tirto.id - Selasa, 10 Januari, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melansir laporan tahunan tentang kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2016. Laporan setebal 59 halaman ini dibuat oleh pelapor khusus, yang dibentuk sejak 2013, karena “semakin meningkatnya pengaduan pelanggaran hak atas kebebasan beragama … dan minimnya perhatian negara dalam penuntasan pelbagai pelanggaran hak tersebut.” Komisi menunjuk seorang pelapor, yakni M. Imdadun Rahmat, ketua Komnas HAM sendiri.
Untuk kerja-kerja pelaporan ini, ia dibantu oleh tim khusus bernama Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Tugasnya, merangkum dan menganalisis data pengaduan yang diterima Komisi, bagaimana respons Komisi menyelidiki kasus-kasus pelanggaran itu, serta langkah Komisi untuk mendesak “peran negara memperkuat jaminan hak atas kebebasan beragama di Indonesia.”
Dalam konstitusi Indonesia, hak beragama adalah salah satu hak yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apa pun. Sementara apa yang digolongkan “pelanggaran hak atas kebebasan beragama” adalah perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar agama dan keyakinan yang dapat mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial warga negara Indonesia. Pelakunya bisa aparat negara, bisa pula antar warga negara, individu maupun kelompok. Ia juga bisa berupa aturan hukum, dari pusat sampai daerah, yang sengaja dibikin untuk mendiskriminasi komunitas atau individu atas dasar agama dan keyakinan.
Hingga 2010, misalnya, Indonesia memiliki sedikitnya 156 ketentuan peraturan, keputusan menteri, dan aturan turunannya yang membatasi kebebasan beragama. Terutama sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, kasus-kasus pelanggaran hak beragama mulai marak terjadi, dan trennya terus naik tiap tahun.
Menurut Setara Institute, lembaga pemantau hak asasi manusia di Jakarta, terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama pada 2010, 244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012. Wahid Institute, pemantau lain di Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran terhadap kebebasan agama dan 184 peristiwa intoleransi beragama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada 2010.
Pelanggaran-pelanggaran ini menyasar kaum minoritas keyakinan seperti Ahmadiyah, Syiah, Kristen, dan minoritas agama lain. Bentuk-bentuknya termasuk pembatasan atau pelarangan atau perusakan tempat ibadah, pembatasan atau pelarangan ibadah dan kegiatan keagamaan, ancaman atau intimidasi kelompok keagamaan, pembatasan keyakinan, kriminalisasi lewat pasal penodaan agama, diskriminasi, dan pembiaran oleh aparat negara.
Ia difasilitasi oleh aturan hukum yang jadi landasan pelanggaran dan serangan terhadap hak kebebasan beragama. Aturan ini mencakup penetapan presiden tahun 1965 tentang penodaan agama, peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri tahun 2006 tentang forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah, dan keputusan bersama menteri agama, jaksa agung, dan menteri dalam negeri tahun 2008 tentang pembatasan kegiatan Ahmadiyah.
Seringkali bahkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, yang tidak punya kekuatan hukum, dipakai oleh kelompok sipil maupun pemerintah daerah untuk mendesak dan mengeluarkan peraturan yang membatasi hak kebebasan beragama.
Laporan Komnas HAM mencatat bahwa selama 2016, pengaduan atas pelanggaran kebebasan agama di Indonesia berjumlah 97, meningkat dari 87 kasus pada 2015.
“Seperti biasa, seperti tahun-tahun sebelumnya, aduan terbanyak datang dari provinsi Jawa Barat,” kata Jayadi Damanik, koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Jawa Barat mengoleksi 21 pengaduan selama 2016—salah satu kasus paling anyar ialah pembubaran Kebaktian Kebangunan Rohani umat Kristen di Gedung Sabuga, Bandung. Kasus di Jawa Barat jadi pantauan kelompok HAM lain, termasuk oleh Setara Institute yang mencatat 44 kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan pada 2015, dan Wahid Institute mendokumentasikan 46 peristiwa pelanggaran di provinsi tersebut di tahun yang sama.
Di posisi kedua ada DKI Jakarta yang mengoleksi 19 aduan. Di posisi ketiga adalah Sulawesi Utara, daftar baru yang sebelumnya cuma satu aduan tapi di tahun ini hingga 11 aduan.
Menurut Damanik, apa yang terjadi di provinsi ibukota Manado itu adalah dampak dari "solidaritas negatif"—istilah yang dipakai untuk menggambarkan budaya saling menyakiti antara mayoritas dan minoritas di suatu tempat.
“Negative solidarity ini adalah bentuk sikap intoleransi yang harusnya kita jauhi,” katanya.
Daerah selanjutnya, berturut-turut, adalah Jawa Tengah dengan 7 aduan, Aceh 6 aduan, Kepulauan Bangka Belitung 5 aduan, Nusa Tenggara Barat 5 aduan, Yogyakarta 3 aduan, dan masing-masing dua aduan di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur. Satu aduan pelanggaran hak kebebasan beragama terjadi di Banten, Papua, Papua Barat, dan Arab Saudi.
Masalah Lama Minim Solusi
Kasus-kasus yang didokumentasikan oleh Komnas HAM mencakup pula kasus lama tapi dibiarkan tanpa penyelesaian oleh negara dan pemerintah daerah setempat.
Di antara kasus itu ialah penghentian aktivitas 24 gereja di Aceh Singkil sejak Mei 2012, pelarangan pendirian rumah ibadah Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi sejak 2007 padahal sudah mengantungi putusan pengadilan pada 2010, dan penyegelan plus pembekuan izin bangunan GKI Taman Yasmin Bogor sejak 2008 meski proses hukum sampai tingkat Mahkamah Agung telah dimenangkan pihak gereja sejak 2010.
Kasus lama yang lain adalah nasib sekitar 500 pengungsi Syiah dari Sampang, Madura, yang tinggal Rusun Jemundo Sidoarjo, Jawa Timur, sejak pengusiran dan pembakaran rumah-rumah dan madrasah mereka pada akhir tahun 2011. Hal sama terjadi pada sekitar 300 muslim Ahmadiyah di Lombok yang mengungsi sejak gelombang pengusiran pada 2001 dan sekira 36 kepala keluarga tinggal di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram.
Di daerah mayoritas Kristen, umat Islam juga mengalami diskriminasi. Salah satu kasus yang terekam dan turut dimediasi Komnas HAM adalah permasalahan pendirian Masjid Asy Syuhada di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Sebaliknya, kasus penyegelan 7 gereja di Cianjur (Jawa Barat) sudah berlangsung sejak Februari 2014. Kasus yang menimpa minoritas Ahmadiyah, dari penyegelan masjid hingga diskriminasi kependudukan, terjadi di Kabupaten Bangka, daerah Bukit Duri (Jakarta Selatan), Kendal (Jawa Tengah), Kuningan, Tasikmalaya, Cianjur, dan Bandung (Jawa Barat). Adapun kasus yang menimpa penghayat kepercayaan terjadi di Rembang (Jawa Tengah) dan Tangerang (Banten).
Kasus terbaru pada awal tahun 2016 menyasar pada komunitas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), organisasi sekaligus sebuah sekte Islam yang dideklarasikan pada Januari 2012 dan berkantor pusat di Jakarta. Guru spiritual Gafatar, Ahmad Mushaddeq, adalah seorang Muslim sufi dan mendirikan kelompok Al Qiyadah Al Islamiyah dengan tafsir sendiri soal Islam. Ia dipenjara selama empat tahun dengan tuduhan penodaan Islam pada 2008. Menurut Human Rights Watch, pemerintah Indonesia, pejabat sipil maupun aparat keamanan, ikut terlibat dalam penggusuran lebih dari 7.000 anggota Gafatar dari rumah dan lahan pertanian mereka di Pulau Kalimantan sejak Januari 2016.
Komnas HAM sendiri, dalam rentang Juli-September 2016, telah menerima sejumlah pengaduan soal surat keputusan bersama menteri agama, menteri dalam negeri, dan jaksa agung pada Maret 2016 tentang Gafatar, yang isinya "... menghentikan penyebaran, penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam"—persis sebagaimana menimpa komunitas Ahmadiyah. Alih-alih meredam histeria massa, aturan itu justru kian menyudutkan anggota Gafatar, termasuk pengusiran dan penahanan anggota Gafatar di sejumlah daerah di Jawa, plus ancaman pidana maksimal lima tahun penjara berdasarkan pasal pidana penodaan agama tahun 1965.
Human Rights Watch menyimpulkan bahwa apa yang terjadi pada komunitas Gafatar adalah "target terbaru dari makin buruknya intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan yang menyerang minoritas agama di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir."
"Di seluruh Indonesia, minoritas beragama termasuk muslim Syiah, beberapa gereja Kristen, dan Ahmadiyah, adalah target dari pelecehan, intimidasi, ancaman, dan kekerasan. Setara Institute, yang memantau kebebasan beragama di Indonesia, mendokumentasikan berbagai kasus kekerasan yang menyerang minoritas beragama dalam satu dasawarsa, termasuk 214 kasus di tahun 2014 dan 197 kasus pada 2015," tulis lembaga pemantau HAM berbasis di New York itu.
Para Pelaku Intoleransi
Laporan Komnas HAM juga mencatat para pelaku pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Daftar teratas adalah pemerintah daerah.
“Ini juga sama seperti tahun sebelumnya. Pemda memang masih jadi pelaku terbanyak,” tambah Jayadi Damanik.
Pada 2016 total ada 52 pengaduan terhadap pemerintah daerah, dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota. Jumlah ini meningkat dari 36 pengaduan pada 2015.
Menurut Damanik, ketidakpahaman orang-orang di pemerintah daerah dan ketidakmampuan pemimpin lokal memberikan arahan yang benar sesuai perundangan adalah alasan utama tren pelaku pelanggaran tersebut.
Aktor berikutnya yang banyak diadukan adalah mereka yang mengatasnamakan diri sebagai organisasi, termasuk Majelis Ulama Indonesia. Totalnya hingga 13 pengaduan. Berikutnya kelompok masyarakat yang tidak memiliki atribut atau organisasi definitif.
Urutan keempat aktor intoleransi adalah polisi, demikian laporan Komnas HAM. Sisanya ialah pemerintah pusat atau kementerian, pemerintah negara lain, dan lembaga pendidikan.
Sementara dari segi korban dan pengadu, umat muslim dan tempat ibadahnya adalah yang paling banyak. Totalnya ada 24 kasus. Pelapor terbanyak kedua adalah muslim Ahmadiyah dengan 22 aduan dan umat Kristen dengan 17 aduan.
Dari laporan ini, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat menyimpulkan ada enam hambatan yang terus-menerus menggerogoti kebebasan beragama di Indonesia. Ia mencakup permasalahan tempat ibadah yang terus meningkat, masih banyak birokrat dan politikus di pemerintahan daerah yang tidak paham perlindungan dan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi (termasuk aparatur negara yang lebih tunduk pada fatwa MUI), penerapan hukum yang tajam pada minoritas dan tumpul pada mayoritas, solidaritas negatif, serta saling lempar tanggung jawab antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
"Masalah-masalah inilah," kata Imdadun, "yang masih akan menghadang situasi toleransi di Indonesia ke depan."
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam