tirto.id - Jakarta terasa lebih panas setelah ucapan Ahok mengenai Surat Al-Maidah ayat 51. Pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu itu menjadi bola panas yang bukan hanya mengguncang diskursus publik di media sosial, tapi sudah menjadi bola yang ditendang ke sana ke mari dalam kehidupan riil.
Demonstrasi besar-besaran pada 14 Oktober 2016 lalu menjadi contoh betapa dampak ucapan Ahok sudah menjelma sebagai sesuatu yang serius. Bahwa akan ada aksi demonstrasi yang jauh lebih besar pada 4 November 2016 nanti, hal itu memperlihatkan bahwa bola ucapan Ahok masih menggelinding dengan skala dan dampak yang masih sulit diprediksi.
Wacana mengenai toleransi dan intoleransi, tidak bisa tidak, menjadi isu pokok dalam soal dampak ucapan Ahok tentang surat Al-Maidah ayat 51 tersebut. Sentimen rasial tak terhindarkan menjadi lebih mengencang. Jakarta akhirnya terlihat sedang diuji dalam soal kematangan menghadapi polemik mengenai politik identitas.
Masalahnya, isu Ahok kali ini sungguh-sungguh melintasi batas demografi provinsial. Betul bahwa Pilkada yang diikuti oleh Ahok terjadi di Jakarta, tapi sentimen politik identitas yang dipicu oleh mulut Ahok itu sudah melampaui batas-batas wilayah.
Demonstrasi menuntut agar Ahok diadili diikuti oleh masyarakat yang berasal dari berbagai wilayah, tidak hanya Jakarta. Bahkan rencana demonstrasi pada 4 November nanti hampir pasti akan diikuti, juga diamati, oleh masyarakat yang peduli dengan isu ini dari wilayah-wilayah seantero Indonesia.
Jadi, pada dasarnya, ini bukan hanya urusan Jakarta. Lagi pula dalam perkara toleransi dan intoleransi ini, persoalan memang ada di mana-mana. Bukan hanya Jakarta. Ada Pilkada atau tidak, di Jakarta atau bukan, isu ini akan dan sudah terbukti eksis. Skalanya saja yang berbeda-beda, dan itu bergantung faktor pemicunya untuk menjadi besar, sedang-sedang saja, atau hanya sayup-sayup.
Jika merujuk penelitian Setara Institute yang mendaftar sepuluh kota paling toleran dan sepuluh kota paling intoleran di Indonesia, kita bisa menyaksikan bahwa persoalan toleransi dan intoleransi memang ada di mana-mana. Penelitian Setara Institute ini menggunakan sejumlah variabel, antara lain regulasi pemerintah daerah terkait dengan kerukunan antar umat beragama, bagaimana implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan apakah ada peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Selain itu, pernyataan dan respons pemerintah atas peristiwa yang berhubungan dengan kelompok minoritas juga dijadikan tolok ukur.
Kota-kota dalam kategori yang sama dengan Bandung antara lain Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Tangerang, Depok, Serang, Mataram, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Tujuh dari sepuluh kota tersebut adalah bagian dari provinsi Jawa Barat. Hal ini menabalkan temuan Elsam pada 2013, yaitu Jawa Barat sebagai provinsi paling intoleran di Indonesia dan Bogor sebagai pemilik terbanyak catatan buruk dalam hal kebebasan sipil dan berkeyakinan.
Elsam menyatakan pemberlakuan Peraturan Daerah Syariah—yang baik sebagai gagasan maupun praktik nyaris sepenuhnya berseberangan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia—dan arogansi mayoritas sebagai penyumbang derita paling royal untuk kaum minoritas.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Jemaat Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) adalah kelompok-kelompok yang paling sering menjadi korban intoleransi dan kekerasan berbasiskan agama dan keyakinan.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan Program Studi Lintas Agama dan Budaya (CRCS) UGM terkait intoleransi terkuak selama delapan tahun terakhir Jawa Barat adalah provinsi yang paling buruk dalam pelaksanaan toleransi antar umat beragama.
Kasus intoleran tersebut berupa kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, penutupan gereja, kampanye anti perbedaan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta pelanggaran hak-hak sipil.
Sebenarnya apa yang membuat intoleransi merajalela? Marzuki Wahid, peneliti dari Fahmina Institute, mengatakan pemerintah provinsi dan daerah acap kali membuka ruang bagi kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan tindak-tindak kekerasan.
Meski sebenarnya jumlah mereka tak cukup banyak untuk dianggap signifikan, tetapi dukungan dari pemerintah setempat, militansi anggota, serta perencanaan gerakan yang sistematis dengan tujuan yang jelas menjadikan pergerakan mereka sukar dibendung.
Setara Institute juga mencatat empat puluh empat kasus pelanggaran hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Jawa Barat. Menurut hasil riset Wahid Institute, sepanjang 2015 terjadi empat puluh enam peristiwa pelanggaran KBB di provinsi Jawa Barat. Komnas HAM, dalam laporan mereka tentang kebebasan beragama, menerima 20 pengaduan dari Jawa Barat—yang tertinggi pada 2015.
Perkembangan di lingkup nasional pun jauh dari menggembirakan. Dalam dua tahun terakhir, intoleransi tumbuh dan membengkak di banyak kota di Indonesia. Selama dua bulan pertama 2015, misalnya, terjadi pelarangan diskusi mengenai 1965 dan pemutaran film Senyap karya Joshua Oppenheimer di Yogyakarta. Lalu pada Februari 2015, ada intimidasi dan penggeledahan terhadap peserta pertemuan korban atau penyintas 1965 yang diselenggarakan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Di Salatiga, Jawa Tengah, pada 7-8 Agustus 2015 terjadi intimidasi terhadap pertemuan korban 1965. Kemudian ada pencekalan Tom Illyas, penyintas 1965 yang selama ini menjadi eksil di Eropa pada 11 Oktober 2015 oleh pihak imigrasi Sumatera Barat. Pelarangan diskusi 1965 di Ubud Writers Readers Festival di Bali, akhir Oktober 2015. Pelarangan pembacaan naskah drama 50 tahun memori 1965 di Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Kapolda Jakarta, pada Desember 2015.
Peristiwa demi peristiwa intoleran yang terjadi di Indonesia membuat negara ini menjadi salah satu negara dengan indeks toleransi paling rendah di dunia. Berdasarkan Legatum Prospereti Index yang disusun Legatum Institute, Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja perihal intoleransi dan jauh di bawah Israel, Zimbabwe, Irak, dan Lebanon.
Variabel yang digunakan untuk menilai Legatum Prospereti Index adalah: toleransi terhadap imigran, toleransi terhadap minoritas, kebebasan sipil, kebebasan berpendapat, dan kepuasan terhadap kebebasan sipil.
Mengapa indeks toleransi Indonesia sangat rendah? Jawabannya adalah keberpihakan negara dalam kasus-kasus pelanggaran hak sipil, perlindungan terhadap kelompok minoritas, dan sanksi terhadap tindakan intoleran. Sikap negara ketika kasus pelanggaran hak asasi manusia masih jauh dari adil.
Malah pada beberapa kasus, negara dalam hal ini pemerintah daerah, menjadi pelaku tindak intoleran. Seperti bupati Sungailiat yang berencana mengusir kelompok Ahmadiyah, Walikota Bogor yang melarang peribadatan GKI Yasmin, dan contoh terbaru pembubaran-pembubaran diskusi yang berbau kiri oleh pihak kepolisian.
Sejauh ini kepolisian ibarat bandul yang bergerak di antara dua kutub: tak ambil pusing atau justru melindungi dan mengayomi kelompok-kelompok intoleran. Itulah yang menjadikan peristiwa kekerasan, vandalisme, dan pengrusuhan berkembang biak dengan cepat dan terus mengepung kita. Semakin lama semakin mendesak, dan apabila dibiarkan, bukan tak mungkin dalam beberapa tahun ke depan menjadi picu konflik horisontal.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS