tirto.id - Bagi Mida Sahada, soal keimanan adalah urusan individu. Ia percaya bahwa iman tak mungkin goyah hanya karena membantu sesama manusia kendati beda keyakinan. Dan ia membuktikannya sendiri.
Sepanjang Juni hingga Agustus tahun lalu, perempuan 46 tahun itu punya tugas yang krusial: membantu kumpulkan tanda tangan warga yang mendukung pendirian sebuah gereja di Kelurahan Mampang, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.
Ia mendapat jatah untuk menggalang dukungan dari pintu ke pintu di empat dari tujuh Rukun Tetangga (RT). Ke rumah-rumah warga, Mida harus menjelaskan dengan lengkap maksud dan tujuan, rencana lokasi, hingga aturan pendirian rumah ibadah.
Di atas kertas, ada nama, alamat serta tanda tangan yang harus diteken warga jika ikut mendukung. Termasuk juga fotokopi atau foto KTP.
Apa yang dilakukan Mida adalah amanat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006 [pdf]—dikenal dengan SKB 2 Menteri—soal pendirian rumah ibadat.
Dalam aturan itu, ada beberapa syarat jika ingin mendirikan rumah ibadah: 90 tanda tangan dari jemaat pengguna rumah ibadat, 60 tanda tangan dari warga sekitar lokasi pembangunan, serta mendapat rekomendasi dari Kementerian Agama Kantor Wilayah (Kemenag Kanwil) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Setelahnya, baru kepala daerah bisa memberikan izin.
Untuk sampai di tahap FKUB dan Kemenag Kanwil, syarat tanda tangan tersebut harus melewati struktur birokrasi mulai dari Ketua RT dan Ketua RW sebagai pengantar dan Lurah atau Kepala Desa sebagai pengesah.
Saat awal turun ke lapangan, Mida sengaja terlebih dahulu datang ke wilayah tempat keluarga besarnya tinggal. Ia ketuk pintu ke pintu. Kata dia, mayoritas keluarga besarnya ikut mendukung dan meneken tanda tangan. “Ini urusan agama masing-masing. Toh, mereka juga enggak ganggu kita,” kata Mida, meniru ucapan sebagian besar keluarganya,
Ia bercerita kepada Tirto, ada dari keluarga yang mendukung pendirian gereja namun menolak tanda tangan tanpa memberi alasan. Namun Mida merasa perlu menghargai keputusan itu. “Enggak ada paksaan,” katanya, Minggu (29/1/2023) lalu.
Setelahnya, Mida terus lanjut datang dari pintu ke pintu wilayah lainnya. Pengalamannya sebagai anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kelurahan Mampang bikin Mida terbiasa datang ke rumah-rumah warga. Ia bisa melakukan pemetaan awal mana warga yang sekira mudah diajak bicara dan pikirannya terbuka. Pemetaan itu jadi pertimbangan untuk menentukan prioritas warga yang didatangi terlebih dahulu.
“Walau akhirnya enggak sesuai perkiraan. Sangat dinamis. Yang saya kira awalnya akan mendukung, malah menolak,” katanya.
“Benar-benar sulit diprediksi. Door to door antara Pemilu dengan pendirian gereja ini sangat berbeda.”
Mida mengaku tugasnya tak berjalan dengan mulus. Ada sejumlah warga yang tak setuju dengan adanya gereja, warga yang setuju tapi emoh ikut tanda tangan, hingga warga yang setuju dan tanda tangan namun diintimidasi oleh orang-orang menolak sejak awal.
“Ada intimidasi. Salah satunya saudara saya. Setelah ikut tanda tangan, ia mendapat intimidasi. Ditekan untuk tarik dukungan. Tapi akhirnya enggak dicabut. Tetap mendukung,” katanya. “Beberapa warga ikhlas tanda tangan, tanpa kami paksa.”
Sepanjang menggalang dukungan untuk pendirian gereja, tak jarang Mida mendengar suara sumbang dari tetangga dan kolega. Sejumlah warga mencibir aksi Mida yang totalitas membantu perizinan pendirian gereja. Bahkan, dirinya juga pernah dituding menerima sejumlah uang.
Suatu hari, ada seorang warga bertanya ke Mida. “Kok, Bu Mida mau berteman sama mereka [jemaat gereja]?” kata Mida meniru.
“Memangnya salah? Mereka enggak ganggu agama saya. Mereka tahu saya orang Islam. Hormati agama saya juga. Masa enggak boleh berteman dengan beda agama?” balasnya.
Suara sumbang dan sindiran juga datang di dunia maya. Mida tergabung dalam sebuah group WhatsApp berisi warga dan tokoh masyarakat di Kelurahan Mampang. Sejumlah warga menyindir kerja-kerja Mida.
“Sudah tahu orangnya kan yang mintain KTP? Itu kok bego banget mau bantu orang Kristen.”
“Hati-hati tuh dimintai KTP nanti buat pinjol.”
“Nanti buat kristenisasi.”
“Saya pikir, kalau mereka [jemaat gereja] mau kristenisasi, yang ada saya duluan yang masuk. Saya sudah kenal mereka lama, puluhan tahun, tapi saya tetap dengan keyakinan saya. Saya masih sholat. Mereka kadang-kadang malah ingetin saya sholat,” kata Mida dengan sedikit nada kesal.
“Saya biarkan mereka [orang-orang di group WhatsApp]. Nanti juga diem sendiri.”
“Saya harus kuat kuping, kuat hati, dan kuat mental.”
Minoritas Sulit Bangun Rumah Ibadah
Pengalaman Midabisa jadi hanya gambaran kecil dari banyaknya kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KKB) yang terjadi sepanjang 2022.
Dalam laporan tahunannya yang dirilis 31 Januari lalu, SETARA Institute mencatat setidaknya ada 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2022. Dari angka itu, 168 tindakan dilakukan oleh penyelenggara negara, sedangkan 165 tindakan dilakukan oleh sipil.
Tindakan yang dilakukan sipil paling banyak dilakukan oleh warga (94 tindakan), individu (30 tindakan), ormas keagamaan (16 tindakan), MUI (16 tindakan), dan Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB (10 tindakan).
Lebih spesifik lagi, ada enam tindakan terbanyak yang dilakukan sipil: penolakan pendirian tempat ibadah (38 tindakan), intoleransi (37 tindakan), pelaporan penodaan agama (17 tindakan), pelarangan ibadah (15 tindakan), penolakan ceramah (14 tindakan), dan perusakan tempat ibadah (7 tindakan).
Dalam laporan yang yang sama, SETARA Institute mencatat pelanggaran KBB paling banyak dialami oleh individu (41 peristiwa), warga (34 peristiwa), umat Kristiani (33 peristiwa; 30 peristiwa dialami umat Kristen dan 3 peristiwa dialami umat Katolik), pengusaha (19 peristiwa), pelajar (13 peristiwa), umat Islam (12 peristiwa), umat Buddha (7 peristiwa), Jemaat Ahmadiyah Indonesia (6 peristiwa), dan penghayat kepercayaan (6 peristiwa).
Itu artinya, ragam hal yang dialami oleh Mida juga dialami oleh banyak individu lainnya di banyak daerah di Indonesia.
Di sisi lain, praktik buruk perlakuan diskriminatif masyarakat di sebuah wilayah bisa jadi merupakan cermin dari wajah dari para pemegang kuasa di sana. Selama ini, Depok memang kota yang cukup bermasalah.
Kota itu selalu masuk deretan peringkat anjlok dalam riset Indeks Kota Toleran yang dibikin oleh SETARA Institute selama lima kali: nomor enam dari bawah pada 2015, 2017 serta 2018, merosot ke nomor tiga dari bawah pada 2020, dan berada di paling bawah pada 2021 lalu. Riset tersebut digarap berbasis kebijakan pemerintah dan ucapan pejabat setempat untuk menjadi tolok ukur toleran atau tidaknya sebuah kota.
SETARA Institute juga mengambil satu kesimpulan umum dari lima edisi riset tersebut: “Hal yang menarik dari sirkulasi 10 kota terendah pada lima kali penilaian IKT adalah fakta bahwa kota-kota yang berhasil keluar dari jeratan intoleransi adalah kota-kota dengan tingkat urbanisme dan metropolisme tinggi.”
Sayang, fenomena itu tidak terjadi di Depok—kota yang menjadi salah satu wilayah penyangga DKI Jakarta dengan arus mobilitas yang tinggi.
Secara umum, sulitnya mendirikan rumah ibadah bagi kelompok minoritas di Indonesia memang bukan barang baru. Apalagi, di banyak kasus, pelakunya adalah pejabat atau pemegang otoritas di wilayah itu sendiri.
Semisal kasus di Kota Cilegon, Banten, yang diliput secara mendalam oleh Tirto. Kami menemukan ada dua jemaat Kristen di sana—HKBP Maranatha dan Gereja Baptis Indonesia—yang sudah menyelesaikan syarat-syarat aturan tanda tangan untuk mendirikan rumah ibadah, toh, akhirnya tak kunjung dapat izin dari otoritas setempat karena tekanan warga yang menolak.
Bahkan, di Jawa Barat sendiri, ada kasus pencabutan IMB rumah ibadah milik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor oleh otoritas karena desakan mayoritas yang menolak. Akhirnya, aturan SKB 2 Menteri soal pendirian rumah ibadah bukan lagi perkara penyelesaian administratif, tapi perkara mayoritas-minoritas.
Di sisi lain, Pemerintah Kota Depok sendiri sangat mudah mendapat IMB pendirian masjid agung yang akan menggusur SD Negeri 1 Pondok Cina. Padahal, dalam temuan laporan mendalam Tirto pada Desember lalu, mereka belum menyelesaikan ragam syarat administratif tanda tangan sebagai amanat aturan SKB 2 Menteri.
Kepala Daerah di Balik Pelarangan
Presiden Joko Widodo sendiri mengakui masalah itu. Dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda di Sentul, Jawa Barat, pada 17 Januari lalu, ia menyindir para kepala daerah yang melarang kegiatan dan pendirian rumah ibadah bagi non-muslim.
Ia menemukan sejumlah kasus di mana kepala daerah berkongsi dengan FKUB untuk melarang pendirian rumah ibadah, alih-alih memberikan rasa aman dan perlindungan kepada kelompok minoritas. Jokowi tak membeberkan siapa saja kepala daerah itu.
"Sekali lagi ini dijamin oleh konstitusi. Dandim, kapolres, kapolda, pangdam harus ngerti ini. Kejari, kejati jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan," kata Jokowi.
"Hati-hati lho konstitusi kita menjamin itu. Ada peraturan wali kota atau ada instruksi bupati, hati-hati kita semua harus tahu masalah ini. Konstitusi kita itu memberikan kebebasan beragama dan beribadah.”
Namun, di sisi lain Jokowi mengklaim masalah pelarangan beribadah dan pembangunan rumah ibadah hanya terjadi di beberapa kota atau kabupaten saja.
"Meskipun hanya 1, 2, 3 kota atau kabupaten, tapi hati-hati mengenai ini karena saya lihat masih terjadi. Kadang-kadang saya berpikir sesusah itu kah orang yang akan beribadah? Sedih kalau kita mendengarnya," tutup Jokowi.
Padahal, kasus pelarangan pendirian rumah ibadah lebih besar dari yang diklaim Jokowi. Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan, bilang bahwa situasi faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah di Indonesia lebih serius dari apa yang disampaikan oleh Presiden, terutama dari sisi intensitas dan skalanya.
Data longitudinal SETARA Institute sepanjang 2007-2022 menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir.
“Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama,” kata Halili.
Oleh karena itu, salah satu desakan paling kencang dilontar masyarakat sipil—salah satunya Amnesty Internasional Indonesia—untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan mencabut SKB 2 Menteri yang dianggap jadi biang praktik diskriminatif bagi kelompok minoritas.
Keinginan Mida membantu para jemaat bukan datang ruang kosong. Mida menyaksikan sendiri bagaimana para jemaat gereja selama ini selalu aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat dan tak pernah pilah-pilih.
Oleh karena itu, Mida sangat menyayangkan jika ada sejumlah pihak yang masih menolak pendirian gereja, bahkan sampai mengintimidasi warga yang mendukung. Padahal, kegiatan jemaat gereja itu selama ini tak pernah mengganggu warga sekitar.
“Mereka hanya mau aman ibadah di tempat mereka sendiri. Mereka enggak minta duit orang lain untuk bangun rumah ibadah.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri