tirto.id - Setara Institute, lembaga sipil pemantau situasi hak asasi manusia di Indonesia, menolak stigma "sesat" dalam kasus penangkapan 17 orang berkeyakinan Syiah di Halmahera Selatan, sebuah kabupaten di Maluku Utara. Penanganan ranah kriminal tidak boleh dicampuri dengan ranah keyakinan, menurut Setara.
Dalam kasus penangkapan itu, Wakil Bupati Halmahera Selatan Iswan Hasjim menyatakan akan "mengidentifikasi" keberadaan aliran Syiah di wilayah itu apakah sesat atau tidak.
Pernyataan pejabat publik ini tidaklah relevan dengan tindak kriminal warga. Hal ini ditegaskan oleh Sudarto, peneliti Setara Institute. Ia mengatakan bahwa negara tidak boleh menstigma sesat pada ajaran dan aliran tertentu terutama dalam menanggapi dan menangani persoalan hukum.
“Negara hanya boleh menangani pure (murni) persoalan hukum, kriminal, dan tidak boleh menstigma ajaran sesat dalam kasus pengeroyokan,” katanya saat dihubungi Tirto, Sabtu (9/9).
Ia juga menyayangkan ada "penggeneralisasian" aliran tertentu dalam kasus kriminal biasa, yang pada akhirnya disebutkan bahwa “Syiah” melakukan pengeroyokan terhadap orang tertentu.
“Kasus-kasus itu kriminal biasa. Tindak pengeroyokan itu kriminal biasa. Tiba-tiba digabungkan dengan isu "oknum" orang-orang Syiah melakukan pengeroyokan. Ini kemudian menjadi wacana yang mengeroyok adalah orang Syiah,” katanya.
Dalam kasus ini, ia menyayangkan wacana yang terlanjur berkembang di tengah masyarakat, termasuk menjadi bahan pemberitaan.
“Jadi logika orang itu bukan lagi pada oknum yang kebetulan orang Syiah, tetapi Syiah mengeroyok orang. Itu opini yang terbentuk di publik,” ungkapnya.
Sudarto juga menyayangkan sikap Wakil Bupati Iswan Hasjim yang tidak melindungi warganya.
“Akhirnya Wakil Bupati Halmahera Selatan itu mengatakan, kalau ini dinyatakan sesat harus ditangani, ditobatkan,” ujarnya.
Untuk itu, Setara Institute menolak semua anggapan yang telanjur berkembang di masyarakat dalam kasus kriminal biasa itu.
“Jadi logika itu yang kita tolak bahwa penanganan kriminal jangan ditarik pada ranah keyakinan, karena keyakinan itu adalah ranah yang sangat internum, yang negara tidak boleh campur tangan."
Sudarto berpendapat, penanganan atas kasus ini melebar dan dihubungkan latar belakang pelakunya sebagai Syiah ketika salah seorang warga Goro Goro bernama Musrin Jamaludin diduga dikeroyok oleh tiga orang. Dan kebetulan ketiga pelakunya berkeyakinan Syiah.
“Jadi pada tanggal 5 [September], terjadi pelaporan dan kehebohan. Kata polisi, untuk menghindari konflik yang lebih besar, ditangkaplah orang-orang Syiah di sekitarnya, yang ada 17 orang itu,” kata Sudarto.
Dari sanalah penanganan kasus tersebut oleh kepolisian, termasuk oleh pejabat publik setempat, melebar menjadi tindakan condoning—pernyataan pejabat publik yang potensial menimbulkan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan.
Sudarto menegaskan bahwa polisi harus bekerja berdasarkan hukum, bukan berdasarkan pada stigma sesat pada satu kelompok.
Pernyataan & Tindakan Diskriminatif oleh Para Pejabat Setempat
Wakil Bupati Halmahera Selatan Iswan Hasjim menyatakan "menunggu informasi" dari Kementerian Agama kabupaten untuk "mengidentifikasi" keberadaan aliran Syiah di desa itu apakah "sesat atau tidak."
"Kalau memang aliran ini dilarang, maka kita lakukan penyuluhan terhadap pengikut aliran Syiah untuk kembali bertobat," ujarnya.
Bahkan, pemerintahan daerah setempat akan "menunggu" sikap Majelis Ulama Indonesia kabupaten apakah akan memberi bantuan makanan dan minuman terhadap 17 orang Syiah setelah mereka "dievakuasi" oleh Dinas Sosial setempat ke Labuha, ibu kota kabupaten.
Pernyataan diskriminatif lain datang dari Kapolda Maluku Utara Brigjen Pol Achmat Juri yang menyebut kasus kriminal murni ini sebagai "kasus aliran Syiah".
Hal serupa datang dari Kabid Humas Polda Maluku Utara, AKBP Hendri Badar di Ternate, yang berkata "kasus aliran Syiah" ini ditangani pihak Polres Halmahera Selatan dengan cara melibatkan pihak MUI kabupaten dan pemerintah kabupaten.
Setara Instute: Harus Memisahkan Kriminal Murni dengan Keyakinan Pelaku
Atas dasar pernyataan dan langkah diskriminatif dari para pejabat setempat menangani kasus pengeroyokan ini, sebagaimana dalam siaran pers Setara Institute, pihak-pihak berwenang di Halmahera Selatan harus memisahkan kasus kriminal murni dengan ranah keyakinan pelaku.
Setara mengimbau, polisi harus melakukan penegakan hukum secara proporsional dan profesional, dengan tidak terlibat mempromosikan politisasi identitas agama atau keyakinan setiap subjek hukum.
Langkah kepolisian melibatkan saran MUI juga keliru ketika fatwa MUI—yang notabene tidak mengikat bagi penegak hukum dan pemerintah—justru telanjur dipakai sebagai rujukan tindakan aparat negara.
Pemerintah daerah juga harus menghentikan upaya-upaya penyesatan terhadap pengikut Syiah, serta menjaga kerukunan dan toleransi antar-agama atau keyakinan, bukan menghakimi.
“Kepolisian harus memastikan tidak bekerja atas dasar stigma sesat Syiah seperti respons yang disampaikan Wakil Bupati Halmahera Selatan, tapi berdasarkan murni penegakan hukum," tulis Setara Institute.
"Penting diingat bahwa penggunaan identitas agama, keyakinan, dan stereotip kelompok yang dianggap membahayakan keteraturan sosial menjadi semakin marak dan itu hanya menunjukkan penegakan hukum yang absurd," tambahnya.
Diskriminasi terhadap minoritas agama dan keyakinan marak dalam beberapa tahun terakhir. Laporan Komnas HAM mencatat bahwa selama 2016, pengaduan atas pelanggaran kebebasan agama di Indonesia berjumlah 97, meningkat dari 87 kasus pada 2015.
Dalam kasus kekerasan terhadap penganut Syiah, kini ada sekitar 500 pengungsi Syiah dari Sampang, Madura, yang tinggal di sebuah rusun di Sidoarjo, Jawa Timur, sejak pengusiran dan pembakaran rumah-rumah dan madrasah mereka pada akhir tahun 2011.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Fahri Salam