Menuju konten utama

Pasang Surut Aksi Ormas Islam Setelah Reformasi

Turunnya rezim Orde Baru menjadi anugerah bagi organisasi-organisasi Islam. Di era Soeharto, mereka begitu dikekang dan dibungkam.

Pasang Surut Aksi Ormas Islam Setelah Reformasi
Puluhan ribu massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah massa dari berbagai ormas lainnya menggelar aksi menolak Ahok di ruas di sekitar Balaikota Jakarta, Jum'at, (14/10). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Menjelang senjakala kekuasaannya, tepatnya pada tahun 1993, Presiden Soeharto terlihat mengambil kebijakan politik yang lebih lunak terhadap kalangan Islam. Meski Soeharto saat itu membentuk ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Bank Muamalat dan kabinet ijo royo-royo, tapi rasa terkekang tetap saja ada. Sebab sebetulnya, Soeharto berubah bukan untuk Islam, tapi lebih untuk kepentingan politiknya.

Turunnya Soeharto pada 1998, membuat ormas-ormas Islam lebih leluasa menyuarakan tuntutan. Terkadang, aksi-aksi mereka juga dibumbui dengan anarkisme.

Awal Periode Aksi yang Begitu Politis

Pam Swakarsa atau Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa adalah laskar sipil yang dipersenjatai dan difasilitasi oleh militer untuk menghadang aksi massa yang menentang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR pada November 1998. Massa menganggap, pemerintahan Habibie tidak kredibel, wacana gelaran Pemilu 2002 harus dipercepat.

Berdasarkan pengakuan mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zein kepada Tempo, Pam Swakarsa dibentuk atas permintaan Wiranto, Panglima ABRI periode 16 Februari 1998 – 26 Oktober 1999. Kedekatan Wiranto dengan golongan kanan, membuat banyak anggota Pam Swakarsa berasal dari ormas-ormas Islam.

Pembentukan Pam Swakarsa memang sejalan dengan pamer kekuatan massa kelompok kanan saat Apel Akbar Umat Islam, lalu disusul Kongres Umat Islam Indonesia, kemudian Silaturahmi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang digelar pada pertengahan 1998.

Hasil pertemuan-pertemuan itu, pada intinya mendukung penuh penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR 1998, serta menentang pihak-pihak yang ingin menggagalkan Sidang Istimewa MPR tersebut.

Ketua Pelaksana Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) Ahmad Sumargono menjadi penggerak orang-orang kanan di Pam Swakarsa untuk bergabung dengan ormas-ormas lain macam Front Betawi Rempug, atau Pemuda Pancasila.

Namun kiprah Pam Swakarsa terlalu bermotif politis dan cenderung menjadi alat penguasa untuk membungkam gerakan mahasiswa. Dikutip dari Majalah Tempo edisi 17 November 1998, Ahmad Sumargono secara terang-terangan menyebut alasan pembentukan Pam Swakarsa karena kepercayaannya kepada Habibie untuk mengakomodir kepentingan ormas-ormas Islam.

“Kami melihat Habibie cukup berhasil dalam waktu yang singkat walau digoyang terus. Tidak ada orang kelaparan kan? Itu hanya isu,” kata Gogon, panggilan akrabnya.

Dia bahkan membuat penegasan, “Kalau status quo ini menguntungkan Islam, mengapa tidak?”

Mobilisasi Pam Swakarsa mengamankan Sidang Istimewa MPR ternyata tak berjalan mulus. Tingkah petantang-petenteng mereka yang dibeking aparat, membuat masyarakat tak suka padanya. Puncaknya, saat pengepungan ratusan anggota Pam Swakarsa di Tugu Proklamasi oleh massa mahasiswa dan rakyat. Beruntung, aparat keamanan dan KontraS, serta Munir datang mengamankan.

Pam Swakarsa menjadi gambaran bahwa pernah ada suatu masa, di mana ormas Islam dikontrol dan diperalat untuk membela kepentingan pemerintah.

Infografik Demo Ormas Islam 4 November

Menggembosi Gus Dur

Pada 7 Januari 2000, di bawah kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid, digelar aksi demonstrasi bertajuk “Aksi Sejuta Umat” di Monas. Massa yang terlibat mencapai 200 ribu orang. Aksi solidaritas ini dipicu kerusuhan berbau SARA (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) di Maluku antara umat Islam dan Kristen. Aksi dihadiri tokoh-tokoh Islam, seperti Amien Rais, Ahmad Sumargono, dan Hamzah Haz.

"Saya mengimbau Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang sudah didukung Poros Tengah menjadi presiden untuk segera mengakhiri pertumpahan darah di Ambon, Tobelo, Ternate dan Tidore. Umat Islam sudah bersikap sabar. Namun kesabaran ada batasnya," demikian sepenggal pidato Ketua MPR Amien Rais yang juga tokoh Poros Tengah, di Monas saat aksi tersebut.

Aksi di Monas melibatkan 22 ormas Islam seperti FPI, Laskar Jihad, Gerakan Pemuda Islam (GPI), KISDI dan organisasi kepemudaan parpol seperti Gerakan Pemuda Kab’ah (PPP) dan Pemuda Bulan Bintang (PBB).

Pidato Amien disikapi istana sebagai aksi provokatif dan memperkeruh, karena mengimbau umat Islam untuk berjihad menjalankan perang suci di Maluku. Menurut Presiden Gus Dur, isu ini dijadikan penggembosan kepercayaan publik terhadap dirinya. Pernyataan Gus Dur soal isu politik inilah yang kemudian membikin beberapa ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Tarbiyah urung ikut serta.

Penggembosan pemerintahan Gus Dur oleh ormas kanan semakin intens pada tahun 2001. Munculnya kasus Bulogate dan Bruneigate, serta kericuhan darurat militer di Maluku, menjadi pemantik gerakan aksi menuntut Gus Dur mundur.

Derasnya aksi membuat massa dari Tarbiyah, Partai Keadilan (kini PKS) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) beralih haluan dan ikut bergabung dengan ormas lain menggembosi Gus Dur. Manuver ini yang membuat Gus Dur menendang PK dari Kabinet Persatuan Nasional dengan mencopot Nur Mahmudi Ismail dari kursi Menteri Kehutanan.

Satu Suara dalam Isu Pornografi

Pada aksi demo yang berbau politis, banyak ormas Islam yang selalu berusaha menahan diri untuk tidak terlibat. Namun, narasi itu berbeda saat mereka dihadapkan pada kasus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP).

Dalam kurun waktu dua tahun, 2006-2008, setidaknya muncul lima aksi demonstrasi besar yang dilakukan di Jakarta. Aksi terbesar terjadi pada 21 Mei 2006, ketika puluhan organisasi Islam yang dikomando MUI berdemo di Gedung DPR.

Semua ormas Islam sepakat satu suara menuntut agar DPR segera mengesahkan RUU APP. Organisasi Islam terbesar di Indonesia seperti Muhammadiyah dan NU bahkan mendukung penuh aksi tersebut. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah KH Din Syamsuddin menjadi orator di mobil komando.

Sikap NU dalam kasus ini jelas, menolak pornografi. “Kaum muslimin Indonesia, utamanya warga NU, jangan mengingkari ajaran agamanya sendiri hanya untuk menuruti penetrasi budaya global yang negatif. Demokrasi juga bukanlah sesuatu yang bebas nilai,” kata Kiai Hasyim Muzadi seperti dikutip Antara.

Masalah muncul saat isu RUU APP menyeret perseteruan antara ormas Islam dengan organisasi agama lainnya. Di saat beberapa ormas memanasi, NU datang menengahi. “Dalam pandangan PBNU, tidak ada satu agama pun yang mentolerir pornografi. Oleh karenanya tidaklah tepat menggunakan salah satu agama untuk mendukung RUU APP,” kata Kiai Hasyim.

Boleh jadi, aksi demo RUU APP merupakan aksi demo terakhir saat seluruh ormas-ormas Islam sepakat satu suara. Mereka tak malu-malu bersikap dan turun ke jalan secara bersama-sama.

Kembali Pecah dalam Konteks Ahmadiyah

Aksi besar ormas Islam lainnya terjadi pada kasus pembubaran Ahmadiyah. Aksi-aksi ini intens dilakukan di berbagai daerah untuk mendesak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pembubaran Ahmadiyah.

Aksi terbesar dilakukan pada 9 Juni 2008 dan mayoritas adalah massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Umat Islam (FUI). Aksi sukses menekan pemerintah. Ancaman massa untuk menginap di Istana, disikapi dengan keputusan pemerintah yang akhirnya mengeluarkan SKB terkait Ahmadiyah.

SKB akhirnya dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri yang berisi perintah menghentikan kegiatan Ahmadiyah. Pejabat Depkum HAM, Harkristuti Harkrisnowo mengakui, aksi demonstrasi telah membuat tekanan pada pemerintah untuk menandatangani SKB.

Dalam konteks kasus Ahmadiyah, organisasi sebesar NU dan Muhammadiyah ternyata memilih bungkam dan tidak ikut mengirimkan massa mendukung aksi. Meski sudah menegaskan menolak Ahmadiyah, Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsudin memilih tak ikut serta dalam aksi ini. Organisasi yang dipimpinya lebih mengedepankan pendekatan persuasif.

Setelah kasus aksi demo Ahmadiyah, amat jarang muncul aksi dari berbagai ormas Islam yang melibatkan puluhan hingga ratusan ribu orang.

Menarik pula disimak pola aksi demonstrasi yang dilakukan ormas-ormas Islam sejak era reformasi, khususnya yang berbentuk partai politik, seperti kelompok Tarbiyah/PKS, PPP atau PBB. Mereka akan selalu menghindari isu yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

Posisi mereka sebagai partai koalisi menjadi penyebab. Maka wajar ketika FPI, HTI dan FUI aktif berdemo bersama buruh dan mahasiswa mengecam kenaikan BBM pada Mei - Juni 2008, aktivis kanan dari kalangan parpol lebih cenderung memilih bersikap adem-adem saja. Aksi penolakan hanya disampaikan secara basa-basi oleh pemimpin partai, bukan mengerahkan simpatisan untuk turun ke jalan.

Di sisi lain, mereka pun akan menghindari isu-isu yang bersebrangan dengan sikap intoleran. Posisi sama juga sebenarnya dilakukan oleh ormas Islam besar yang menjaga jarak untuk terlibat dunia politik. NU dan Muhammadiyah contohnya. Termasuk dalam konteks demo 4 November hari ini, dua organisasi besar itu memilih untuk netral.

Baca juga artikel terkait DEMO 4 NOVEMBER atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti