Menuju konten utama

Muslim Ahmadiyah Menebar Kebaikan Sekalipun Dipersulit

Di tengah mayoritas muslim lain di Indonesia relatif menjalankan ibadah dengan tenang selama Ramadan, komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok tak bisa memakai masjid mereka karena disegel sejak 2011.

Muslim Ahmadiyah Menebar Kebaikan Sekalipun Dipersulit
Warga Ahmadiyah melaksanakan salat di masjid JAI Depok yang telah disegel. FOTO/Ahmadiyah.id

tirto.id - Ketika mayoritas umat Islam lain di Indonesia menjalankan ibadah Ramadan dengan relatif tenang, muslim Ahmadiyah di Kota Depok, Jawa Barat, mengalami hambatan oleh pemerintahan daerahnya. Asalnya, masjid mereka masih disegel sejak 2011, dampak dari kebijakan diskriminasi anti-Ahmadiyah termasuk SKB 3 Menteri tahun 2008.

Sabtu malam, 3 Juni lalu, perkara penyegelan Masjid Al Hidayah kembali dipersoalkan oleh polisi setempat dan satuan pamong praja Kota Depok. Versi polisi, anggota Ahmadiyah dituduh melakukan “perusakan dan pencopotan segel” sehingga mereka mendatangi lokasi masjid, yang terletak di kawasan Sawangan.

Sekitar pukul 10 malam, polisi menyegel kedua pintu dan jendela-jendela masjid. Polisi juga mencopot spanduk yang berisi foto-foto kunjungan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) wilayah Depok ke Walikota Depok Mohammad Idris.

Menjelang tengah malam, polisi melakukan penggeledahan dan menyita alat perekam CCTV di ruangan sekretariat. Seorang jemaah Ahmadiyah bahkan dibawa ke Polres karena dianggap menghalangi-halangi tindakan polisi. Pada tengah malam Minggu, 4 Juni, didampingi pengacara JAI, seorang jemaat itu dipulangkan.

"Salah kita apa? IMB masjid, kok disegel? Di sini masih terjadi diskriminasi," ujar Kandali Achmad Lubis, sekretaris bidang hubungan luar JAI, sesudah penyegelan masjid di Depok tersebut.

Sesudah tindakan polisi tersebut, yang didukung oleh pemerintah Kota Depok, suasana ibadah muslim Ahmadiyah di Masjid Al Hidayah dalam ketegangan. Zailani, warga Ahmadi—sebutan bagi muslim Ahmadiyah—menuturkan ada ketakutan bagi anggota Ahmadiyah yang beribadah di masjid tersebut, karena sewaktu-waktu mereka bisa diserang.

"Ada kekhawatiran dari ibu dan anak-anak jemaah dalam menjalankan ibadahnya," katanya.

Berbeda dari mayoritas muslim Sunni di Indonesia, muslim Ahmadiyah berkembang lewat keanggotaan yang rapi, mengikuti lokasi ibadahnya. Di JAI Depok, misalnya, keluarga Ahmadi berjumlah ratusan orang, yang tersebar di beberapa daerah. Setiap masjid Ahmadiyah memiliki mubalig, yang menjalankan kegiatan ibadah dan keagamaan. Ia juga memiliki pengurus tersendiri, laki-laki maupun perempuan, yang menjalankan organisasinya. Pusat JAI berada di Parung, Bogor.

Nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia mencuat dalam pemberitaan sejak serangan oleh massa militan Sunni, termasuk Front Pembela Islam, terhadap komunitas mereka di Parung, Bogor, pada 19 Juli 2005 di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun itu juga terjadi pembakaran rumah-rumah keluarga Ahmadi diikuti pengusiran di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hingga sekarang keluarga Ahmadi dari Lombok tinggal di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Mereka tak bisa pulang ke kampung halamannya, sebagian memilih migrasi ke luar Lombok, termasuk ke Jakarta.

Jemaat muslim Ahmadiyah merujuk komunitas keagamaan yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad pada 1889 di Qadian, British India. Pengaruhnya di Hinda Belanda dibawa oleh mubalig Rahmat Ali pada 1925. Pada Maret 1953, pemerintahan Sukarno mengakui Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan berbadan hukum, bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Ia membedakannya dengan Ahmadiyah Lahore, bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang banyak berkembang di Yogyakarta.

Dalam khasanah Ahmadiyah, ada dua macam kategori nabi: kategori tasyri yang menyebut Nabi Muhammad adalah nabi tasyri terakhir; dan ghairi tasyri, golongan nabi yang tak membawa syariah. Kategori terakhir itu terbagi dua lagi: mustaqil, nabi yang berdiri sendiri; dan ghairi mustaqil, menjadi nabi karena mengikut nabi lain. Kategori ghairi mustaqil, dalam istilah Nahdlatul Ulama, ialah nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Ia hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah, kategori ini termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza Ghulam Ahmad.

Namun perkara “nabi” yang merujuk Mirza Ghulam Ahmad di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, dijadikan isu serangan kebencian anti-Ahmadiyah. Ia kian menonjol sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa pada 2004.

Propaganda anti-Ahmadiyah lain adalah buku berjudul Tadzkirah, yang dianggap "kitab suci" Ahmadiyaah. Ini keliru. Buku itu disari dari kutipan-kutipan buku atau naskah dan ceramah-ceramah Ghulam Ahmad, 27 tahun setelah ia wafat. Alkitab Ahamdiyah adalah Alquran, sebagaimana muslim lain, Sunni maupun Syiah.

Tetapi, berkat siar kebencian dan mobilisasi, intensitas kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah kian menjalar sekaligus membesar.

Sepuluh hari sebelum serangan terhadap pusat kegiatan JAI di Bogor, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah “… berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan…” pada 29 Juli 2005. Fatwa MUI ini menilai pengikut Ahmadiyah dicap "murtad.” Fatwa ini perpanjangan fatwa MUI 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, pada Desember 1985. Tiga tahun kemudian, pada 9 Juni 2008, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji meneken Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah yang dinilai “menyimpang.”

Imbasnya, pada 6 Februari 2011, tiga Ahmadi tewas dalam serangan mematikan di Cikeusik, Banten.

Peristiwa kekerasan mematikan di Cikeusik itu disambut dengan pelbagi peraturan turunan setingkat gubernur dan walikota maupun bupati, yang melarang kegiatan JAI, termasuk di Kota Depok.

JAI Depok sendiri berdiri pada 1991. Lima tahun kemudian, mereka meletakkan batu pertama pembangunan Masjid Al Hidayat. Penyegelan pada awal Juni lalu menjadi ketujuh kali selama enam tahun terakhir. Depok termasuk basis kuat dari Partai Keadilan Sejahtera, termasuk walikotanya, Mohammad Idris, adalah kader PKS.

Beribadah di Pelataran Masjid

Berbeda dari mayoritas muslim lain di Indonesia, selama Ramadan, muslim Ahmadiyah di Depok akhirnya menjalankan ibadah salat di pelataran masjid. Jumlahnya pun kecil. Pada satu malam pekan lalu, hanya ada dua baris saf untuk pria dan perempuan, dibatasi oleh karpet hijau dan dua kipas angin. Salat berjamaah menghadap pintu masjid yang dipasangi kayu, karpet, dan plang bertuliskan "kegiatan ini disegel"

"Aktivitas tarawih tetap dilaksanakan walaupun di luar masjid," kata Waryoto, seorang muslim Ahmadiyah.

Usai tarawih, para jemaah langsung pulang ke rumah masing-masing, menghindari ancaman yang sewaktu-waktu datang. Bagi jemaah lain, yang ingin lebih menikmati ibadah ramadan, lebih memilih ke masjid Ahmadiyah lain di luar Kota Depok, yang sepi dari ancaman kekerasan.

Meski begitu, muslim Ahmadiyah di Sawangan tetap rutin membagikan takjil setiap hari di depan masjid. Kegiatan ini sudah berlangsung selama tiga tahun terakhir.

Infografik HL perjalanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Rutin Menggelar Kegiatan Sosial

Jauh sebelum situasi politik berbalik menyudutkan minoritas-minoritas agama di Indonesia, jemaah Ahmadiyah di Sawangan menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Ini dilakukan sebagai upaya mereka yang kerap dituduh "eksklusif" dan "tidak membaur dengan masyarakat."

Sebelum kekerasan berbalut kebencian berbasis keyakinan menjalar, sejak JAI berdiri di Sawangan, para jemaahnya rutin mengadakan sejumlah kegiatan sosial seperti pengobatan gratis, menyantuni anak yatim, bahkan menggelar turnamen sepakbola dan bulutangkis dengan warga sekitar. Setiap Iduladha juga mereka membagikan hewan kurban kepada masyarakat sekitar.

Upaya-upaya ini terus dilakukan meski diskriminasi menimpa mereka.

Saya mendatangi masjid Ahmadiyah lain di Kebayoran Lama untuk melihat situasi ibadah para ahmadi yang lebih kondusif selama Ramadan. Nama masjid tersebut sama: Al Hidayah.

Diah Razak, seorang anggota jemaah Ahmadiyah di Kebayoran Lama, menuturkan pihaknya rutin melakukan beragam kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat setempat, lansia, hingga balita. Salah satunya penjualan sembako murah setiap jelang Ramadan dan bagi-bagi paket lebaran.

"Ada beras, minyak goreng, susu kaleng, mentega, mi, dan baju layak," ujar Diah yang menetap di Bintaro.

Selain sembako, ujar Diah, pihak pengurus JAI Kebayoran Lama pun memberikan paket lebaran kepada warga lansia dan janda di sekitar lingkungan masjid setiap tahun.

Di masjid Kebayoran Lama pun saya berjumpa dengan Muhammad Idrus, pria asal Lombok Timur yang mengungsi ke Jakarta sesudah kampungya diserang, 15 tahun lalu. Ia mengungsi bersama istri dan tiga anaknya.

Idrus mengatakan, tidak ada beda antara Ahmadiyah dan muslim lain. Mereka melaksanakan salat wajib lima kali dalam sehari, rutin menggelar pengajian di dalam masjid, dan waktu puasa maupun lebaran mengikuti anjuran pemerintah.

Perbedaan lebih lunak adalah soal pengeras masjid. Masjid-masjid Ahmadiyah memelankan suara ketika mengaji.

"Kalau ngaji, enggak pakai toa," ujar Idrus. "Dan di akhir bulan Ramadan nanti ditanya oleh pengurus tarbiyah ke kita: sudah berapa kali khatam Alquran."

Betapapun ada situasi-situasi sulit yang menghadang jemaah Ahmadiyah, termasuk masih langgengnya kebijakan anti-Ahmadiyah sekalipun presiden sudah diganti, warga Ahmadi terus berupa menyebar kebaikan.

“Kita enggak pernah melawan dengan kekerasan," tutur Diah Razak.

==========

Keterangan foto: Muslim Ahmadiyah melaksanakan salat di masjid JAI Depok yang telah disegel. FOTO/Ahmadiyah.id

Baca juga artikel terkait AHMADIYAH atau tulisan lainnya dari Fahri Salam & Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Fahri Salam & Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam