tirto.id - Lutfianto terheran-heran saat dua pejabat dari Dinas Perumahan dan Permukiman (Disrumkim) dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Depok kembali mendatangi dirinya pada 16 Oktober lalu. Mereka mendesak Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Depok itu untuk meneken surat rekomendasi rencana pembangunan masjid di Margonda, Kelurahan Pondok Cina.
Tiga hari sebelumnya, dua pejabat tersebut sudah mendatangi lelaki 81 tahun itu dan hasilnya nihil: Lutfianto ogah meneken surat rekomendasi karena syarat administrasinya belum lengkap.
“Awalnya saya nolak,” kata Lutfianto kepada wartawan Tirto saat ditemui 13 Desember lalu. “Saya minta kelengkapan dokumen. Semua calon rumah ibadah harus seperti itu, tak terkecuali.”
Dokumen yang dimaksud Lutfianto adalah 90 tanda tangan dari jemaat pengguna rumah ibadah yang akan dibangun, serta 60 tanda tangan warga sekitar lokasi pembangunan, sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006—atau yang dikenal dengan sebutan SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah.
“Termasuk juga verifikasi dari RT, RW, Lurah, dan Camat setempat,” tambah Lutfianto. Masalahnya, kata Lutfianto, Pemerintah Kota Depok tak punya semua syarat administrasi itu.
Tak kehabisan akal, dua pejabat yang mendatangi Lutfianto mendesak agar FKUB mengeluarkan diskresi jika memang syarat administrasinya belum terpenuhi.
“Ini dua hari lagi mau ditender [proyek pembangunan masjidnya], Pak Haji [sapaan akrab Lutfianto]. Kalau gagal, nanti Pak Wali Kota bakal marah. Sudahlah, persyaratan nanti nyusul,” kata pejabat dari Kesbangpol Kota Depok, sepenuturan Lutfianto. “Tolonglah, ini untuk kepentingan Kota Depok. Bikinlah diskresi.”
Setelahnya, Lutfianto menghubungi beberapa pimpinan FKUB Kota Depok lainnya untuk mengambil keputusan ini. Ia merasa tak sanggup jika harus mengambil keputusan sendirian. Akhirnya, FKUB Kota Depok memutuskan mengeluarkan rekomendasi.
“Rekomendasi dikeluarkan tanpa ada syarat-syarat seperti dalam SKB 2 Menteri. Saya lewati semua itu. Data itu enggak ada semua,” kata Lutfianto.
“Saya mengeluarkan rekomendasi ini dalam keadaan ditodong. Karena dengan tekanan,” tambahnya.
Surat rekomendasi FKUB Kota Depok inilah yang menjadi basis klaim Pemerintah Kota Depok saat ingin menggusur SD Negeri 1 Pondok Cina untuk membangun Masjid Agung Al-Quddus. Sejak pertengahan November, Rencana itu diprotes banyak pihak, termasuk para orangtua siswa, .
Saat meneken surat rekomendasi itu, Lutfianto mengaku sama sekali tak mengetahui bahwa rencana pembangunan masjid tersebut berada di lahan sebuah sekolah dasar.
“Karena dalam surat lokasinya tidak detil, hanya tertulis di Jalan Margonda. Jalan Margonda itu luas,” katanya.
Yang dikatakan Lutfianto senada dengan surat permohonan pendirian rumah ibadah yang diajukan oleh Disrumkim ke Badan Kesbangpol Kota Depok yang diterima oleh Tirto. Surat yang diteken pada 21 September lalu itu tertulis: “perencanaan pembangunan dan lingkungan masjid di Jalan Margonda yang berlokasi di Kelurahan Pondok Cina”.
Surat ini yang menjadi dasar Badan Kesbangpol Kota Depok meminta rekomendasi ke Lutfianto.
Lutfianto mengaku heran mengapa Pemerintah Kota Depok ngotot ingin membangun masjid agung tanpa melihat urgensinya.
“Harusnya ada sosialisasi dari dua-tiga tahun sebelumnya. Kalau alasannya ramai, Jalan Margonda sudah ramai dari dulu. Ini kan konyol,” katanya.
Wartawan Tirto bertemu dengan Idrus Yahya, salah satu tokoh masyarakat Kelurahan Pondok Cina yang rumahnya hanya berjarak 200 meter dari sekolah yang akan digusur. Rumahnya ada di Jalan Haji Yahya Nuih—nama ayah Idrus.
Ia mengaku tak masalah jika ada rencana pembangunan masjid agung di atas lahan sekolah. Namun, menurutnya perlu ada sosialisasi, penyelesaian administrasi, dan lahan sekolah pengganti yang jelas dari Pemerintah Kota Depok.
Pasalnya, dirinya dan beberapa warga lain merasa tak pernah dimintai tanda tangan persetujuan—sebagaimana syarat dalam SKB 2 Menteri.
“Tidak pernah ada [permintaan persetujuan tanda tangan],” kata Ketua Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Kota Depok itu, 14 Desember lalu.
“Saya sendiri enggak pernah ada yang mendekati. Kalau mendekati masyarakat, sekitar sekolah saja kali. Saya enggak. Padahal masih satu Kelurahan Pondok Cina. Saya tahunya setelah rame,” katanya.
Demi Dana Jumbo Masjid Agung
Wali Kota Depok Muhammad Idris memang berambisi ingin membangun dua masjid agung hingga 2024 mendatang. Rencana itu sudah dilontarkan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejak akhir 2021 lalu.
Satu masjid berada di Kelurahan Jatijajar, dan akan dibangun pada 2023. Dana pembangunan itu berasal dari pendonor asal Kuwait sebesar Rp20 miliar.
Sama seperti masjid Al-Quddus, rencana pembangunan masjid agung di Jatijajar ini juga belum menempuh izin pendirian rumah ibadah, kata Lutfianto. “Belum ada permintaan [rekomendasi dari FKUB],” katanya.
Sedangkan Masjid Jami Al-Quddus membutuhkan lahan seluas 1.603 meter persegi. Biayanya diperkirakan mencapai Rp18,8 miliar yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat 2023—yang total angkanya mencapai Rp33,31 triliun.
Masjid Jami Al-Quddus tersebut rencananya akan dibangun di atas lahan SD Negeri 1 Pondok Cina—salah satu sekolah tertua di Kota Depok. Wakil Wali Kota Depok Imam Budi Hartono mengklaim bahwa rencana pembangunan masjid di pinggir Jalan Margonda tersebut atas permintaan warga.
"Warga selama ini berharap ketika pulang kantor, baik waktu Ashar maupun Magrib yang kesulitan mencari tempat untuk salat di Jalan Margonda Raya. Semoga dengan terbangunnya masjid ini bisa membantu kesulitan tersebut," katanya.
Pada Februari lalu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sampai ikut meninjau rencana lokasi dan datang langsung ke SD Negeri 1 Pondok Cina. Ia bahkan diminta menjadi desainer masjid tersebut dan menyanggupi.
Idris mengklaim dirinya kudu putar otak untuk mencari lahan pembangunan masjid tersebut mengingat harga tanah di Jalan Margonda sudah mahal—sekitar Rp30 juta per meter. Oleh Ridwan Kamil, ia didesak untuk menggunakan tanah pemerintah daerah atau tanah negara. Lahan di atas SD Negeri 1 Pondok Cina itulah yang dipilih.
Namun, rencana pembangunan masjid itu ditolak mentah-mentah oleh orangtua siswa SD Negeri 1 Pondok Cina. Suara penolakan tetap muncul, bahkan setelah kegiatan berlajar mengajar (KBM) ditiadakan dan para siswa dipindahkan lokasi belajarnya ke SD Negeri 3 dan SD Negeri 5 Pondok Cina.
Bahkan, para orangtua siswa bersama para aktivis sampai membikin posko di gedung SD Negeri 1 Pondok Cina yang akan digusur.
Saat kasus ini semakin ramai dan menjadi bahan pemberitaan media nasional, Idris sempat menyebut bahwa rencana pembangunan masjid di sekolah tersebut atas perintah Ridwan Kamil. Namun, Ridwan Kamil sampai perlu memberikan klarifikasi di akun Instagram-nya: ini merupakan proyek Idris yang datang meminta anggaran ke dirinya.
Penolakan dan atensi publik semakin deras sampai akhirnya rencana penggusuran oleh Satpol PP Kota Depok ditunda dan Ridwan Kamil juga menunda bantuan dana dari provinsi untuk pembangunan masjid tersebut—bahkan tak menutup kemungkinan untuk dibatalkan.
Sampai akhirnya Idris buka suara pada 14 Desember lalu: pembangunan Masjid Jami Al-Quddus ditunda sementara waktu sampai seluruh siswa SD Negeri 1 Pondok Cina direlokasi di satu tempat yang baru. Belakangan ia juga meminta agar para siswa, kepala sekolah, dan guru SD Negeri 1 Pondok Cina kembali dan memulai KBM seperti semula.
“Tetapi kalau mereka tidak nyaman, mau balik lagi ya silakan ke SDN Pondok Cina 1, kami akan fasilitasi sampai pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) baru di SDN Pondok Cina 5 terealisasi," kata Idris. “Alhamdulillah, RKB akan dibangun oleh Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR dengan anggaran yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2023.”
Patgulipat Terabas Aturan Diskriminatif
Keputusan yang diambil oleh Idris sebenarnya tetap tak mengubah apapun. Sekolah akan digusur, dan masjid akan tetap dibangun. Semua hanya bersifat penundaan.
Padahal, tak sulit menemukan masjid di Kota Depok, apalagi di Jalan Margonda—yang sedari awal memang dirancang sebagai “kawasan strategis” dan mengabaikan wilayah lainnya. Sistem Informasi Masjid (SIMAS) milik Kementeria Agama setidaknya mencatat ada 641 masjid di kota itu yang bisa dibagi lewat ragam varian tipologinya: satu masjid agung, satu masjid besar, 595 masjid jami, dan 44 masjid di tempat publik.
Angka di Badan Pusat Statistik (BPS) malah lebih banyak: ada 919 masjid di Kota Depok per 2021—angkanya naik sejak 2017.
Di Kelurahan Pondok Cina—lokus utama rencana pembangunan masjid agung yang akan menggusur sekolah itu—setidaknya ada tujuh masjid dari total 81 masjid di Kecamatan Beji.
Sejak menjabat, Idris memang seperti terobsesi membangun masjid—dengan dana fantastis. Contohnya di Kelurahan Cipayung (Rp11 miliar) dan Kelurahan Sawangan (Rp14,2 miliar).
Sepanjang 2021-2022, sepenelusuran Tirto, setidaknya Idris dan Imam sudah sembilan kali ikut peletakan batu pertama atau meresmikan masjid baru di Depok: satu masjid di Kelurahan Cilangkap, satu masjid di Kelurahan Krukut, dua masjid di Kelurahan Tugu, Kelurahan Ratu Jaya, dua masjid di Kelurahan Tanah Baru, satu masjid di Kelurahan Gandul, dan satu masjid di Kelurahan Sawangan.
Wartawan Tirto coba menghubungi Muhammad Idris, Kepala Disrumkim Kota Depok Dudi Miraz via pesan teks WhatsApp, terkait izin rumah ibadah yang tak memenuhi syarat sesuai aturan. Namun hingga Selasa (20/12/2022) pagi, tak ada jawaban.
Kengototan Pemkot Depok membangun masjid di Pondok Cina memang ironis. Para pemegang kebijakan ini dengan santai menerabas syarat-syarat dalam SKB 2 Menteri. Padahal, di banyak daerah, aturan serupa justru jadi penghambat pendirian rumah ibadah kelompok minoritas.
Semisal bagi umat Buddha di Bontang, Kalimantan Timur, yang kesulitan membangun vihara sejak dua dekade lalu. Mereka terhambat karena jumlah umatnya tak sampai 90 orang—sebagaimana syarat tanda tangan dalam SKB 2 Menteri. Meski demikian, konstitusi menjamin hak mereka untuk mendirikan rumah ibadah. Alhasil, untuk beribadah, mereka harus menempuh perjalanan hingga 3 jam ke Samarinda, atau 1,5 jam ke Sangatta, Kutai Timur.
Aturan serupa juga dijadikan alasan untuk menutup masjid milik jemaat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, yang berujung kepada persekusi dan pembakaran masjid oleh kelompok intoleran yang mayoritas.
Tak hanya itu, saat dua jemaat Kristen di Cilegon, Banten—HKBP Marantha dan Gereja Baptis Indonesia—sudah menyelesaikan syarat-syarat aturan tanda tangan untuk mendirikan rumah ibadah, toh, akhirnya tak kunjung dapat izin dari otoritas setempat dan warga yang menolak.
Bahkan, di Jawa Barat sendiri, ada kasus pencabutan IMB rumah ibadah milik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor oleh otoritas karena desakan mayoritas yang menolak.
Akhirnya, aturan SKB 2 Menteri soal pendirian rumah ibadah bukan lagi perkara penyelesaian administratif, tapi perkara mayoritas-minoritas. Tak heran sejumlah pihak—termasuk Amnesty International Indonesia—menilai SKB 2 Menteri adalah aturan diskriminatif dan layak dicabut.
Oleh karena itu, menurut Direktur Riset SETARA Institute Halili, pemaksaan rekomendasi yang diberikan FKUB Kota Depok untuk pendirian masjid agung, adalah bentuk favoritisme pendirian rumah ibadah. Padahal, di saat yang bersamaan, aturan pendirian rumah ibadah—termasuk FKUB-nya—jadi penghambat kelompok minoritas.
“Saya belum menemukan rekomendasi FKUB yang menjustifikasi favoritisme sevulgar di Depok,” kata Halili kepada wartawan Tirto. “FKUB kerap mempersulit atau minimal tidak proaktif dalam konteks pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas.”
“Jadi keliatan kalau ini berkaitan dengan politik anggaran yang bertalian dengan konservatisme keislaman dan formalisme keislaman,” tambahnya.
Melihat kasus yang terjadi di Depok, Halili akhirnya menilai bahwa pendirian rumah ibadah—menggunakan tangan legal FKUB—adalah perkara siapa yang punya kuasa yang besar.
“Aturan itu pada akhirnya soal dominasi aspirasi mayoritas.”[]
Editor: Nuran Wibisono