tirto.id - Setara Institute melaporkan perusakan dan penolakan pendirian tempat ibadah menempati lima urutan teratas dalam kategori jenis pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) terbanyak sepanjang periode 2007-2022.
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan mengatakan sepanjang periode 2007-2022 terjadi 140 peristiwa perusakan dan 90 peristiwa penolakan rumah ibadah.
Dari Januari-September 2022 saja terdapat 32 peristiwa gangguan rumah ibadah. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan data anual pada kategori yang sama dalam lima tahun terakhir, yaitu 44 peristiwa (2021), 24 peristiwa (2020), 31 peristiwa (2019), 20 peristiwa (2018), dan 17 peristiwa (2017).
Halili menuturkan pada tahun ini, masjid mengalami gangguan terbanyak, yaitu 15 peristiwa dan diikuti dengan gereja sebanyak 13 peristiwa.
"Namun, perlu digarisbawahi bahwa sebagian besar masjid yang menjadi objek gangguan adalah Masjid Ahmadiyah dan masjid-masjid lain yang 'berbeda' dari kelompok muslim arus utama," kata Halili melalui keterangan tertulis, Rabu (16/11/2022).
Setara Institute mencatat peningkatan tren intoleransi terhadap keberagaman intraagama. Dalam kasus penolakan dan gangguan terhadap masjid, mayoritas gangguan datang dari sesama muslim dan terjadi di wilayah mayoritas Islam.
Selanjutnya, gangguan terhadap vihara juga meningkat. Hingga akhir September 2022, terdapat 4 peristiwa gangguan terhadap vihara. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing hanya 1 kasus gangguan terhadap vihara.
Sementara pada tahun 2017-2019 tidak ditemukan kasus gangguan vihara. Adapun gangguan terhadap vihara pada 2022 ini tersebar di berbagai lokasi, seperti Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.
Vihara-vihara tersebut ditolak karena dibangun di daerah yang mayoritas muslim dan terdapat kekhawatiran akan Buddhanisasi, yaitu menyebarkan ajaran Buddha dan membuat muslim melakukan konversi menjadi beragama Buddha.
Dari berbagai kasus gangguan rumah ibadah, Setara Institute menyoroti pola yang masih terus dilanggengkan, yaitu penggunaan alasan administrasi untuk melakukan restriksi dan persekusi.
"Ketidaklengkapan persyaratan pendirian rumah ibadah dijadikan sebagai justifikasi bagi keengganan terhadap rumah ibadah agama lain maupun rumah ibadah aliran yang berbeda dalam satu agama yang sama," ucapnya.
Berkenaan dengan kasus-kasus gangguan terhadap rumah ibadah dan peribadatan, Setara Institute menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah.
Pertama, mendesak Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hendaknya mempermudah syarat pendirian rumah ibadah yang tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006.
Mengingat kecenderungan interpretasi yang restriktif terhadap syarat pembangunan rumah ibadah di beberapa daerah, formula 90/60 perlu ditinjau ulang pada aspek substansi dan implementasinya.
Setara menilai syarat 60 orang pendukung pendirian rumah ibadah harus berasal dari yang berbeda agama memberikan ruang bagi kelompok eksternal untuk membatasi hak konstitusional atas peribadatan. Hal itu dijamin secara tegas dalam Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945.
Kedua, Pemerintah Daerah agar menginisiasi regulasi yang mempermudah syarat pendirian rumah ibadah dan menekankan peran FKUB dalam fasilitasi dialog dan resolusi konflik mengenai peribadatan dan gangguan atas rumah ibadah.
Setara menilai inisiatif dalam regulasi mesti diperluas, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kupang. Melalui Peraturan Walikota No 79 Tahun 2020 tentang Pedoman Fasilitasi Pembangunan Rumah Ibadah, Pemkot Kupang menjabarkan peran-peran FKUB dalam fasilitasi, mediasi, dan resolusi konflik jika terdapat penolakan.
Ketiga, Setara menyarankan pemerintah tidak hanya perlu menggencarkan dialog antariman, tetapi juga semakin mengintensifkan dialog intraiman.
"Dialog intraiman tersebut diharapkan dapat meningkatkan literasi akan keberagaman intraagama, meningkatkan kohesi sosial di tengah perbedaan keberagamaan di dalam dan antar agama, serta mewujudkan kerukunan di dalam dan antar umat beragama," ujarnya.
Keempat, masyarakat sipil, tokoh agama, dan tokoh-tokoh dalam forum-forum di daerah, seperti FKUB dan FPK, mesti memainkan peran dan berkontribusi dalam penguatan tata kebinekaan dalam keberagamaan.
Setara menyatakan mereka mesti berperan lebih aktif dalam upaya menyemai damai, yaitu memperbanyak ruang dialog dan memfasilitasi dialog, termasuk berperan sebagai mediator dalam konflik seputar gangguan rumah ibadah.
"Peran mereka menjadi semakin signifikan di tengah-tengah polarisasi sosial, kegaduhan politik elektoral yang merusak kohesi sosial, serta ancaman politisasi identitas jelang Pemilu 2024," tulis Setara Istitute.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan