Menuju konten utama

Cara Pengikut Yesus Merayakan Ramadan

Dua jemaat gereja di Bekasi dan Tangerang menyambut Ramadan dengan suka cita. Cara sederhana mereka tetapi punya arti penting: berbagi makanan untuk warga muslim menjelang waktu buka puasa.

Cara Pengikut Yesus Merayakan Ramadan
Sejumlah warga beragama Kristen membagikan takjil gratis kepada pemgendara motor di Bekasi. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Keringat membasahi kerah kemeja seragam kerja Sinung. Ia mengusap keningnya berkali-kali. Hari itu cuaca di Kota Bekasi memang gerah. Padahal sudah lebih dari pukul 5 sore.

Sinung berdiri di samping mobil, tampak gelisah. Bolak-balik mengecek ponsel. Rekan-rekannya dari kelompok Cikunir Gereja Kristen Jawa (GKJ) Bekasi yang ia tunggu belum juga datang. Jumat sore pekan lalu, 9 Juni, sesuai jadwal, mereka mendapat giliran untuk membagikan takjil bagi pengendara yang melintasi jalan Mayor Madmuin Hasibuan.

Sinung masuk ke mobil dan mengganti pakaian. Ia keluar dengan penampilan lebih santai dengan mengenakan kaos. Ia membuka bagasi mobil. Di dalamnya ada berdus-dus takjil yang sudah terbungkus rapi. Isi paket takjil itu adalah gorengan, kurma, penganan stik keju, lontong isi sayur, dan air minum.

“Bu Yuyun itu sudah datang,” kata istri Sinung.

Sinung melambai pada mobil yang bergerak pelan ke arahnya. Bu Yuyun memarkir mobil lalu menghampiri Sinung. Yuyun mengatakan jika rekan-rekan lain akan sedikit terlambat karena jalanan macet. Sinung memaklumi itu. Sejak pukul 4 sore, jalanan biasanya sudah padat. Karena itulah Sinung memutuskan untuk izin pulang lebih cepat dari kantor agar bisa tepat waktu.

“Kalau terlambat, khawatir sudah lewat buka,” ujar Sinung.

Sekitar setengah enam lewat, delapan warga gereja dari kelompok Cikunir tiba. Salah satunya adalah Bu Susi. Ia yang memasak lontong isi sayur, dibantu tetangganya yang muslim. Lima menit sebelum azan Magrib, sebelas warga gereja lantas membagikan takjil di pinggir jalan.

Para pengendara sepeda motor langsung sigap menyambar takjil tanpa berhenti. Sinung dan tiga lelaki warga gereja lain bertugas membopong dus berisi takjil, dan ibu-ibu yang membagikan.

Bu Susi tampak paling semangat; ia bergegas menghampiri pengendara motor di sisi kanan jalan, lalu kembali ke trotoar mengambil takjil, dan berjalan tergesa kembali. Bu Yuyun turut mondar-mandir, sesekali berpose bersama pengendara motor atas permintaan sejumlah wartawan yang meliput.

Tak sampai sepuluh menit, 300 paket takjil itu ludes. Bu Susi dan Bu Yuyun duduk di trotoar, ngos-ngosan. Bu Susi menegak botol air minum. Ia tersenyum melihat jalanan.

“Berhasil hari ini," katanya. "Enggak sia-sia masak dari pagi."

Warga yang mengambil takjil tidak peduli soal perkara siapa pembagi takjil itu. Mereka menerima dengan senang hati, tak ada yang menolak. Tidak ada pula yang bertanya kepada Sinung dan kawan-kawan, “Ini takjil dari mana?” kecuali wartawan. Yuyun pun secara terang menjelaskan kepada wartawan bahwa mereka dari gereja.

SEBANYAK 22 pemuda Gereja St. Odilia, Ciakar, Tangerang, berkumpul di rumah Marcelina di kompleks Citra Raya, Sabtu sore, 3 Juni lalu. Mereka akan membagikan takjil untuk warga muslim yang berpuasa di sekitar Ecoplaza Citra Raya. Jaraknya dekat dari rumah Marcelina dan satu kilometer dari Gereja St. Odilia.

Sejak pukul lima, Alvi, ketua pemuda St. Odilia, sudah menunggu teman-temannya di rumah Marcelina. Tika dan Yuli sudah di sana. Sejak pagi, mereka ikut memasak kolak dan membuat es buah, lantas dituangkan ke dalam gelas plastik. Total ada 120 gelas plastik.

Setelah lebih dari 10 orang berkumpul, mereka berangkat ke Ecoplaza dengan mengendarai sepeda motor, saling berboncengan. Di sana mereka menunggu teman lain yang datang sebelum mulai membagikan takjil.

Alvi memutuskan takjil ini tidak akan dibagikan ke orang di jalanan. Ia memilih membagikannya kepada orang-orang kecil. Mereka menyusuri sawah di perkampungan sekitar Ecoplaza, memberikan es buah dan kolak pada petani. Sebagian menyambangi kuli bangunan di sekitar perumahan dan para pengemudi ojek online.

Saat membagi takjil, sebenarnya mereka cukup was-was. Mereka khawatir menghadapi pertanyaan: Dari mana takjil ini? Alvi menimbang, jika mereka menjawab jujur dari pemuda gereja, akan ada penolakan dari warga. Alvi pun menegaskan kepada teman-temannya agar “jangan bawa-bawa gereja” dalam bagi-bagi takjil ini. Pertimbangan itu didasarkan pada tensi politik di Jakarta yang membawa-bawa isu agama di dalamnya.

Yuli dan Tika setuju dengan pertimbangan Alvi. Bukan bermaksud berpikir negatif, tetapi Yuli sepakat cara itu dilakukan untuk jaga-jaga supaya kegiatan mereka tidak memicu konflik.

Tika mengamini; ia khawatir penolakan itu menjadi masalah seperti dalam kasus Ahok di Jakarta. Karena itu saat pengemudi ojek online bertanya soal takjil itu dari mana, Yuli langsung sigap, “Dari Karang Taruna.”

Penolakan justru datang bukan lantaran latar belakang mereka dari gereja, namun tetapi masakan mereka yang dianggap tidak terjamin kebesihannya. Seorang ibu melarang anaknya menerima takjil yang ditawarkan Tika dengan alasan itu.

“Nanti sakit perut, jangan-jangan.” Tika tidak mengambil hati penolakan itu.

Selesai membagikan, mereka kemudian berkumpul. Semua gembira. Bagi-bagi takjil itu berjalan lancar. Mereka lega.

infografik hl indepth selasa 13062017 berbagi takjil meski beda

Perihal Niat Baik dan Toleransi

Sudah menjadi kebiasaan GKJ Bekasi, tempat ibadah Sinung, Bu Susi, dan Bu Yuyun membagikan takjil setiap hari selama Ramadan. Kegiatan itu sudah dimulai sepuluh tahun lalu, dirintis oleh Eko Setiadi, ketua Komisi Pewartaan Kasih GKJ Bekasi tahun 2007.

Rony Priyo Utomo, ketua Komisi Pewartaan Kasih, mengatakan sejak itu kegiatan rutin setiap tahun. Setiap kelompok warga gereja berdasarkan wilayah kedekatan tempat tinggal ditugaskan untuk menyiapkan takjil secara bergilir. Di GKJ Bekasi ada 12 kelompok wilayah, sehingga dalam satu bulan, satu kelompok bisa mendapat giliran dua kali membagikan takjil.

“Kami ingin mengajarkan pada jemaat gereja bagaimana bertoleransi. Kita menyiapkan takjil untuk saudara kita yang sedang berpuasa, khususnya bagi yang di jalan. Supaya mereka bisa berbuka tepat waktu,” ujar Rony.

Gereja pun menyisihkan uang persembahan untuk pembuatan takjil.

“Sekitar 10 persen dari uang persembahan,” kata Rony.

Uang itu lalu dibagi ke kelompok-kelompok. Satu kelompok hanya mendapat bantuan Rp900 ribu dari gereja untuk membuat takjil. Jika dirasa kurang, anggota kelompok wilayah biasanya urunan untuk menambahi kekurangan.

Tak ada juga yang merasa keberatan menunaikan tugas membagikan takjil itu.

Bu Susi, misalnya, dengan senang hati memasak lontong dan gorengan untuk takjil. Pagi-pagi ia sudah di rumah Sinung memasak bersama istri dan kakak ipar Sinung. Tidak ada niat buruk dalam hatinya. Ia murni mau terlibat dalam kegiatan itu semata ingin membantu sebagian kecil pemeluk Islam di di Bekasi dengan menyediakan takjil. Ia dan teman-temannya bahkan tidak peduli dengan latar belakang agama mereka sendiri. Mereka tidak pula koar-koar atau membentang spanduk yang menegaskan bahwa mereka dari gereja. Tidak ada simbol agama sama sekali.

“Niatnya, kan, membantu. Kalau kita, secara batin, sudah senang bisa membantu orang lain,” tutur Bu Susi.

Selain membagikan takjil, GKJ Bekasi juga rutin membagikan sembako pada warga muslim di sekitar gereja setiap Ramadan. Mereka tidak berniat apa-apa selain membantu. Bagi Sinung sendiri, cara ini dianggapnya sebagai rasa hormat terhadap bulan Ramadan dan pemeluk Islam.

“Caranya dengan berbagi seperti ini,” ujarnya.

ALVI dan teman-temannya punya kegelisahan yang sama terhadap masalah keberagaman di Indonesia. Penggunaan sentimen agama dalam pemilihan Gubernur Jakarta membuat mereka was-was. Meski demikian, dalam kegiatan sehari-hari, mereka tetap berteman baik dengan mereka yang berbeda agama.

Iklim politik Jakarta yang buruk itu pula yang membuat Alvi memutuskan agar tidak membawa nama gereja dalam kegiatan bagi-bagi takjil. Padahal, sejak tahun lalu, kegiatan bagi takjil itu sudah dimasukkan dalam program kerja pemuda gereja, sebelum ramai isu Basuki “Ahok “ Tjahaja Purnama yang dihukum atas tuduhan menista agama Islam.

“Niat kami memang hanya untuk berbagi dengan mereka yang kurang beruntung saat berpuasa,” ujar Alvi.

Bagi takjil ini menjadi hal baru bagi mereka dan gereja. Baru pertama kali pemuda gereja St. Odilia membuat kegiatan itu.

Editius, pembimbing seksi kepemudaan Paroki St. Odilia, mengatakan gereja sejak awal mengetahui kegiatan tersebut. Sebagai pembimbing, Editius mendukung kegiatan para pemuda-pemudi itu.

“Berdasarkan tema dari keuskupan agung, kegiatan gereja itu harus mengarah pada kemanusiaan. Karena itu, kalau kegiatan itu baik dan sesuai, gereja akan mendukung,” ujarnya.

Dukungan moral itu sudah cukup bagi Alvi dan kawan-kawannya bekerja. Mereka bahkan membuat penggalangan dana, sebab gereja tidak memberikan dana untuk bagi-bagi takjil itu.

“Biasanya gereja memberikan dana untuk kegiatan internal,” ujar Alvi.

Caranya mereka berjualan jajanan dan ikut dalam bazar yang digelar usai ibadah gereja. Keuntungan dari jualan itu dikumpulkan untuk kegiatan bagi-bagi takjil Bermodal Rp500 ribu, anak-anak muda ini membuat menu takjil sederhana yang bisa mereka masak dengan cepat.

Meski hanya memberikan kolak dan es buah, Tika memaknai usaha mereka sebagai niat untuk berempati terhadap sesama manusia. Ia menyadari bahwa hidup di Indonesia itu berarti menerima konsekuensi hidup berdampingan dengan orang yang beda suku, budaya, dan agama.

“Saya khawatir dengan kondisi Indonesia, apalagi setelah kasus Ahok di Jakarta,” tuturnya.

Meski demikian Tika, Alvi, Yuli dan koleganya dalam komunitas pemuda gereja tetap optimis, bahwa toleransi di Indonesia masih bisa terus dijaga. Mereka memilih dengan cara yang sederhana.

“Contohnya dengan membagi takjil ini," tutur Alvi. "Niatnya kita berbagi untuk sesama manusia."

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam