Menuju konten utama

Banyak Persekusi, Sindiran Jokowi soal Rumah Ibadah Tak Digubris

Menurut Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan masih banyak kepala daerah yang mempersulit minoritas usai sindiran pada 17 Januari tersebut.

Banyak Persekusi, Sindiran Jokowi soal Rumah Ibadah Tak Digubris
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pengantar dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (16/1/2023).ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.

tirto.id - Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mempertanyakan kewibawaan Presiden Joko Widodo yang pernah menyindir seluruh kepala daerah di Indonesia karena mempersulit pendirian rumah ibadah kelompok minoritas.

Masalahnya, menurut koalisi—yang tergabung dari Yayasan Lembaga Batuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, SETARA Institute, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)—masih banyak kepala daerah yang mempersulit minoritas usai sindiran pada 17 Januari lalu tersebut.

“Kewibawaan Presiden dipertanyakan. Padahal pernyataan Jokowi saat itu disaksikan publik Indonesia, karena hampir semua media besar mengangkatnya,” kata Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan dalam konferensi pers yang digelar koalisi di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (15/2/2023) pagi.

Ucapan Jokowi yang dimaksud koalisi adalah saat Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda di Sentul, Jawa Barat, pada 17 Januari lalu. Ia menyindir para kepala daerah yang melarang kegiatan dan pendirian rumah ibadah bagi warga selain muslim.

Jokowi menemukan sejumlah kasus di mana kepala daerah berkongsi dengan FKUB untuk melarang pendirian rumah ibadah, alih-alih memberikan rasa aman dan perlindungan kepada kelompok minoritas. Jokowi tak membeberkan siapa saja kepala daerah itu.

"Sekali lagi ini dijamin oleh konstitusi. Dandim, kapolres, kapolda, pangdam harus ngerti ini. Kejari, kejati jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan," kata Jokowi.

"Hati-hati lho konstitusi kita menjamin itu. Ada peraturan wali kota atau ada instruksi bupati, hati-hati kita semua harus tahu masalah ini. Konstitusi kita itu memberikan kebebasan beragama dan beribadah.”

Namun, di sisi lain Jokowi mengklaim masalah pelarangan beribadah dan pembangunan rumah ibadah hanya terjadi di beberapa kota atau kabupaten saja.

"Meskipun hanya 1, 2, 3 kota atau kabupaten, tapi hati-hati mengenai ini karena saya lihat masih terjadi. Kadang-kadang saya berpikir sesusah itu kah orang yang akan beribadah? Sedih kalau kita mendengarnya," tutup Jokowi.

Menurut Halili, usai sindiran Jokowi, masih ada praktik pelarangan muslim Ahmadiyah di Parakansalak membangun sarana peribadatan maupun kegiatan keagamaan lainnya yang dilakukan oleh Bupati dan Forkopimda Sukabumi. Bagi Halili, ini menjadi bentuk pembangkangan para kepala daerah.

Juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana juga kecewa atas masih maraknya praktik pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

“Ternyata, pernyataan Presiden Jokowi bahwa ‘jangan sampai kesepakatan mengalahkan konstitusi’ diabaikan oleh kepala daerah yang melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas keagamaan,” kata Yendra.

Ia mengaitkan kasus-kasus diskriminasi yang dialami Ahmadiyah akhir-akhir ini sebagai aktivasi politisasi agama menjelang pemilu serentak 2024. Karena itu, sambung Yendra, JAI akan bersiap bersama koalisi dan jaringan kebebasan beragama atau berkeyakinan untuk menghadapinya.

“Dalam pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya Ahmadiyah selalu dijadikan komoditas isu untuk mengangkat popularitas (peserta pemilu),” ucap Yendra.

Agar pernyataan Jokowi bukan isapan jempol belaka, harap Yendra, pemerintah pusat harus memastikan politisasi Ahmadiyah di pemilu serentak untuk kepentingan politik yang sempit tidak terus bergulir di daerah-daerah: tidak menjadikan SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah sebagai konsideran yang diterjemahkan secara salah.

Juandi Gultom dari Divisi Advokasi dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) turut menyayangkan praktik diskriminasi yang terus terjadi pascapernyataan Presiden Jokowi.

Sepanjang 2022 PGI mencatat ada 23 gereja yang mengalami gangguan. Data ini terus meningkat sampai hari ini. Padahal, kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dialami gereja-gerja sebelumnya banyak yang belum diselesaikan negara,” sesal Juandi.

Ia pun menyebut penolakan dan pembubaran ibadah yang dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cileungsi, Bogor, dan pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung yang sama-sama terjadi pada 5 Februari 2023, setelah perintah Jokowi kepada para pimpinan daerah dan Forkopimda.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri