tirto.id - Suatu hari, X, seorang sarjana yang kuliah delapan tahun di luar negeri, pulang ke Indonesia. Ia mendadak kaget ketika menemui kemarahan muslim Indonesia di mana saja: “Dalam khotbah Jum'at yang didengarnya seminggu sekali. Dalam majalah Islam dan pidato para mubaligh dan da'i.”
X juga melihat keberangan itu di “arsip proses pelarangan cerpen Ki Panji Kusmin, “Langit Makin Mendung”, cerpen yang diterbitkan majalah sastra Horison, Agustus 1968, dan jadi musabab HB Jassin, sang editor, dihukum satu tahun penjara dan dua tahun percobaan.
Cerpen yang bercerita tentang Nabi Muhammad yang turun dari surga ke bumi itu menyinggung perasaan umat Islam Indonesia. Jassin dituntut dengan pasal penistaan agama. Penulisnya sendiri tak turut diseret ke tahanan karena Jassin melindunginya dengan tak mengungkap identitasnya.
Cerita X di atas dikutip dari esai Abdurrahman Wahid di Tempo, 28 Juni 1982 yang judulnya kemudian menjadi ungkapan ikonik: “Tuhan Tidak Perlu Dibela.”
Tak hanya menuliskan pendapatnya lewat esai, Gus Dur juga bersikap soal pasal penistaan agama. Ia pernah mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bersama Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan Maman Imanul Haq. Namun, permohonan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin Mahfud MD.
Gus Dur menilai UU itu tidak sesuai dengan Pancasila dan cenderung disalahfungsikan sebagai senjata politik. Selain dianggap tidak perlu karena mengganggu kebebasan berpendapat, UU ini juga sudah banyak memakan korban. Jassin hanyalah pembuka.
Di Indonesia ada banyak korban, dan banyak orang serta kelompok yang peduli dan mengajukan uji materi seperti Gus Dur, dan gagal juga. Sebut saja Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang dan sejumlah LSM macam Masyarakat Setara, dan Demos.
Dari data yang dimiliki Andreas Harsono, peneliti pada Human Rights Watch (HRW), UU itu telah menjerat delapan orang pada masa Soeharto, dan bertambah banyak di rezim SBY hingga mencapai 130-an kasus. Ia juga masih terus memakan korban di era Jokowi. Basuki Tjahja Purnama, Gubernur Nonaktif DKI Jakarta, juga salah satu yang terjepret pasal karet ini.
Itu sebabnya, pada 21 November kemarin HRW mendesak Presiden Jokowi untuk “mencabut hukum ini dan yang serupa dari Undang-Undang.” HRW menilai pasal penistaan agama di Indonesia telah melanggar hak asasi manusia dan konstitusi Indonesia. Selain itu, pasal ini telah dipakai untuk mengkriminalkan kelompok agama minoritas dan agama tradisional. Misalnya, pengusiran yang dilakukan kepada 7 ribu anggota Gafatar atau sebelumnya Ahmadiyah.
Dari Internasional, pasal penistaan di Indonesia yang banyak makan korban tak hanya jadi perhatian HRW. Persatuan Bangsa-Bangsa juga pernah beberapa kali menyurati pemerintah Indonesia untuk mencabut perundangan yang terkait penistaan agama.
Masalah pasal penistaan agama ini rupanya tak hanya terjadi di Indonesia. Di Pakistan, 2012 lalu, seorang gadis 14 tahun ditahan dua minggu dan terancam dihukum mati atas tuduhan membakar lembaran Al-Quran. Di India, seorang pria dikenai tuduhan penistaan agama karena menyangsikan keajaiban patung Kristus di Mumbai.
Di Yunani, seorang pria ditahan dan kena pasal penistaan agama setelah mengunggah screenshot sebuah laman Facebook lain yang menyindir Kristen Ortodoks Monk. Desember 2015 lalu, Sudan bahkan mengeksekusi mati 25 pria yang murtad dari agamanya.
Pada 2014 saja, Pew Research mencatat ada 26 persen negara di dunia punya pasal penistaan agama, sementara 13 persen lainnya mengatur kemurtadan. Angka tertinggi datang dari Afrika dan Timur Tengah. Di sana, 18 dari 20 negara (90 persen) punya pasal penistaan agama, dan sebanyak 14 negara (70 persen) punya UU Kemurtadan.
Di Eropa, 16 persen negara punya pasal penistaan agama. Sedangkan di benua Amerika, jumlahnya 10 dari 35 negara atau 29 persen. Tempat lain di dunia yang punya perundangan celaka ini ada di Asia-Pasifik dan Sub-Sahara Afrika. Angkanya 14 persen di Asia-Pasifik, dan 8 persen di Sub-Sahara Afrika.
Angka ini cukup bagi PBB untuk menggalang gerakan mendesak negara-negara yang memproduksi undang-undang yang makan korban itu. Awal Maret lalu, PBB lewat penyidiknya, khususnya di bidang kebebasan agama dan kepercayaan menyerukan penghapusan undang-undang penistaan agama secara universal.
Alasannya sama dengan Gus Dur dan HRW. Undang-undang itu membatasi kemerdekaan berpendapat, meningkatkan intoleransi pada agama-agama minoritas, dan parahnya dijadikan alat untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap pemerintahan.
Pakar HAM Heiner Bielefeldt, dalam wawancara dengan VOA Indonesia, mengatakan kebanyakan undang-undang penistaan agama yang ada di seluruh dunia adalah bentuk warisan zaman kolonial, yang dibuat bukan untuk melindungi Tuhan, melainkan melindungi perasaan para pemeluk agama.
“Jadi, biasanya undang-undang penistaan agama ini melindungi agama mayoritas, perasaan para pemeluk agama mayoritas, sementara agama minoritas harus mengalami dampaknya," ujar Bielefeldt.
Masalahnya, para pendukung pasal penistaan agama menganggap penghinaan terhadap seluruh elemen dalam agama sebagai kejahatan. Ada juga pendapat yang menyebut penistaan agama pantas menjadi perkara kriminal karena menista agama berarti menyakiti perasaan umat.
Andreas Harsono saat ditanya komentarnya terhadap pendapat itu berkata, “Mereka kurang mengerti. Agama tak bisa dihina. Agama takkan menjadi kerdil karena dicela.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani