Menuju konten utama

Berbuka Puasa bersama Umat Syiah di Jakarta

Di tengah kebencian anti-Syiah, pengikut Syiah di Jakarta tetap tenang menjalankan ibadah selama bulan puasa. Salah satunya di sebuah kantor kebudayaan Iran. Bagaimana rutinitas mereka menjelang berbuka puasa?

Berbuka Puasa bersama Umat Syiah di Jakarta
Sejumlah pengungsi Syiah Sampang, Madura, melakukan sholat di Rusunawa Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (28/3). Sebanyak 332 pengungsi Syiah Sampang selama 4 tahun masih tak jelas di tempat pengungsiannya, meskipun sudah berakhir perselisihan dan konflik antara warga Syiah dan Sunni setelah Islah pada 2013 lalu. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/ama/17

tirto.id - Saban Ramadan, sejak 2007, aula Husainiyah di kantor Lembaga Kebudayaan Iran dipakai menjadi tempat pengikut Syiah di Jakarta berbuka puasa. Aula di lantai satu ini pun sebagai lokasi salat Jumat.

“Di sini terbuka untuk umum, siapa saja boleh datang,” ujar Arif Mulyadi, direktur riset Islamic Cultural Center, nama lain dari lembaga tersebut, kepada saya, Kamis sore pekan lalu.

Gedung tiga lantai ini, yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, berdiri sejak 2003. Selain sebagai kantor, ia juga dipakai lokasi perpustakaan dan pusat pendidikan bahasa. Tahun ini, pengurus menambahkan kegiatan baru berupa riset. Lembaga ini dipimpin oleh seorang direktur dari Iran, sementara wakilnya orang Indonesia.

Saban bulan puasa, banyak ulama Iran datang ke kantor tersebut. Mereka rutin berdakwah ke yayasan-yayasan Syiah yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedikitnya ada 300 yayasan, tempat berkumpul jemaah Syiah. Di Jakarta, misalnya, yayasan itu berada di daerah Jakarta Barat dan Jakarta Timur.

Nama Husainiyah untuk aula ini tentu saja merujuk Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan putra Rasulullah, imam ketiga bagi Mazhab Ahlul Bait, yang meninggal dalam Pertempuran Karbala. Namanya diabadikan dalam peringatan Asyura setiap 10 Muharram, suatu ungkapan kegetiran dan rasa duka bagi kalangan Syiah dan pengikut Sufi.

Arif berkata, meski jumlah jemaah Syiah lumayan besar di Jakarta, tetapi mereka tidak memiliki masjid. Alasannya adalah faktor keamanan. Sentimen anti-Syiah menguat terutama setelah ada peristiwa pengusiran dan pembakaran kampung ratusan warga Syiah di Sampang, Madura, pada akhir akhir 2011 dan awal 2012. keluarga-keluarga yang terusir ini lantas tinggal di sebuah rusun di Sidoarjo sejak 2013 dan belum bisa pulang sampai sekarang. Seorang ulamanya pun dihukum pidana karena dianggap melakukan penodaan agama.

Gejala kekerasan, baik fisik maupun verbal, terhadap Syiah sejalan naiknya aksi-aksi serupa oleh kelompok militan muslim terhadap minoritas agama dan keyakinan lain, seperti terhadap Ahmadiyah maupun umat Kristen. Pelanggaran terhadap kebebasan beragam dan berkeyakinan menguat di bawah 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Syiah, oleh para pembencinya, dituduh “bukan Islam.”

Meski begitu, situasi politik yang merembet pada gejala konservatisme dalam agama tersebut tidak menyurutkan jemaah Syiah beribadah.

“Jemaah Syiah juga banyak yang salat di masjid-masjid kampung,” ujar Arif. “Itu tidak masalah. Dan di sini, kalau salat Jumat, kami juga terbuka untuk umum.”

Berkumpul di Aula Husainiyah

Pernyataan Arif benar belaka. Sebagian warga Sunni bisa ikut berbuka puasa bersama dengan jemaah Syiah di aula lembaga Kebudayaan Iran tersebut. Ini tak terkecuali bagi warga nonmuslim. Mereka hangat, mereka terbuka, mereka menghormati orang lain dari keyakinan yang berbeda maupun beda mazhab. Tak ada kecurigaan mencolok bagi siapa pun yang ingin bergabung merayakan buka puasa bersama itu.

Ruangan aula bersih. Orang yang memasuki kantor ini, tak cuma aula, mesti melepas alas kaki lebih dulu. Pada Kamis sore, sekira pukul 16.30, satu persatu jemaah Syiah dari Jakarta berdatangan. Mereka bersiap menggelar pengajian sekaligus ceramah rutin sebelum waktu berbuka puasa tiba, yang akan diadakan hingga 19 Juni mendatang.

“Tidak apa-apa, ikut saja, mari bergabung,” Sigit, jemaah Syiah dari Semarang, berkata ramah kepada saya.

Di dalam Aula Husainiyah, spanduk Imam Khomeini, tokoh revolusi dan ulama besar Iran, terpampang di dekat mimbar. Kain putih digelar memanjang. Sisi kanan dan kirinya sudah tersedia kitab suci Alquran. Jemaah pria duduk menghadap ustaz, sementara jemaah perempuan duduk di sebelah kanan.

Sekira pukul lima sore para jemaah membaca ayat-ayat Alquran secara serempak. Jemaah lain, sepulang dari kantor, segera bergabung. Ada sekitar 50 orang, laki-laki maupun perempuan serta tiga anak kecil, mengikuti kegiatan rutin tersebut. Ia berlangsung hingga waktu magrib tiba.

Tema ceramah pada malam Jumat itu mengulas poin-poin penting dalam Alquran, yang telah diulas sejak Senin lalu. Pembimbingnya adalah ustaz Miftah Rahmat. Pengajian berlangsung hingga sekira pukul 9 malam.

Infografik HL Puasa Bareng Syiah

Perbedaan Waktu Ibadah antara Sunni dan Syiah

Ketika azan Magrib berkumandang dari masjid-masjid di sekitar, para jemaah Syiah masih menyuntuki bacaan Alquran. Barulah, 15 menit kemudian, pengajian itu berakhir.

Mereka lantas wudu selagi azan Magrib dari aula bergema. Kembali ke aula untuk salawat, para jemaah lantas melaksanakan salat Magrib yang digabungkan dengan salat Isya. Kira-kira pukul 18:30 barulah mereka membatalkan puasa.

Perbedaan waktu berbuka antara pengikut Syiah dan Sunni berdasarkan perhitungan waktu Magrib. Pengikut Sunni membatalkan puasa saat Magrib tiba setelah matahari tergelincir. Sedangkan pengikut Syiah menilai Magrib datang bila matahari tenggelam diikuti lenyapnya mega kemerahan di langit timur.

Perbedaan ini pun termasuk waktu Imsak saat sahur. Umat Sunni biasanya berhenti menyantap makan dan minum sepuluh menit sebelum azan Subuh, sementara umat Syiah menilai waktu Imsak tiba sewaktu azan Subuh. Keduanya tetap menjalankan ibadah puasa pada saat azan Subuh. Pengikut Syiah juga menjalankan lima salat wajib dengan menyingkatnya dalam tiga waktu: Subuh; Zuhur dan Asar digabung waktunya; begitupun Magrib dan Isya.

“Tidak ada yang kurang dari salat, tetap 17 rakaat,” ujar Arif.

Soal mengutamakan salat Magrib lebih dulu, Arif juga berkata bahwa sifatnya pada anjuran. “Salat dalam keadaan puasa itu ganjarannya lebih baik,” tambahnya, sambil mencontohkan bahwa ketika orang berbuka puasa lebih dulu, maka kecenderungannya akan istirahat sejenak. Sifatnya juga lebih menyesuaikan situasi sekitar.

Saat waktu berbuka itu, saya ditawari Sigit untuk mengambil segelas es kelapa muda. “Kalau mau ambil takjil,” katanya, “bisa ambil di depan.”

Saban hari, Sigit selalu berbuka puasa di Husainiyah. Kamis petang itu ia bergabung dengan para jemaah lain yang segera duduk berjajar saling berhadapan, di antara karpet putih yang jadi tatakan untuk makan. Tak berapa lama, semangkuk nasi kebuli berisi ayam, sayur, dan buah pisang dibagi-bagikan pengurus aula. Para jemaah segera menyantapnya sambil bercengkerama. Sesudahnya mereka kembali mengaji hingga larut malam Jumat.

Di antara mayoritas jemaah Syiah itu, seseorang berbuka puasa lebih dulu ketika azan Magrib tiba. Ia adalah Jumadi, petugas keamanan kantor. Ia menyeruput es kelapa dan mengisap sebatang rokok.

“Sejauh ini saya tidak pernah ada masalah,” kata Jumadi, yang sudah bekerja selama 13 tahun di Lembaga Kebudayaan Iran. “Biar beda, yang penting adalah pengertian. Di sini tidak mempermasalahkan perbedaan.”

“Kita sama-sama memahami, itu yang membuat tenteram,” ujarnya.

===========

Keterangan foto: Sejumlah pengungsi Syiah dari Sampang, Madura, melakukan salat di Rusunawa Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (28/3). Sebanyak 332 pengungsi Syiah selama empat tahun tinggal di rusun dan belum pulang ke kampung halamannya setelah diusir dan rumah mereka dibakar pada akhir 2011 dan awal 2012. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/ama/17

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam