolong takut akan dilakukan penggusuran ketika beritanya terus diangkat oleh media.
“Kami menjalankan tugas kami. Anda pun menjalankan tugas abang. Jadi mohon maaf sebesar-besarnya. Jadi jangan kita besar-besarkan lah, nggak ada hasilnya gitu. Jalankan apa kehidupan kita masing-masing aja," kata Rian kepada awak media di lokasi, Selasa (20/6).
Dirinya berharap agar jangan sampai dilakukan penggusuran di Kampung Kolong. Sebab, baru mendengar isunya saja warga sudah ketakutan.
Ia juga mengimbau kepada donatur hingga artis yang mau membantu warga kampung kolong agar tidak perlu diekspos ke media sosial. Sebab sekali lagi, jika terekspose dan dibesarkan, Kampung Kolong berada dalam ancaman penggusuran.
Ia menginginkan agar warga yang mayoritas bekerja sebagai petani, pedagang, hingga sopir bajaj itu tetap bertahan di Kampung Kolong.
Berunding dengan Warga
Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mengatakan, warga Kampung Kolong merupakan warga Kali Jodo yang sempat direlokasi ke Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, namun kembali lagi.
"Jadi contoh kesekian bahwa penggusuran tidak pernah jadi solusi. Terbukti orangnya balik lagi ke dekat-dekat situ [Kali Jodo lokasi penggusuran]," kata Elisa kepada Tirto, Selasa (20/6/2023).
Menurutnya, penggusuran paksa tidak akan menjadi solusi untuk warga dan hanya akan memindahkan masalah.
Apabila ingin melakukan penggusuran pun, Elisa meminta kepada pemerintah tidak boleh melakukan keputusan tunggal dan perlu duduk bersama dengan warga untuk merumuskan masalah dan jawabannya.
“Karena kalau cuma dipindahkan ke rusun, pasti akan keluar lagi dan pindah ke tempat yang seperti itu. Karena masalah tidak bisa mencari uang,” kata Elisa.
Sementara itu, Pengamat Tata Kota, Nirwono Yoga meminta menertibkan pemukiman liar seperti Kampung Kolong secara bijak dan manusiawi. Mereka diberi pilihan, jika ber-KTP DKI dapat dipindahkan ke rusun terdekat. Jika tidak ber-KTP DKI, mereka diberi uang kerohiman bekal pulang kampung.
“Skema pembiayaan sewa di rusun harus dirundingkan," kata Nirwono kepada Tirto.
Selain itu, warga di rusun juga disertai pendampingan untuk berusaha mencari peluang kerja dari pemda sehingga memungkinkan mereka memiliki penghasilan tetap untuk membayar sewa.
“Setelah penertiban kawasan, harus dikosongkan dan dijadikan ruang terbuka hijau dan dijaga ketat Satpol PP atau kelurahan setempat agar mereka tidak kembali ke sini atau ada warga lain yang mencoba bermukim disini,” kata dia.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi menilai, permukiman warga di kolong Tol Angke sebagai masalah klasik yang hingga saat ini tidak dapat diselesaikan Pemprov DKI. Dia menilai keterlibatan Pemprov DKI kurang dalam persoalan ini.
“Kalau ada pemerintah di dalam situ orang nggak mungkin [tinggal disitu]. Entar tiba-tiba dikasih listrik. Ya manjang dia di situ. Nah yang kaya gitu pemerintah harus ada," kata Prasetyo di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Selasa (20/6/2023).
Politikus PDI-P itu menyatakan, Pemprov DKI harusnya mampu mengatasi keberadaan permukiman di kolong Tol Angke bersama jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang ada.
“Tinggal komunikasi dengan aparat terkait, ngomong di sosialisasikan," ucapnya.
Menurutnya jika terus dibiarkan, warga yang tinggal di pemukiman kolong Tol Angke 2 akan dalam bahaya. “Kalau dia tiba-tiba kebakaran. Kan dulu pernah kebakaran tuh dulu di jembatan kolong, ada yang retak kolong tolnya," jelas dia.
Pemkot Jakarta Barat Sedang Mendata
Wakil Wali Kota Jakarta Barat, Hendra Hidayat mengaku pihaknya saat ini tengah melakukan pendataan terhadap warga yang menghuni di Kampung Kolong Tol Angke 2 itu. Hasilnya, memang didapati warga asli Jakarta maupun pendatang.
“Tentunya kalau misalnya sudah ada, kami akan lakukan penanganan," kata Hendra di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2023).
Ia pun mengatakan pada Senin (19/6) siang telah dilakukan pertemuan dengan pihak terkait untuk membahas langkah lebih lanjut. "Kami lagi koordinasikan ya," ucapnya.
Dihubungi terpisah, Lurah Jelambar Baru, Danur Sasono mengatakan, berdasarkan pendataan awal yang dilakukan pihaknya pada Senin (19/6), setidaknya terdapat 31 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di kolong tol tersebut dengan total 108 orang.
Mereka berstatus KTP DKI Jakarta bahkan ada juga yang pendatang. Sedangkan untuk bangunannya kurang lebih sebanyak 64 rumah.
Meski begitu, lanjut Danur, jumlah tersebut belum sepenuhnya valid. Hal itu lantaran masih banyak warga yang belum terdata saat petugas datang.
“Hari ini kita data lagi, karena kemarin ada [warga] yang bekerja dan engga di lokasi. Nanti teman-teman dari kelurahan ke sana lagi pendataan ulang," kata Danur kepada wartawan, Selasa (20/6/2023).
Ia menuturkan lahan yang ditempati warga tersebut milik PT Jasa Marga. Sehingga, persoalan terkait hal itu akan dibahas dalam rapat antara Pemkot Jakarta Barat dan PT Jasa Marga.
“Jadi kalau tugas kami, mapping yang di dalam situ. Di situ siapa saja, baru bisa keliatan yang mana pendatang dan ber-KTP DKI," ucapnya.
Selain itu, terdapat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI juga yang melakukan pendataan. Seperti Dinas Pendidikan (Disdik) DKI yang mendata "Sekolah Domba Kolong" yang dijadikan warga sebagai fasilitas pendidikan.
Ia menjelaskan, mereka sebelumnya tinggal di Kampung Kalijodo, Jakarta Utara. Namun ia menuturkan warga tersebut sudah lama dipindahkan dari Kampung Kalijodo pada 2015.
Sejauh ini, ia masih menunggu arahan dari Wali Kota Jakarta Barat perihal nasib warga apakah akan tetap bertahan atau direlokasi di tempat hunian lain yang layak.
“Kalau kayak gitu belum ada arahan, kan, nunggu pimpinan dari pak Wali Kota, belum ada rapat lanjutan soal itu," tuturnya.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan saat ini terdapat organisasi masyarakat Laskar Merah Putih yang berjaga di depan pintu untuk akses keluar masuk warga. “Kalau ormas, kan, kadang ada lahan kosong berdiri, gitu-gitu modelnya. Penjagaan juga nggak sampai mereka berkuasa di situ, nggak juga sih," tegasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz