Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Manuver Partai Buruh yang Ogah Koalisi, tapi Dukung Kandidat

Aksi mendukung tokoh populer daripada membangun koalisi dinilai lebih efektif karena figur yang dipilih publik, bukan koalisi.

Manuver Partai Buruh yang Ogah Koalisi, tapi Dukung Kandidat
Sejumlah simpatisan partai Buruh melakukan aksi jalan kaki di Jalan Medan Merdeka Selatan, kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Sabtu (14/1/2023). Partai Buruh menyuarakan agar pemerintah mendengarkan suara pekerja perempuan untuk memperoleh cuti haid dan tak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak serta menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU

tirto.id - Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengeluarkan pernyataan menarik dalam menghadapi Pemilu 2024. Parpol yang identik dengan warna oranye itu memutuskan tidak berkoalisi dengan partai politik mana pun dalam menghadapi pemilu mendatang, terutama 9 partai yang punya wakil rakyat di parlemen.

Said Iqbal beralasan, partainya enggan berkoalisi dengan partai politik parlemen karena sembilan fraksi di DPR mendukung pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang diklaim menyengsarakan kalangan buruh.

“Partai Buruh dilahirkan kembali karena sembilan partai itu sudah tidak kami percaya. Mosi tidak percaya terhadap partai-partai yang ada di parlemen,” kata Said Iqbal di acara Deklarasi Persatuan Buruh di 16 Provinsi yang digelar di Jakarta, Sabtu (11/2/2023).

“Karena apa? Omnibus law. Omnibus law itu yang membuat Partai Buruh berpendapat mengoreksi kerja-kerja dari sembilan partai parlemen dan lahirlah Partai Buruh," tambahnya.

Meski tidak berkoalisi, Said Iqbal mengatakan, Partai Buruh memiliki empat kandidat untuk menjadi bakal calon presiden pada 2024 nanti, mereka antara lain: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Najwa Shihab, dan Mahfud MD.

Sementara untuk kursi bakal cawapres, Partai Buruh punya empat kandidat, yakni Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Arsjad Rasjid, Menkopolhukam Mahfud MD, Said Iqbal, dan Najwa Shihab.

Said Iqbal mengklaim, Partai Buruh mendukung Arsyad karena sikap Presiden Direktur Indika Grup itu mau menyejahterakan buruh, meski berstatus pengusaha dan Ketua KADIN. Ia mencontohkan sikap Arsyad yang sepakat dengan kebijakan upah buruh, minta sistem outsourcing lebih berkeadilan, hingga membangun dialog dengan buruh.

“Mungkin pandangan-pandangan seperti itulah yang dinilai Partai Buruh sebagai keseimbangan, jalan tengah,” kata Said Iqbal.

Sikap Partai Buruh tentu menarik dianalisis karena belum ada partai politik lain yang menyatakan enggan berkoalisi, tetapi mendukung capres tertentu.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Power, Ikhwan Arif menilai, aksi Partai Buruh dengan klaim kandidat capres-cawapres yang mereka dukung adalah tindakan tepat. Ia menilai, aksi pemilihan tokoh populer daripada membangun koalisi lebih efektif karena tokoh yang dipilih publik, bukan koalisi.

Selain itu, kata Ikhwan, pemilihan tokoh dan narasi Undang-Undang Cipta Kerja akan membuat pemilih mereka adalah upaya politik untuk meraih pemilih.

“Jadi pilihan Partai Buruh untuk tidak berkoalisi dengan partai pendukung UU Ciptaker akan menguntungkan dari segi strategis dan bisa dijadikan manuver politik untuk menggerogoti suara dari pemilih dari partai politik parlemen yang tidak setuju dengan UU Ciptaker,” kata Ikhwan, Senin (13/2/2023).

Ikhwan menilai, aksi ini harus diikuti dengan manuver politik dari internal Partai Buruh ke publik, sehingga bisa mempengaruhi perolehan suara nasional Partai Buruh di Pemilu 2024. Ia menuturkan, besaran efek elektoral harus sering diukur ulang ketika Partai Buruh memainkan strategi ini, ditambah mendukung tokoh-tokoh populer di luar partai seperti Anies, Najwa Shihab, Mahfud MD.

“Pilihan tepat Partai Buruh adalah mendukung tokoh-tokoh di luar ketua umum partai parlemen, sehingga Partai Buruh mendapatkan stigma positif dalam memperjuangkan kepentingan buruh, dalam artian Partai Buruh harus tetap berada di jalan yang lurus, on the track,” kata Ikhwan.

Menurut Ikhwan, Partai Buruh bisa tidak berkoalisi dengan partai yang mendukung UU Cipta Kerja. Dengan kata lain, Partai Buruh bisa mengambil opsi mendukung kandidat dari luar kader partai politik.

Jika kandidat yang didukung kader partai politik, maka efek elektoral untuk menuju parlemen akan sulit didapat. Hal ini, kata Ikhwan, akan merugikan Partai Buruh karena berada di luar garis perjuangan Partai Buruh, yaitu menolak UU Cipta Kerja.

“Dalam mengejar elektoral partai, harus ada tokoh sentral partai yang populer dan memiliki tingkat elektabilitas yang baik, sehingga mempermudah langkah Partai Buruh untuk mendongkrak elektabilitas partai, kenyataannya Partai Buruh tidak punya tokoh sentral yang populer dan memiliki elektabilitas tinggi. Jadi hal yang lumrah ketika Partai Buruh mencomot kandidat di luar partai politik seperti Anies, Mahfud MD, Najwa Shihab,” kata dia.

Sementara itu, peneliti senior Populi Center, Usep S. Ahyar menilai, aksi Partai Buruh dengan tidak berkoalisi mungkin menguntungkan. Hal ini tidak lepas dari hasil survei elektabilitas Partai Buruh terhadap 1.200 responden selama 25 Januari hingga 3 Februari 2023 yang hanya mengantongi 0,3 persen.

“Kalau dalam konteks koalisi nanti tidak dominan juga karena kalau kita lihat elektabilitas sampai hari ini, juga tidak ngangkat. Jadi mungkin posisi tawar di antara partai-partai mereka sudah baca juga, pasti tidak akan tinggi. Jadi posisi tidak berkoalisi mungkin bagi mereka lebih menarik, lebih bebas untuk menyuarakan kepentingannya,” kata Usep.

Usep mengatakan, berkoalisi dengan partai-partai yang ada saat ini berpotensi mempersulit Partai Buruh. Sebab, kata dia, berkoalisi harus ada "tata krama" yang dilakukan demi kepentingan koalisi, seperti menyampaikan pesan ke publik. Ia menduga, Partai Buruh memilih tidak berkoalisi demi kepentingan partai agar menang di Pemilu 2024.

Selain itu, Usep memandang, Partai Buruh tidak ingin berkoalisi karena demi menjaga warna dan pemilih mereka. Hal ini tidak lepas dari alasan mereka yang menolak omnibus law UU Cipta Kerja meski didukung parpol di parlemen.

Selain itu, kata Usep, manuver politik Partai Buruh juga bisa ditafsirkan untuk menjaga pemilih dan menyerang partai lain.

“Jadi itu juga salah satu kampanye negatif (negative campaign) bagi partai-partai lain bahwa yang memperjuangkan gagasan atau kepentingan buruh, misalnya dalam konteks omnibus law, ya mereka,” kata Usep.

Usep mengatakan aksi partai yang mendukung capres, tapi tidak masuk koalisi hampir sama seperti yang dilakukan dengan PSI. PSI tidak mampu masuk parlemen, tapi mempunyai akses untuk berkomunikasi dengan bakal capres yang akan mereka usung.

Selain mempermudah akses komunikasi tanpa harus lewat koalisi, kata dia, partai bisa saja tetap mendapatkan efek elektoral karena deklarasi dukungan seperti yang dilakukan Partai Buruh.

Apa Kata Partai Buruh?

Ketua DPP Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh, Kahar S. Cahyono menegaskan, aksi mereka tetap mendukung paslon, tetapi tidak berkoalisi dalam rangka memenuhi syarat dalam Undang-Undang Pemilu.

“Partai Buruh posisinya adalah mendukung calon presiden. Itu batasnya individu calonnya itu, jadi bukan karena dia berasal dari partai mana, tapi lebih pada karena undang-undang mewajibkan setiap partai politik memberikan dukungan kepada calon presiden, maka kepada calon presiden itu dukungan akan diberikan," kata Kahar, Senin (13/2/2023).

Kahar menegaskan, Partai Buruh tetap mengusung nama, yakni Ganjar, Anies, Said Iqbal, dan Najwa Shihab. Ia mengaku, Partai Buruh fokus pada upaya untuk mengajukan dua nama terakhir sebagai capres-cawapres mereka. Ia mengaku Partai Buruh akan melakukan judicial review terkait Presidential Threshold.

“Nah kami berharap tidak ada Presidential Threshold sehingga Partai Buruh bisa mengajukan calon sendiri, yang kita sebut calon alternatif. Nah, kalau memang judicial review tidak digolkan Mahkamah Konstitusi, pilihan kemudian mencalonkan nama yang sudah beredar," tutur Kahar.

“Dalam posisi itu, kami tidak berkoalisi dengan partai lain adalah karena dukungan kita kepada si calonnya, kepada calon presidennya, bukan partai lain," kata Kahar.

Kahar mengatakan, Partai Buruh akan memegang teguh prinsip mereka untuk tidak berkoalisi dengan partai pengusung omnibus law UU Cipta Kerja. Hal itu juga tidak lepas dari alasan mereka membangun Partai Buruh dari kekecewaan buruh terhadap partai parlemen yang mengeluarkan legislasi yang buruk, salah satunya UU Cipta Kerja.

Kahar menegaskan partai besutan Said Iqbal tidak bermanuver politik lewat gagasan tersebut. Ia kembali mengingatkan bahwa partai oranye itu ingin membuktikan konsistensi komitmen mereka kepada publik sehingga membuat partai mereka berbeda dengan partai lain.

"Ini sebenarnya lebih kepada sikap politik saja, sikap politik konsistensi dari sikap Partai Buruh yang memang lahir dari kekecewaan kepada legislatif yang selama ini dianggap tidak berpihak kepada buruh," tegas Kahar.

Ia juga menegaskan, Partai Buruh akan tetap bersikap meski masuk koalisi tertentu. Mereka pun akan menagih komitmen kepada kandidat yang mereka dukung jika kandidat tersebut menang pemilu tanpa memikirkan koalisi.

Di sisi lain, Kahar yakin sikap Partai Buruh tidak akan mengganggu posisi mereka untuk masuk parlemen. Ia beralasan, Partai Buruh telah melakukan kalkulasi untuk perolehan suara di kantong-kantong suara buruh.

“Kenapa kita optimis? karena kita sudah memetakan berbagai basis dukungan buruh di berbagai provinsi di kota-kota industri yang punya basis masa buruh, sudah kita petakan sehingga kita dari kelompok buruh itu optimis bisa lolos parlementary threshold dengan 6 sampai 7 juta suara dengan perkiraan 20 sampai 30 kursi," kata Kahar.

Kahar juga menegaskan, aksi mereka bukan sebagai upaya membentengi suara buruh dari partai koalisi, melainkan ingin agar suara buruh di partai mereka.

Tidak Koalisi Ada Dua Pemaknaan

Wakil Ketua Umum Partai Buruh, Ilhamsyah menegaskan, konsep tidak berkoalisi dapat dimaknai dalam dua skenario. Pertama adalah gugatan Partai Buruh dikabulkan MK tentang presidential threshold. Jika dikabulkan, maka masing-masing parpol akan punya kandidat sendiri sehingga Partai Buruh bisa mencari capres mereka lewat Konvensi Partai Buruh.

"Kalau dengan itu bisa berhasil, sehingga kita bisa fokus di situ, maka tidak perlu berkoalisi, saat sekarang ini di tahap awal. Kalau pun nanti dibutuhkan koalisi, itu setelah pemilu. Setelah pemilu bisa saja," kata Ilhamsyah kepada Tirto.

Jika gugatan tidak dikabulkan, maka Partai Buruh akan mendukung kandidat dan bukan bekerja sama dengan cara koalisi. Dengan kata lain, partai hanya berhubungan dengan partai lain karena kesamaan mendukung kandidat, bukan kepentingan jangka panjang seperti politik saat ini.

"Betul. Bukan deal antar sesama partai, tapi dealnya sama-sama mendukung, bukan hal yang lain. Itu maknanya misalnya ada koalisi di parlemen atau apa, koalisi ini atau itu, tidak dalam makna seperti itu, tapi sama-sama mendukung calon presiden," tegas Ilhamsyah.

Ilhamsyah juga memastikan bahwa kandidat yang mereka dukung adalah kandidat yang berkomitmen dengan agenda perjuangan Partai Buruh. Mereka pun akan melihat sejauh mana komitmen yang bisa diakomodir kandidat dan ia akan memilih kandidat yang bisa mengakomodir kepentingan partai paling banyak.

"Kalau seandainya yang dia bisa terima dalam batasan kompromi, yang bisa kita terima, kita bisa bersepakat. Nah tentu dalam komitmennya itu berdasarkan kesepakatan," tegas Ilhamsyah.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz