tirto.id - Pemandangan tumpukan sampah yang menggunung terlihat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur. Kawanan burung kuntul putih (babulcus ibis) tampak terbang di area sekitar TPA tersebut. Mereka mencari makan di atas tumpukan sampah yang menjulang tinggi itu.
Sekitar pukul 4 sore, saya coba mendekati. Aroma tak sedap cukup menyengat. Terlihat sampah sisa makanan, plastik, kertas, batang pohon serta dedaunan, dan sampah jenis lainnya.
TPA Jabon menampung sekitar ratusan ton sampah masuk dari Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur setiap harinya di tempat tersebut. Mulai dari rumah tangga, mal, hingga rumah makan.
"Kami mungkin per harinya [dapat menampung] 500 ton lah. Karena masuk dari satu Kabupaten Sidoarjo," kata peralatan teknis dan mesin di TPA Jabon, Opi Wisnu Broto di lokasi, Senin (6/2/2023).
Biasanya para pemulung yang membantu untuk mengurangi jumlah sampah. Mereka mencari sampah yang masih memiliki nilai ekonomis, seperti gelas atau botol plastik, kardus, dan sejenisnya.
Sampah yang terdiri dari sisa makanan hingga plastik itu pun masuk ke dalam mesin sortir untuk diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya. Setelah itu, residunya akan diolah dengan teknologi Refuse-derived fuel(RDF)Plants.
Terdapat tiga jenis sampah yang dihasilkan dari RDF tersebut, yakni serbuk halus menyerupai batu bara, flav, dan briket. Dari hasil tersebut nantinya bisa digunakan sebagai pupuk hingga bahan bakar campuran batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Produk ini biasa menjadi permintaan PLTU, termasuk PLTU Paiton dan PLTU Tanjung Awar-Awar.
“Kami mengikuti campuran di PLTU, kita menyesuaikan [permintaan PLTU]. Kenapa? Karena saat dilakukan proses pencampuran, kan, bisa homogen. Kami nggak bisa lebih besar atau nggak," ucapnya.
Saat ini hasil RDF tersebut melalui proses uji coba ke beberapa PLTU di Jawa Timur, seperti PLTU Paiton dan PLTU Tanjung Awar-Awar. Uji coba ini bertujuan mengetahui kadar kandungan briket apakah telah memenuhi standar bahan bakar pengganti batu bara oleh PLTU.
Lebih lanjut, petugas TPA Jabon bernama Afif mengatakan limbah berbentuk air lindi yang dihasilkan dari sampah pun tidak dibuang begitu saja. Air lindi itu mereka tampung di sebuah selokan yang mengalir ke Leachate Treatment Plant (LTP).
Ia menjelaskan air lindi tersebut diproses melalui tiga tahapan agar limbah tersebut dapat dinetralisir dan ketika dibuang ke sungai tidak melakukan pencemaran terhadap biota.
“Inti dari semua ini agar tidak mencemari lingkungan, agar air lindi bisa dibuang ke sungai memenuhi baku mutu," klaimnya.
RDF Jadi Solusi Semu
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengkritik mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar seperti RDF. Anggota AZWI, Hermawan Some juga ikut menginvestigasi saat melakukan peninjauan ke TPA Jabon Sidoarjo, Jawa Timur.
Hermawan yang juga Founder Nol Sampah menilai, pengolahan sampah tersebut merupakan solusi semu dan palsu terkait pengolahan sampah perkotaan.
Ia mengatakan meski cara tersebut dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang menumpuk, "namun memiliki dampak negatif pada lingkungan sehingga disebut sebagai false solution management atau solusi palsu dan semu pengolahan sampah perkotaan," kata Hermawan di kawasan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa (7/2/2023).
AZWI merupakan organisasi yang terdiri dari YPBB, GIDKP, Nexus3 Foundation, PPLH Bali, ECOTON, ICEL, Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan WALHI.
AZWI mengkampanyekan implementasi konsep Zero Waste yang benar dalam rangka pengarusutamaan melalui berbagai kegiatan, program, dan inisiatif Zero Waste yang sudah ada untuk diterapkan di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia dengan mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan ekonomi sirkuler.
Ia mengatakan RDF juga bisa disebut sebagai pengolahan sampah secara termal.
Dia menuturkan pengolahan sampah secara termal harus merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal.
Pengolahan sampah secara termal hanya dapat dilakukan terhadap sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga yang tidak mengandung B3, Limbah B3, kaca, Poli Vinyl Clorida (PVC), dan aluminium foil.
“Saat ini sampah kita belum terpilah. Siapa yang bisa menjamin B3, vinyl, PVC, kaca dan aluminium foil ikut dibakar tidak menimbulkan racun?” kata pria yang akrab disapa Wawan itu.
Berdasarkan Permen LHK 70/2016, pengolahan sampah secara termal memiliki baku mutu emisi usaha dengan parameter:
- Total Partikulat 120 mg/Nm3;
- Sulfur Dioksida (SO2) 210 mg/Nm3;
- Oksida Nitrogen (NOx) 470 mg/Nm3;
- Hidrogen Klorida (HCl) 10 mg/Nm3;
- Merkuri (Hg) 3 mg/Nm3;
- Karbon Monoksida (CO) 625 mg/Nm3;
- Hidrogen Fluorida (HF) 2 mg/Nm3;
- Dioksin & Furan 0,1 ng/Nm3.
“Pertanyaannya, apakah mereka sudah melakukan uji coba itu secara legal maupun ilegal? Harus dibuka proses pengambilan data hingga hasilnya," tegas dia.
Kemudian KLHK juga membuat Peraturan Menteri (Permen) KHLK 26/2020 Tentang Penanganan Abu Dasar dan Abu Terbang Hasil Pengolahan Sampah Secara Termal.
Berdasarkan pasal 4 Permen KLHK 26/2020, penanganan abu dasar harus dilakukan dengan pemanfaatan dan pemrosesan hasil akhir. Bisa digunakan sebagai bahan dasar jalan, bahan baku semen, dan pemanfaatan lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Biasanya, plastik yang dibakar akan menghasilkan abu sebesar 10-20%. Sementara itu, di Surabaya ini pembangkit listriknya adalah 1.000 ton per hari. Artinya, akan ada sekitar 100-200 ton abu setiap hari.
“Di kemanakan? Kita gak pernah dapat informasi. Saya cari informasi juga masih nggak tahu. Pemanfaatan harus dilakukan hati-hati," ujarnya.
Wawan mengatakan saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) terdapat di 12 kota di Indonesia, terhitung sejak 2019-2022 guna menyelesaikan persoalan sampah yang menumpuk.
PLTSa itu tersebar di Palembang, Jakarta, Bekasi, Tanggerang, Tanggerang Selatan, Bandung, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, dan Makassar.
Sebelum di 12 kota, awalnya terdapat 10 PLTSa. Ia menceritakan sebelumnya pernah menggugat 10 PLTSa ke Kemenkumham.
"Setahun kami nggak bisa kerja. Akhirnya menang. Begitu menang, sebulan berikutnya keluar Permen [Peraturan Menteri] baru dengan jumlah kota yang tadinya 10 jadi 12," ucapnya.
Ia menjelaskan PLTSa Surabaya bisa menghasilkan 1.000 ton dalam sehari. Biaya untuk menghasilkan listrik per ton sebesar Rp500.000. "Berarti Rp500 juta yang harus dikeluarkan untuk bikin listrik dari sampah," ucapnya.
Ia mengatakan pemerintah pusat memberikan subsidi kepada pemerintah daerah sebesar Rp500.000 per ton sampah yang dikumpulkan oleh PLTSa. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 35 Tahun 2018.
“Jadi ada dana lebih besar yang untuk dikasih ke Surabaya kemarin, kenapa di Surabaya bisa jalan," jelas dia.
Ia mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah melakukan kajian kelistrikan mengenai pengelolaan sampah untuk energi listrik terbarukan. Berdasarkan kajian KPK, terjadi sejumlah permasalahan atas hal tersebut.
Tidak ada jaminan kelanjutan dan besaran Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) setiap tahunnya. Bantuan APBN (BLPS) melalui mekanisme dana alokasi khusus (DAK) Non Fisik tidak pasti diterima oleh daerah setiap tahun, bergantung kebijakan pusat; jumlah yang ditetapkan maksimal 49% dari total tipping fee; dan 2019 hanya dianggarkan sebesar Rp26,9 M
Kemudian tarif beli listrik memberatkan PLN. Berdasarkan perhitungan sementara dari PLN dengan tarif yang tercantum dalam Perpres 35 Tahun 2018, diproyeksikan selisih harga yang akan ditanggung oleh PLN mencapai Rp1,6 triliun per tahun untuk total 244,5 Mega Watt (MW). Tidak ada kebutuhan supply listrik baru di Jawa-Sumatera, reserve margin sudah mencapai 30%.
Lalu, KPK memberikan kesimpulan dan rekomendasi. Perpres 35/2018 tidak cukup operasional dan memiliki banyak kelemahan: Pertama, take or pay 3 pihak hanya menguntungkan swasta, sedangkan supply sampah dan listrik belum pasti tersedia dan risiko operasional dibebankan ke pemda dan PLN.
Kedua, kekuatan anggaran pemda belum ada dan anggaran dalam APBN belum tentu tersedia, sehingga selisih tarif listrik PLTSa dibebankan ke PLN. Ketiga, belum ada kasus teknologi PLTSa yang sudah terbukti terimplementasi, sebaiknya dibuka opsi teknologi waste to energy.
"KPK mengeluarkan peringatan bahwa PLTS berpotensi kerugian. Kenapa? Karena pasti akan mahal," tuturnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan RDF terdapat dua model: briket dan serbuk yang mirip batu bara. Model briket memiliki kandungan 95% organik dan 5% plastik. Perlu ditambah plastik agar kalorinya tidak rendah.
"Kalau lebih dari 5%, maka akan lengket di tungku pembakar batu bara. Jadi akan ada biaya khusus yang dikeluarkan untuk membersihkan plastik-plastik yang lengket," ucapnya.
Ia juga mengatakan sampah juga digunakan sebagai bahan baku campuran metodeco-firing. Dicampur dengan limbah kayu atau pellet. Sampah dicampurkan 1% hingga 5%. Program co-firing dilakukan PLN di 54 lokasi PLTU di Indonesia hingga 2024.
Sampah sebagai bahan baku pellet saat ini memiliki volume sebesar 20.925 ton per hari yang terkonsentrasi di 15 tempat pengelolaan sampah kota, di antaranya DKI Jakarta (7.000 ton/hari), Kota Bekasi (1.500 ton/hari), Kabupaten Bekasi (450 ton/hari), Batam (760 ton/hari), Semarang (950 ton/hari) hingga Surabaya (1.700 ton/hari).
Nilai kalori pengelolaan sampah yang dihasilkan sekitar 2.900 - 3.400 Cal/grm.
Pada waktu yang sama, Anggota AZWI, Eka Chlara Budiarti mengatakan, RDF memang merupakan salah satu cara untuk menangani sampah di Indonesia dan alternatif pengganti batu bara.
Namun, kata dia, ketika RDF yang memiliki kandungan plastik menjadi bahan bakar, zat-zatnya terlepas ke udara. Hal itu menjadi emisi beracun dan bottom ash yang akan menciptakan dan menyebarkan bentuk baru limbah beracun di masyarakat.
Ia juga mencontohkan pabrik tahu sebuah pabrik bernama Dua Bersaudara - DY. Pabrik itu berada di Desa Klagen Tropodo, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur yang menggunakan bahan sampah plastik sebagai bahan bakarnya.
Citizen Science Coordinator dari ECOTON ini menyatakan, sampah plastik yang dibakar itu tidak akan hilang. Melainkan abu pembakarannya menjadi partikel-partikel kecil atau mikroplastik. Zat yang terkandung dalam mikroplastik itu akan berdampak terhadap pada perubahan iklim, kesehatan, dan lingkungan.
Ia menjelaskan pembakaran sampah plastik menghasilkan emisi karbon yang dapat mempengaruhi perubahan iklim. Karena emisi gas pembakaran tersebut akan membentuk selubung di atmosfer sehingga energi panas yang seharusnya dikeluarkan, justru terperangkap, dan kembali ke bumi.
Lantaran sinar matahari memiliki dua sifat, yakni dipantulkan dan diteruskan ke atmosfer sebagai energi di bumi.
"Makanya kenapa akhirnya udara kita di Surabaya itu panas sekali dan gelombang panas itu di Indonesia cukup tinggi, hal ini karena senyawa yang dilepaskan dia akan membentuk selubung di atmosfer," kata Chlara.
Ia mengatakan pemerintah memang memberikan subsidi atau hibah untuk mengelola sampah secara termal atau dengan RDF. Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 35 Tahun 2018, pemerintah memberikan subsidi Rp500.000 per ton sampah per harinya.
Berdasarkan laporan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tahun 2021 yang ia kutip, jika biaya produksi RDF dilakukan sesuai metode SBI, tanpa hibah, dan 100% dibiayai dengan pinjaman pemda (8% per tahun) dengan harga per ton.
Biaya proses produksi Rp210.800; penanggulangan limbah Rp71.202; cicilan belanja modal Rp221.500; beban bunga Rp106.727. Total harga produksi Rp610.229 per ton sampah.
Sementara itu, total biaya produksi RDF Rp1.453.800 per ton sampah atau dapat menghasilkan 0,42 ton RDF.
"Apabila harga jual RDF tidak mampu menutup biaya produksi, sudah pasti akan terjadi kerugian. Biaya produksi yang tidak dapat ditutup dari penjualan RDF, perlu ditutup dengan BPLS," tuturnya.
Jumlah Sampah & Bagaimana Seharusnya Mengolahnya?
Berdasarkan catatan KLHK yang dihimpun AZWI, Wawan menjelaskan, jumlah timbunan sampah secara nasional sebanyak 184.000 ton per hari (0,8 kg per kapita). Sumber sampah berasal dari rumah tangga 48% dan pasar tradisional 24%.
Jenis sampah yang paling banyak yaitu 60% organik layak kompos, 14% plastik, dan 9% kertas.
Kemudian produksi sampah plastik Indonesia sebanyak 5,4 juta ton per tahun. Jenis barang yang sering diterima menggunakan kantong plastik: makanan dan minuman; alat mandi dan kosmetik; pakaian; barang rumah tangga; dan buku.
Berdasarkan data KLHK pada 2018, komposisi sampah yang dibuang dari rumah tangga: 39,68% sisa makanan, 13,99% kayu/ranting, plastik 17,01%, kertas/karton 12,01%.
Rumah tangga penyumbang terbesar, yaitu 62%, pasar tradisional 13%, pusat perniagaan 7%, perkantoran 5%, kawasan 4%, fasilitas publik 3%, dan sisanya 6% berasal dari lainnya.
Ia memperkirakan terdapat 300 lembar kantong plastik dalam satu gerai perhari. "Jika terdapat 100 gerai dikalikan satu tahun atau 365 hari, jumlahnya sebanyak 10,95 juta lembar sampah kantong plastik," terangnya.
Berdasarkan data riset Sustainable Waste Indonesia (SWI), sebanyak 24% sampah di Indonesia tidak terkelola. Hanya 7% yang didaur ulang, dan 69% berakhir di TPA.
Sementara berdasarkan hasil riset dari Peneliti Jenna Jambeck pada 2015 mengatakan, tidak ada satu negara pun yang dapat mendaur ulang sampah plastik 100%. Indonesia daur ulang plastik kurang dari 11% dan botol Polyethylene Terephthalate (PET) 50%.
Ia mengatakan banyak sampah yang tidak terkelola oleh pemerintah. Tumpukan sampah pun sampai memadati sungai hingga lautan. Misalnya saja Sungai Citarum, Jawa Barat yang dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia pada 2014.
"Fakta masih banyak yang membuang sampah sembarangan, terutama di tepi saluran air atau bahkan di sungai," ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti pernah menyebutkan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia yang dibuang ke laut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun, di mana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. 80% sampah di laut berasal dari daratan, 70% di antarnya adalah plastik.
Selain itu, Indonesia juga sebagai negara pembuang makanan terbanyak di dunia. Studi The Economist Intelligence Unit 1 pada 2016 menyebut, Indonesia menghasilkan sampah makanan sebanyak 300 kg per orang per tahun.
Angka ini mengungguli Amerika Serikat yang membuang 277 kilogram dan hanya kalah dari Saudi Arabia sebanyak 427 kg/tahun.
Data Bappenas 2021, sampah makanan di Indonesia adalah 115-184 kg per kapita per tahun.
Wawan menjelaskan terdapat beberapa cara dalam mengurangi sampai. Misalnya cara mengurangi sampah plastik yaitu menggunakan dan memanfaatkan tas kantong plastik belanja dari kain.
Kemudian memanfaatkan barang berbahan plastik bekas untuk dibuat aneka barang kerajinan atau digunakan dalam bentuk lain. Lalu mengembangkan produk plastik yang gawat sehingga penggunaannya dapat berlangsung lebih lama.
“Mengembangkan teknologi atau inovasi bahan pengganti plastik atau mendaur ulang plastik," tuturnya.
Wawan pun meminta kepada pemerintah agar melakukan pengelolaan sampah di perkotaan dengan cara 3R: reduce (mengurangi), reuse (pakai ulang), recycle (daur ulang).
Hal yang menjadi kunci utama pengelolaan sampah dengan cara memisahkan dipisahkan.
Pengolahan sampah organik dengan cara ditanam ke dalam tanah. Pengelolaan tanah secara organik dengan cara: tanah dilubangi, diperkuat tebingnya, diurug tanahnya, dan diberi penutup. Dibuat empat sampai lima lubang dipakai bergantian.
Kemudian bisa dibuat lorong serang dapur (Loseda), komposter semi Aeorob, dan saluran resapan biopori. Resapan air hujan dan pengolahan sampah. Satu lubang di daerah curah hujan 50 mm/jam, maka laju resapan 180/jam, maka untuk lahan 100 m2 butuh (50 X 100)/180 = 28 lubang.
“Sampah yang ditampung lubang diameter 10cm dalam 100 cm adalah 7,8 liter atau sampah 2-3 hari," ujarnya.
“Sampah digunakan untuk komposting, seperti diolah pupuk organik kompos," imbuhnya.
Pengolahan dengan dengan cacing atau vermicompost. Cacing bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan atau untuk bahan baku obat sampah organik yang diolah dengan cacing. Selain itu, bisa juga digunakan kompos. Nilai ekonomi lebih tinggi, per kilogramnya bisa mencapai Rp50.000.
Kemudian bisa menggunakan Inovasi Pengolahan Sampah Organik Maggot Lalat BSF (Black Soldier Fly). Pengolahan dengan dengan Maggot (belatung) lalat BSF. Hasil akhir Maggot dan kompos. Maggot bisa dimanfaatkan untuk pakan ikan atau ternak.
Pengurangan sampah organik juga bisa dilakukan dengan cara melakukan gerakan makan secukupnya dan jangan sisakan makanan.
Ia menjelaskan di Banjarmasin, kebijakan larangan kantong plastik untuk toko modern mengurangi sampah plastik hingga 55%, hemat Rp563 juta/bulannya. Lalu, dampak kebijakan diet plastik sekali pakai di Bogor yang membuat sampah plastk berkurang 41 ton.
Selanjutnya terdapat Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Atas kebijakan tersebut penggunaan keresek turun 51-57%; styrofoam turun 77-81%; dan sedotan turun 66-70%.
Ada juga Pergub DKI 142/2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan. Regulasi ini dapat membuat 82% pengurangan di tiga subyek hukum: pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat. Lalu, 42% pengurangan kantong plastik sekali pakai yang terjadi di rumah tangga.
“Jadi pengolahan sampah harus dari hulu dulu, lalu hilir penanganannya. Perlu juga kebijakan pemerintah untuk mendukung pengolahan sampah,” kata dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz