tirto.id - Di Qadian, di sebuah desa kecil di distrik Gurdaspur, Punjab, India, Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835.
Nama “Qadian”, yang terletak sekitar 100 km di sebelah timur laut kota Lahore, berasal dari leluhur Ghulam Ahmad bernama Mirza Hadi Beg yang diangkat menjadi qadhi (hakim) oleh pemerintahan pusat Delhi. Karena kedudukan Beg sebagai qadhi, disebutlah tempat itu “Islampur Qadhi”. Pada perjalanannya, kata “Islampur” hilang dan hanya menyisakan “Qadhi”. Logat masyarakat setempat menyebut Qadhi dengan Qadi atau Qadian.
Asep Burhanudin—mantan Wakil Ketua II Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia, dalam Ghulam Ahmad, Jihad Tanpa Kekerasan (2005), menerangkan bahwa Ghulam Ahmad tidak mendapatkan pendidikan formal semasa hidupnya. Pada usia 6-7 tahun, ia dididik di rumah. Ayahnya memanggil seorang guru yang bernama Fazal Ilahi untuk mengajarkan Al Quran dan kitab-kitab bahasa Parsi.
Setelah itu ia belajar pada Fazal Ahmad yang mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf, lalu pada Gul Ali Syah yang mengajarinya kitab-kitab nahwu dan manthiq. Kendati tak mendapat pelajaran di luar itu, Ghulam Ahmad gemar membaca dan mempelajari berbagai buku di perpustakaan ayahnya. Dari ayahnya pula ia belajar ilmu pengobatan.
“Sedangkan ilmu ketabiban ia dapatkan dari ayahnya sendiri yang saat itu dikenal sebagai seorang tabib yang sangat mahir dan pandai,” tulis Asep (hlm. 34).
Pada usia 29 tahun, Ghulam Ahmad bekerja sebagai pegawai negeri pada pemerintahan Inggris di kantor Bupai Sialkot. Empat tahun kemudian sang ayah memintanya pulang kampung ke Qadian untuk bertani. Menurut catatan Asep Burhanudin, Ghulam Ahmad merasa tidak cocok jadi petani. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari Al Quran dan menyepi.
“Tahun 1875, Ghulam Ahmad mengadakan mujahadah atau menjalani disiplin asketis dengan melakukan puasa selama 6 bulan berturut-turut,” tambah Asep (hlm. 34).
Dalam Satu Dekade Rumpun Terasing: Narasi Identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2016), Nurhikmah menuturkan bahwa pada 1876 Ghulam Ahmad mengaku mendapat ilham persis ketika ayahnya sakit keras. Waktu itu usia Ghulam Ahmad 40 tahun.
“Persumpahan demi langit yang merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah tenggelamnya matahari pada hari ini,” demikian ilham tersebut berawal.
Tak lama setelah menerima ilham, ayahnya meninggal tepat sesudah magrib. Kepergian sang ayah membuatnya sedih dan gelisah. Nurhikmah menambahkan, kesedihan Ghulam Ahmad kemudian terobati oleh datangnya ilham kedua.
“Dari ilham ini hati saya menjadi teguh, bagai luka parah yang tiba-tiba menjadi sembuh dan pulih karena suatu obat…,” ujar Ghulam Ahmad.
Kabar tentang penerimaan ilham itu kemudian menyebar di kalangan umat Islam dan mendorong sebagian dari mereka meminta Ghulam agar jadi pemimpin mereka. Mulanya Ghulam Ahmad menolak permintaaan itu, dengan alasan karena ia belum menerima mandat dari Allah. Baru pada 23 Maret 1889, tepat hari ini 129 tahun lalu, ia membaiat 40 orang di Ludhiana, India.
Hal yang paling menggemparkan adalah saat Ghulam Ahmad mengaku sebagai Imam Mahdi dan Almasih yang kehadirannya telah dijanjikan Tuhan. Menurutnya, Nabi Isa tidak akan turun ke dunia karena telah wafat. Ghulam Ahmad pun mengatakan bahwa Isa dimakamkan di Kashmir.
Selain itu, oleh para pengikutnya Ghulam Ahmad diusung sebagai Khalifah pertama Ahmadiyah.
Dalam Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (2005) karya Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, komunitas Ahmadiyah percaya bahwa Nabi Isa tidak wafat di kayu salib. Setelah bangkit, Isa hijrah ke Kashmir untuk mengabarkan Injil. Di tempat inilah, menurut jemaat Ahmadiyah, Nabi Isa meninggal dalam usia lebih dari 120 tahun dan dimakamkan di Srinagar.
“Pendakwaan mengenai dirinya mulai diumumkan melalui selebaran dan dinyatakan secara eksplisit melalui karya-karyanya, yaitu Fateh Islam, Tauzih Maram, dan Izalah Auham yang terbit pada 1890-1891,” tulis Nurhikmah (hlm. 31).
Pengakuan Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi inilah yang kemudian menjadi doktrin bagi Jamaah Ahmadiyah, sekaligus membedakan Ahmadiyah dari ajaran Islam arus utama yang mengakui bahwa Isa belum wafat dan akan turun nanti pada hari yang dijanjikan.
Pada perkembangannya Ahmadiyah terbagi dua, yaitu aliran Qadian yang menganggap Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi, dan aliran Lahore yang menganggap Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu). Namun Ahmadiyah di Indonesia kadung dianggap sebagai jemaah di luar Islam yang sesat dan menyesatkan sehingga perbedaan dua aliran tersebut kerap diabaikan. (Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H/26 Mei-1 Juni 1980 M, di Jakarta).
Ahmadiyah Masuk Nusantara
Atas anjuran dua ulama besar dari Minangkabau Zainuddin Labai El Yunusyiyah dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin, dua anak muda dari Perguruan Tinggi Sumatra Thawalib, pergi menuntut ilmu ke India pada 1922.
Mereka menuju kota Lucknow, India, dan bertemu dengan ulama bernama Abdul Bari Al-Anshari. Di sana mereka juga berjumla dengan Zaini Dahlan yang menyusul dari Padang Panjang. Dari kota itu mereka kemudian lanjut ke Lahore dan berkenalan dengan ajaran Ahmadiyah aliran Lahore.
Perjalanan ketiga orang itu dilanjutkan ke Qadian. Setelah bertemu Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad, mereka pun masuk Madrasah Ahmadiyah, kemudian Jamiah Ahmadiyah, dan akhirnya menjadi Jemaat Ahmadiyah.
Pada 1924, mahasiswa Indonesia yang tinggal di Qadian meningkat berkat informasi dari ketiga anak muda yang belajar di kota tersebut. Pada tahun itu, sebanyak 19 orang mahasiswa asal Indonesia meminta Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sebagai Khalifah ke-2 untuk berkunjung ke Indonesia.
Sang Khalifah ke-2 pun mengutus Maulana Rahmat Ali ke Indonesia menyebarkan ajaran Ahmadiyah, khususnya di Sumatra dan Jawa. Pada 1925, Maulana Rahmat Ali berlayar ke Indonesia melalui Penang, Medan, dan Sabang. Menurut Nurhikmah, Maulana Rahmat Ali mendapat kesulitan di Sabang dan sempat ditahan selama 15 hari oleh polisi kolonial. Kapal yang ia tumpangi akhirnya mendarat di Tapaktuan, kota kecil di pesisir barat Aceh pada 2 Oktober 1925.
“Ketika Maulana Rahmat Ali tiba di pantai Tapaktuan, beliau disambut ratusan penduduk yang menunggu kedatangan utusan Imam Mahdi. Selaku juru bahasa Arab adalah pemuda Abdul Wahid. Walaupun Rahmat Ali belum menguasai bahasa dan adat istiadat setempat, namun berkat sifat ramah-tamah, mudah bergaul dengan setiap orang, di samping berilmu, pandai bersenda gurau, sifat pemberani, beliau mudah diterima orang,” tulis laman ahmadiyah.id.
Namun menurut menurut catatan Nurhikmah dalam Satu Dekade Rumpun Terasing: Narasi Identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2016), hanya itu baru permulaan saja. Sebab, setelah tahu bahwa yang pokok ajaran Maulana Rahmat Ali bertentangan dengan Islam, mayoritas masyarakat Muslim Tapaktuan menolaknya. Dari Tapaktuan, ajaran Ahmadiyah menyebar ke berbagai daerah di Nusantara sampai hari ini.
Persekusi Terhadap Jemaah Ahmadiyah
Karena ajarannya dianggap bertentangan dengan Islam, Jemaah Ahmadiyah di Indonesia yang notabene minoritas kerap dipersekusi. Misalnya seperti yang terjadi di Cikeusik, pandeglang, Banten pada 6 Februari 2016. Dilansir dari tempo.co, Persekusi tersebut menewaskan tiga penganut Ahmadiyah dan melukai lima lainnya.
Persekusi juga di Bayan, Lombok Timur, pada 1999. Masjid milik Jemaah Ahmadiyah dibakar warga dan mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Pada 2006 di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Jemaah Ahmadiyah menjadi korban perusakan dan pembakaran rumah. Mereka pun diusir dari tempat tinggalnya.
Pada 23 Mei 2016, masjid Ahmadiyah di Desa Purworejo, Kendal, dirusak warga. Masjid yang masih dalam tahap pembangunan ini dindingnya dijebol sehingga barang-barang di dalamnya berserakan. Waktu itu, warga mengecam Ahmadiyah sebagai sekte sesat menolak pembangunan masjid tersebut.
Menyikapi beberapa kasus persekusi terhadap Jemaah Ahmadiyah, pada 2008 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri yang salah satu isinya melarang Jemaah Ahmadiyah menyebarkan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.
Dalam pembuka buku Satu Dekade Rumpun Terasing: Narasi Identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2016), Syahidin, Jemaah Ahmadiyah asal Lombok menulis:
“Kami hanya ingin hidup tenang dengan kebebasan yang sama seperti diberikan kepada warga negara lainnya. Kami memiliki keinginan untuk bisa menghuni tempat yang nyaman dan hidup tenang. Lebih-lebih kami ini semua tidak ada yang pendatang, semuanya warga Lombok, orang Sasak semua. Kami pengungsi paling lama di Indonesia dan di Lombok, pengungsi di tanah sendiri.”
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Windu Jusuf