tirto.id - Prabowo Subianto dan Anies Baswedan sama-sama akan bertarung dalam Pemilu 2024. Nama keduanya masuk dalam tiga besar bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Dalam pemilu mendatang, Anies akan diusung Partai Nasdem dan Prabowo lewat Gerindra.
Munculnya nama Anies dan Prabowo menjadi sorotan karena kedua figur ini pernah membuat perjanjian saat Partai Gerindra akan mengusung Anies sebagai calon gubernur DKI pada Pilkada Jakarta 2017. Surat perjanjian ini muncul kembali saat keduanya akan maju sebagai bakal capres pada Pemilu 2024.
Hal tersebut tidak lepas dari pernyataan Wakil Dewan Pembina Partai Gerindra, Sandiaga Uno dalam acara Akbar Faisal Uncensored yang menyinggung bahwa ada perjanjian antara Prabowo dan Anies untuk maju sebagai capres.
Saat ditanya wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada Kamis (2/2/2023), Sandiaga menjelaskan soal isi perjanjian tersebut. Ia mengaku perjanjian itu dibuat berkaitan pemilihan DKI Jakarta 2017.
“Itu terkait pemilihan gubernur 2017. Malam itu kita tanda tangan sebelum kita mendaftar ke KPUD. 2016 bulan September, tapi isi-isinya secara lebih etis disampaikan yang punya copy-nya. Saya sendiri gak megang,” kata Sandiaga kala itu.
Sandiaga mengaku setidaknya ada 3 orang yang menandatangani perjanjian tersebut, yakni dirinya, Prabowo, dan Anies. Ia pun mengatakan perjanjian tersebut bermaterai dan ditulis tangan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon.
“Saat itu yang nge-draf dan ditulis tangan sendiri oleh Pak Fadli Zon dan setau saya sekarang juga dipegang oleh Pak Dasco. Jadi nanti mungkin Pak Dasco atau Pak Fadli yang mungkin bisa memberikan keterangan karena itu juga menyangkut ada sisi Pak Prabowo dan Pak Anies,” kata Sandiaga.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad membenarkan bahwa dokumen tersebut memang ada. “Kalau ada yang bilang bahwa perjanjian itu tidak ada, maka dia tidak tahu bahwa perjanjiannya dibuat," ungkap Dasco di Gedung DPR RI pada Selasa (31/1/2023).
Dasco mengungkapkan bahwa dokumen perjanjian Prabowo dan Anies kini berada di tangannya. Ia pun membenarkan penulis perjanjian adalah Fadli Zon. “Sekarang dokumennya ada sama saya,” kata Dasco.
Akan tetapi, Dasco enggan menyampaikan isi surat tersebut. Ia beralasan isi surat tersebut rahasia. "Kalau saya jawab nanti menjadi konsumsi publik. Padahal ini rahasia," kata Dasco.
Di sisi lain, Ketua Majelis Kehormatan Partai Gerindra, Habiburrokhman tidak ingin ambil pusing soal perjanjian Anies dan Prabowo tersebut. Ia menilai, Gerindra fokus untuk membuat Prabowo menang di Pilpres 2024. "Yang terpenting Pak Prabowo menang," ungkapnya.
Akan Bernasib Sama dengan Perjanjian Batu Tulis?
Kisah pengungkapan perjanjian Prabowo-Anies mengingatkan pada kejadian Pemilu 2009. Kala itu, Prabowo bersama Partai Gerindra melakukan perjanjian politik dengan PDIP. Kedua partai bersepakat untuk berkoalisi dengan mengusung Megawati-Prabowo di Pemilu 2009. Sebagai gantinya, PDIP akan mengusung Prabowo sebagai capres di Pemilu 2014.
Akan tetapi, PDIP tidak mengusung Prabowo sebagaimana perjanjian. PDIP justru mengusung Joko Widodo sebagai bakal capres dan memenangkan Pemilu 2014. Saat itu, Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla melawan Prabowo-Hatta Radjasa.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Power, Ikhwan Arif menilai, wajar Gerindra menggunakan manuver politik dengan metode perjanjian. Hal itu, kata Ikhwan, masih lazim di politik Indonesia.
“Penggunaan perjanjian politik sebagai manuver Gerindra suatu hal yang lazim dalam pemilu, ini lebih kepada hal strategi politik saja, apalagi antara Prabowo dan Anies sama-sama berkeinginan maju di Pilpres 2024, wajar saja terjadi dalam konteks dinamika politik,” kata Ikhwan kepada Tirto, Kamis (2/2/2023).
Ikhwan menilai, perjanjian politik langsung batal ketika ada salah satu pihak melanggar atau tidak terima.
Jika dikaitkan dalam kasus Anies-Prabowo, Ikhwan melihat kemungkinan penjegalan langkah politik Anies. Ia beralasan, Anies dan Prabowo memang kandidat potensial capres 2024. Akan tetapi, Anies dan Prabowo berada pada partai politik yang berbeda sehingga tidak bisa dijadikan alat politik.
“Antara Anies dan Prabowo keduanya merupakan perwakilan politik yang berbeda, Anies bukan kader partai politik Gerindra dan Prabowo Ketua Umum Gerinda, terkecuali keduanya sama-sama berasal di partai politik yang sama. Menurut saya perjanjian politik biasa bukan alasan untuk menghambat hak politik seseorang," kata Ikhwan.
Ikhwan menambahkan nasib perjanjian Anies-Prabowo dengan Batu Tulis bisa sama. Akan tetapi, kondisi implikasi Batu Tulis dengan Anies-Prabowo berbeda.
“Bisa saja mengulang kembali cerita lama. Namun aktor politik yang berbeda. Sejauh ini Anies dan Gerindra tidak punya dendam politik. Buktinya pasca dukungan PKS dan Demokrat Anies masih berkunjung ke Koalisi Gerindra dan PKB," kata Ikhwan.
Di sisi lain, aksi perjanjian Anies-Prabowo akan menimbulkan persepsi negatif kepada Anies lantaran melanggar janji. Meskipun Anies berpotensi mendapat simpati akibat ada tudingan. Ia menilai Prabowo juga akan menerima efek elektoral karena menjadi korban perjanjian yang dilanggar.
“Menurut saya ini lebih kepada manuver untuk merebut suara di kantong pemilih yang sama karena yang disebut melanggar perjanjian Anies yang pasti untung ya Prabowo Subianto," kata Ikhwan.
Ikhwan menambahkan, “Manuver politiknya lebih menyasar di tingkat pemilih di akar rumput, dan tidak efektif untuk menggoyahkan kembali poros perubahan (PKS, Demokrat dan NasDem).”
Sementara itu, pemerhati politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, aksi pengungkapan perjanjian Anies-Prabowo adalah upaya untuk mendegradasi Anies. Ia sebut perjanjian tersebut sebaiknya dibuka ke publik. Namun, dari kacamata politik, Ujang melihat Gerindra tengah menyerang Anies.
“Kelihatannya perjanjian itu ya akan jadi senjata gitu daripada Gerinda, Sandiaga, Prabowo untuk melemahkan Anies Baswedan gitu. Melemahkan dalam konteks biar masyarakat menilai bahwa Anies dianggap lingkar Janji, Anies dianggap tidak komit gitu,” kata Ujang.
Ujang menilai, perjanjian lazim dilakukan dalam konteks pemilu. Dalam kasus politik, rerata janji tersebut kerap diingkari ketika mengincar hal yang sama. Hal ini juga sama seperti ketika insiden Batu Tulis antara PDIP dan Gerindra pada 2009.
“Ini kan politik. Dulu juga banyak lah perjanjian-perjanjian seperti itu Batu Tulis Prabowo Mega banyak perjanjian-perjanjian politik itu," tutur Ujang.
“Persoalannya, kan, kalau di politik itu ya perjanjian walaupun benar, kan, kadang-kadang tidak bisa menjadi sebuah kekuatan hukum. Namanya juga politik. Ada yang diingkari, ada yang ditepati. Biasanya kalau perjanjian di politik banyak yang diingkari oleh siapapun," lanjut Ujang.
Dalam kasus Anies-Prabowo, ia menduga kemungkinan perjanjian tersebut dilanggar jika Anies memiliki tiket keterusungan presidensial threshold 20 persen. Akan tetapi, kejadian ini tidak bisa dikategorikan sebagai upaya untuk menjegal Anies nyapres.
"Jadi soal terjegalnya Anies atau tidak bukan karena perjanjian itu, perjanjian itu hanya untuk mendegradasi Anies bahwa sesungguhnya Anies itu dianggap ingkar janji dan ingkar komitmen terhadap Gerindra dan Prabowo, tetapi bukan jegal-menjegal karena itu," kata Ujang.
Ujang juga menilai kedua pihak akan mengalami kerugian. Anies dianggap rugi karena dicitrakan ingkar janji. Sementara itu Prabowo dianggap bersalah karena membuka perjanjian yang sifatnya internal.
“Tapi yang namanya persaingan politik ya begitu, yang satu sama lain akan bersaing, ya ada yang membuka kartu, ada yang membuka persoalan, ada yang membuka kekurangan-kekurangan dari pihak lain,” kata Ujang.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz