Menuju konten utama

Menagih Janji Pemerintah Mempermudah Pendirian Rumah Ibadah

Pendirian rumah ibadah di Indonesia kerap memantik polemik bahkan konflik. Persoalan mayoritas-minoritas harus ditengahi sungguh-sungguh oleh pemerintah.

Menagih Janji Pemerintah Mempermudah Pendirian Rumah Ibadah
Warga berdoa di Vihara Dharmakaya Jalan Siliwangi, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (21/1). Selain sebagai tempat ibadah, bangunan yang memiliki campuran dari gaya Tiongkok dan Eropa itu juga menjadi bangunan cagar budaya dan destinasi wisata religi di Kota Bogor. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/aww/17.

tirto.id - Sejak tahun pertama dilantik sebagai Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas melayangkan janji untuk mempermudah izin pendirian rumah ibadah. Akhir pekan lalu, Sabtu (3/8/2024), ia kembali berjanji janji dengan menyatakan bahwa peraturan presiden (Perpres) terkait izin pendirian rumah ibadah siap disahkan.

Hal ini disampaikan Yaqut dalam “Dialog Kebangsaan dan Rapat Kerja Nasional Gekira” di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, ia menyatakan bahwa izin pendirian rumah ibadah ke depan hanya butuh rekomendasi dari Kementerian Agama (Kemenag). Artinya, fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang memberikan rekomendasi izin pendirian rumah ibadah bakal dicoret.

“Pemerintah untuk menunjukkan kehadirannya, maka rekomendasi pendirian rumah ibadah hanya cukup dengan Kementerian Agama saja, FKUB dicoret,” ujarnya.

Pernyataan Yaqut tampaknya berkaitan dengan rencana pemerintah yang ingin menerbitkan Perpres tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB).

Perpres ini sudah digodok pemerintah sejak 2021 dan digadang-gadang bisa menyederhanakan izin pendirian rumah ibadah. Saat ini, payung hukum pendirian rumah ibadah masih mengikuti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 (PBM 2006).

Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag), Anna Hasbie, membenarkan bahwa apa yang dikatakan Yaqut pekan lalu memang terkait Perpres PKUB. Perpres ini, kata Anna, bakal meningkatkan status PBM 2006 yang selama ini mengatur soal kerukunan umat beragama, termasuk aturan izin pendirian rumah ibadah.

“Ya betul. Aturan yang dimaksud Pak Menag [Yaqut] sebetulnya adalah Rancangan Perpres Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Perpres ini merupakan tindak lanjut dari upaya peningkatan status PBM No 9 dan 8 tahun 2006,” kata Anna kepada Tirto, Senin (5/8/20024).

Pendirian rumah ibadah di Indonesia memang kerap memantik polemik, terutama bagi umat beragama minoritas. Kelompok intoleran sering kali menjadi batu sandungan umat beragama minoritas mendirikan rumah ibadah. Sebagai catatan, umat beragama mayoritas di tiap daerah berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata selalu bersikap intoleran.

Selain itu, PBM 2006 sebagai payung hukum pendirian izin rumah ibadah saat ini juga tidak membawa semangat inklusivitas. Syarat pendirian rumah ibadah sangat berbelit-belit dan tidak memihak umat beragama minoritas. Pasal 14 ayat 1 peraturan tersebut menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

Lebih lanjut, pada ayat kedua, dijelaskan pula soal beberapa persyaratan khusus dalam pembangunan rumah ibadah.

Pertama, daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah harus paling sedikit 90 orang dan disahkan pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit harus berjumlah 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Syarat ini biasa disebut skema 90/60 dan sering menjadi penyebab utama sulitnya pendirian rumah ibadah.

Syarat khusus selanjutnya, harus ada rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama tingkat kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kabupaten/kota. Pada banyak kasus, FKUB justru menjadi penghalang utama pendirian izin rumah ibadah karena lebih memihak kepada umat beragama mayoritas.

Pelarangan izin pendirian rumah ibadah dan pembubaran kegiatan di rumah ibadah adalah persoalan yang berulang kali terjadi di Indonesia. Kondisi ini sudah sangat serius karena saban tahun angka kasusnya terus meningkat. Komitmen pemerintah membenahi persoalan ini masih sebatas janji dan imbauan seremonial.

Natal GKI Yasmin Bogor

Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia Bekasi merayakan Natal ke-8 di Taman Pandang Istana, Monas, Jakarta Pusat Rabu (25/12/2019). tirto.id/Adi Briantika

Tahun 2023, SETARA Institute mencatat sebanyak 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Angka peristiwa ini naik signifikan dibandingkan temuan mereka pada tahun 2022, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan.

Dari 329 tindakan pelanggaran tersebut, 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara, dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara. Sepanjang tahun 2023, terdapat 65 gangguan tempat ibadah.

Angka tersebut meningkat ketimbang tahun 2022 dengan 50 tempat ibadah. Dari 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan pada 2023, sebanyak 40 gangguan menimpa gereja, 17 menimpa masjid, 5 menyasar pura, dan 3 menimpa Vihara.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mendorong pemerintah turut mengakui eksistensi penghayat kepercayaan dalam rancangan Perpres PKUB. Selain itu, peran tokoh agama perempuan mesti diperluas sebagai bagian komposisi FKUB.

“Dalam keanggotaan FKUB, misalnya, afirmasi terhadap tokoh agama perempuan mestinya 30 persen, jangan sekadar ada seperti sekarang,” kata Halili kepada Tirto, Senin.

Ia juga menyampaikan agar fungsi FKUB diperluas seperti melakukan promosi toleransi dan memperbanyak ruang perjumpaan antarumat beragama. Hal ini lebih baik dibanding FKUB memberikan rekomendasi izin pendirian rumah ibadah. FKUB juga dapat berperan dalam resolusi konflik jika terdapat gesekan atau ketegangan antar umat beragama, misal terkait izin pendirian rumah ibadah.

Mayoritas penolakan pendirian tempat ibadah, SETARA mencatat, didasarkan pada belum terpenuhinya atau deviasi pemaknaan syarat pendirian tempat ibadah dalam PBM 2006. Sedangkan dalam kasus-kasus lain, meskipun persyaratan sudah terpenuhi, penolakan dari masyarakat setempat terus terjadi sehingga tempat ibadah tetap tidak diizinkan dibangun.

“Transformasi FKUB sehingga keanggotaan lebih representatif dan akuntabel. Rekrutmen terbuka jangan tertutup,” ujar Halili.

Rancangan Perpres PKUB diharapkan mengakomodasi masukan masyarakat sipil. Jangan sampai Perpres PKUB tidak banyak membawa perubahan, terutama soal persyaratan izin pendirian rumah ibadah. Lebih buruk lagi, Perpres PKUB jangan malah melahirkan masalah baru.

Ketika dikonfirmasi Tirto, Juru Bicara Kemenag, Anna Hasbie, mengaku tak memiliki draf Rancangan Perpres PKUB terbaru. Pastinya, kata dia, saat ini pembahasan sudah sampai di meja Kementerian Koordinator Polhukam.

“Saya juga belum ada draf terakhir,” ucap Anna.

Dalam dokumen draf Rancangan Perpres PKUB yang didapat Tirto, memang sudah ada perubahan dibandingkan PBM 2006. Kendati demikian, masih ada sejumlah pasal yang tak berubah, salah satunya terkait skema 90/60 sebagai syarat pendirian rumah ibadah. Draf yang diperoleh Tirto merupakan dokumen tahun 2023 yang sempat tersebar ke publik.

Selain mempertahankan syarat skema 90/60, draf Rancangan Perpres PKUB juga belum memasukan pengakuan terhadap penghayat kepercayaan dan kelompok minoritas beragama seperti Ahmadiyah dan Syiah. Paradigma pemerintah juga masih terpaku dengan kerukunan dan ketertiban dalam penyelesaian isu umat beragama, alih-alih menggunakan bingkai hak konstitusional dan hak asasi manusia.

Beberapa hal yang berubah dan cukup maju, kewenangan FKUB di draf 2023 tidak lagi memberi tugas kepada FKUB mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah. Izin pendirian rumah ibadah hanya perlu rekomendasi dari Kemenag. Selain itu, pemilihan anggota FKUB tak lagi terpaku jumlah penganut agama dan lebih ke pendekatan proporsionalitas, termasuk pengakuan terhadap keterwakilan anggota perempuan.

Perusakan Masjid Ahmadiyah

Masjid Miftahul Huda sebelum perusakan terjadi. (FOTO/Dok. Nasir Ahmad)

Pemda Jangan Intoleran

Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono, menyatakan sulitnya izin pendirian rumah ibadah juga tak lepas dari pemerintah daerah yang bersikap intoleran. Kepala daerah juga masih mengikuti suara mayoritas ketimbang memakai bingkai pandangan yang inklusif.

“Masih adanya kepala daerah yang kurang memiliki perspektif toleransi sehingga kebijakan pemerintah daerah cenderung tidak tegas dan intoleran, terutama saat menghadapi tekanan dari organisasi masyarakat,” kata Anto kepada Tirto, Senin.

Resolusi konflik ketika terjadi gesekan izin pendirian rumah beribadah juga sering berakhir alot. Pemerintah daerah biasanya tak menyelesaikan akar masalah dan justru menerjunkan aparat penegak hukum untuk menjaga ketertiban dan kerukunan umat beragama. Hal ini tentu memantik keberpihakan pada satu kelompok, sementara yang lain dipaksa menerima keadaan.

“Kalau sudah pendekatan keamanan ya akhirnya ketika ada desakan dari massa yang lebih besar atau mayoritas, ya akhirnya yang minoritas diabaikan. Diminta tidak memperkeruh suasana lagi seperti itu,” ujar Anto.

Senada dengan pendapat Anto, Pelaksana Riset dan Advokasi Kebijakan Wahid Foundation, Libasut Taqwa, memandang pemerintah daerah kerap intoleran terhadap umat beragama minoritas, terutama terkait izin pendirian rumah ibadah.

Laporan satu dekade kebebasan beragama/berkeyakinan Wahid Foundation sepanjang 2009-2018, ungkap Libas, ditemukan sedikitnya 88 regulasi diskriminatif di level pemerintah daerah, termasuk soal izin pendirian rumah ibadah.

“Ini mengonfirmasi peran pemda yang masih menjadi aktor dalam diskriminasi dalam isu rumah ibadah,” ujarnya kepada Tirto, Senin.

Libas menilai, kontrol kebijakan perlu dilakukan secara menyeluruh, misalnya lewat pembatalan kebijakan-kebijakan diskriminatif di tingkat pemda. Negara harus bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban terhadap hak warga negara, termasuk pendirian rumah ibadah bagi umat beragama dan penghayat keyakinan.

“Kami mengapresiasi upaya Rancangan Perpres PKUB ini. Memang sudah seharusnya pendirian rumah ibadah dipermudah atau tidak dipersulit karena berkaitan dengan hak-hak dasar warga negara,” ujarnya.

Beberapa laporan Tirto juga memotret beberapa kasus sulitnya pendirian izin rumah ibadah. Misalnya konflik pendirian rumah ibadah GKI Yasmin di Kota Bogor yang mencapai belasan tahun. Ada pula kebijakan pemda Cilegon yang selalu mempersulit pendirian gereja. Selain itu, penghayat kepercayaan seperti penganut Kejawen Urip Sejati juga masih dapat diskriminasi dan ancaman dalam menjalankan kepercayaan mereka.

Jaminan Pemerintah

Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag), Anna Hasbie, mengeklaim semangat rancangan Perpres PKUB yang digodok pemerintah saat ini untuk menjamin kemudahan warga negara mendapat hak beribadah. Aturan yang sudah dirancang sejak 2021 itu punya target agar dapat disahkan Agustus 2024.

“Ini untuk mempermudah seluruh warga negara mendapatkan hak beribadah. Dan aturan ini berlaku sama di seluruh wilayah Indonesia,” jelas Anna kepada Tirto.

Sementara itu, Plt. Deputi VI/Kesbang Kemenko Polhukam, Janedjri M. Gaffar, menyatakan FKUB kabupaten/kota nantinya dapat mengikutsertakan anggota penghayat kepercayaan. Namun, hanya penghayat kepercayaan yang terdaftar di Kemendikbudristek saja yang bisa menjadi anggota FKUB.

“Meski demikian dalam pelaksanaannya, FKUB dapat mengikutsertakan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang statusnya kita kawal yakni Penghayat Kepercayaan yang telah teregistrasi di Kemdikbudristek,” kata Janedjri.

Baca juga artikel terkait RUMAH IBADAH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi