tirto.id - Universitas Al-Azhar berkembang dari sebuah masjid istana yang didirikan pada 970 Masehi oleh Dinasti Fatimiah, rezim syiah Ismailiyyah dari Tunisia sebelum pindah ke Mesir.
Menurut sejarawan, nama Al-Azhar digunakan pendirinya untuk mengenang putri bungsu Nabi Muhammad, Fatimah, yang bergelar Az-Zahra’, artinya Yang Bercahaya. Ada pula yang mengaitkannya dengan kompleks istana sang khalifah, Al-Qushur Az-Zahirah (Istana-istana yang Bercahaya), tempat masjid tersebut berada di tengah-tengahnya.
Simbol Kekuatan Baru
Pada 988, Khalifah Al-‘Aziz Billah (955-996) memerintahkan wazir (perdana menteri) yang berdarah Yahudi kelahiran Bagdad, Ya’qub bin Killis, untuk merintis sebuah lembaga pendidikan. Sebagai kekuatan politik yang baru bersinar, lembaga tersebut dimaksudkan untuk menandingi Bait Al-Hikmah yang didirikan Dinasti Abbasiyah di Bagdad.
Ya’qub mula-mula merekrut 35 cendekiawan untuk memimpin kegiatan belajar-mengajar di Masjid Al-Azhar. Tema kajian meliputi hukum Islam, akidah, bahasa Arab, filsafat, logika, kedokteran, matematika, dan astronomi. Proses belajar-mengajar dilakukan secara sederhana dalam halaqah atau circle group setiap selesai salat Jumat.
Dalam perkembangannya, tiga kelas dibuka untuk masyarakat umum, yaitu kelas Al-Qur’an dan tafsir, kelas akidah dan hukum Islam, dan kelas formal yang diampu pejabat pemerintah. Kelas-kelas tersebut selanjutnya dikenal dengan Majalis al-Hikmah (Majelis-majelis Kebijaksanaan).
Seiring waktu, sejumlah fasilitas melengkapi lembaga itu. Buku-buku yang menjadi koleksi perpustakaan istana dipindahkan ke sana. Kenyamanan pengunjung sangat diperhatikan, terlihat dari keberadaan tikar khusus musim panas, permadani musim dingin, juga alat tulis dan air minum yang disediakan cuma-cuma.
Setiap bulan, khalifah menyokong biaya operasional lembaga ini dengan anggaran 95 dinar untuk kertas, 12 dinar untuk pulpen dan tinta, 12 dinar untuk menjilid buku yang rusak, 4 dinar untuk permadani musim dingin, 12 dinar untuk air minum, 48 dinar untuk gaji pustakawan, dan 15 dinar untuk gaji petugas kebersihan.
Jumlah buku yang tersedia di perpustakaan mencapai 200 ribu eksemplar. Selain menyediakan buku bacaan, perpustakaan juga melakukan penerjemahan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.
Sejumlah ilmuwan yang pernah berkarier di sana antara lain Muhammad bin Yusuf al-Kindi (sejarawan dan ahli hadis), Ibnu Salama al-Quda’i (sejarawan dan ahli hukum Sunni Syafi’i), dan Ibnu al-Haitsam (filsuf, dokter, dan ahli astronomi).
Pada masa al-Hakim Biamrillah (996-1021), tidak kurang 100 ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, di antaranya matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran, bekerja di lembaga pendidikan tersebut.
Seturut Heinz Halm dalam "The Fatimids and Their Traditions of Learning" (2001:44), setiap bulan Khalifah menggaji tenaga pengajar di lembaga itu bahkan membebaskan lahan di depan Masjid Al-Azhar dan membangunnya untuk kediaman mereka. Pada perayaan Idulfitri, atas perintah Khalifah, mereka diarak keliling kota dengan jubah kehormatan.
Ketika Dinasti Fatimiah tumbang dengan naiknya Salahuddin al-Ayyubi (1171-1193), Masjid Al-Azhar dan semua kegiatannya, baik peribadahan maupun keilmuan, berhenti beroperasi. Sejarawan menyebut kebijakan tersebut diambil untuk menetralkan pengaruh Syiah Ismailiyah di Mesir.
Menurut satu versi, atas perintah Salahuddin, sebagian koleksi buku yang mencapai ratusan ribu dijual, sedang sebagian lagi dibakar. Versi lain menuding prajurit dan pegawai kerajaan yang marah karena beberapa bulan tidak digaji menjarah perpustakaan dan menjual buku-bukunya, termasuk buku-buku yang berhiaskan emas dan perak.
Diperalat Rezim Nasser
Meski zaman berubah dan penguasa datang silih berganti, mulai kerajaan-kerajaan Islam, penjajah Eropa, hingga pasca kemerdekaan Mesir, tak banyak perubahan yang terjadi di lingkungan Universitas Al-Azhar, termasuk tangan-tangan penguasa yang ingin memperalatnya demi kepentingan politik mereka.
Setelah mengudeta Raja Farouk (1952), Gamal Abdel Nasser melakukan berbagai cara untuk menekan pengaruh Al-Azhar. Sedikit demi sedikit ia kurangi independensi lembaga tersebut sebelum ia peralat demi kepentingan politik, terutama dalam mengimbangi rivalitas Ikhwanul Muslimin terhadap pemerintahannya.
Seturut Ahmed M. Amin dalam "Analyzing Al-Azhar’s Role in Egyptian Politics" (2020:192), kebijakan tangan besi Nasser yang berkaitan dengan Universitas Al-Azhar antara lain mendesak tokoh agama dan ilmuwan di lembaga itu untuk menyuarakan kompatibilitas gagasan-gagasan sosialis yang ia usung dengan Islam.
Pada 1952, Undang-Undang Reformasi Pertanahan yang menempatkan seluruh properti wakaf di bawah kendali negara, yaitu Kementerian Wakaf, disahkan. Disitanya aset-aset wakaf yang sebelumnya berada dalam manajemen Al-Azhar dan merupakan sumber pendapatan lembaga tersebut turut melemahkan independensinya.
Kebijakan Nasser yang juga signifikan adalah dijadikannya Al-Azhar sebagai kampus negeri. Meski terdengar sebagai kabar baik, implikasi keputusan itu adalah presiden memiliki kewenangan mutlak untuk mengangkat atau memberhentikan Grand Syekh Al-Azhar.
Pembaruan yang dilakukan pemerintah kerap memicu kontroversi di internal Al-Azhar, yang memaksa mereka membentuk komite yang bertugas membersihkan lembaga tersebut dari dosen-dosen yang terlalu kritis. Hasilnya, 45 dosen diberhentikan dan diganti dosen lain yang lebih akomodatif terhadap kepentingan mereka.
Nasser juga mendorong perubahan positif di tubuh Al-Azhar. Pada 1961, pelajaran umum seperti Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, dan Geografi diajarkan kepada mahasiswa. Sejumlah fakultas umum seperti kedokteran, farmasi, dan teknik juga dibuka, melengkapi fakultas keagamaan yang sudah lebih dulu ada.
Setelah semua terkondisikan, pemerintah mengucurkan dana operasional yang cukup besar. Dari 1.537.000 pound Mesir naik menjadi 7.000.000 pound Mesir. Berkat dukungan dana tersebut, Al-Azhar membangun kampus baru dan mendirikan sejumlah sekolah dasar dan menengah di seantero negeri.
Patut dicatat, berbagai pembaruan yang dilakukan pemerintah terhadap Universitas Al-Azhar dimaksudkan untuk memastikan kesetiaan institusi tersebut kepada mereka.
Membumikan Islam Moderat
Ketika Arab Spring (2010-2011) menjalar ke Mesir dan berakhir dengan lengsernya Presiden Hosni Mubarak, perhatian dunia tertuju pada angkatan bersenjata yang menarik dukungan darinya. Hal yang sama terulang ketika mereka mengudeta Mohamed Morsi, pengganti Mubarak yang juga petinggi Ikhwanul Muslimin.
Namun, seturut Dalia Ziada dalam "The Untold Story of al-Azhar and the Egyptian Revolution" di laman majalla.com, menganggap militer sebagai kekuatan tunggal yang mengakhiri dominasi Ikhwanul Muslimin kurang tepat. Peran Grand Syekh Al-Azhar dan lembaga pendidikan yang ia pimpin tidak bisa diremehkan.
Ketika Gamal Abdel Nasser berkuasa, Al-Azhar berada di bawah kontrol pemerintah dan difungsikan sebagai lembaga fatwa yang melegitimasi kebijakan mereka. Anehnya, presiden yang berkuasa sejak 1956 hingga 1970 itu juga menekan Al-Azhar dan melakukan berbagai cara untuk mengurangi pengaruhnya di masyarakat akar rumput.
Penerus Nasser yaitu Anwar Sadat (1970-1981) sangat bergantung pada Ikhwanul Muslimin, terutama dalam menghadapi golongan sosialis pendukung Nasser. Imbasnya, pandangan politik dan keagamaan organisasi yang didirikan Hassan al-Banna itu seolah mendapatkan panggung, mengalahkan pamor Al-Azhar yang terus redup.
Kematian Sadat yang ironis, sebab dibunuh bekas simpatisan Ikhwanul Muslimin, membuka jalan bagi naiknya Hosni Mubarak (1981-2011), yang lagi-lagi memperalat Al-Azhar untuk kepentingan politik. Keadaan tersebut tidak berubah sampai Ahmed al-Tayeb terpilih sebagai Presiden Universitas Al-Azhar (2003) dan Grand Syekh Al-Azhar (2020).
Di bawah kepemimpinan Al-Tayeb, Al-Azhar membuktikan dirinya cukup tangguh dalam membendung pemikiran kelompok islamis, khususnya Ikhwanul Muslimin dan Salafi. Usaha mereka dalam menyuarakan pandangan keislaman yang moderat sepadan dengan peran militer dalam menjaga stabilitas nasional Mesir pasca revolusi.
Lain itu, Al-Tayeb berhasil memulihkan reputasi Al-Azhar di dalam dan luar negeri. Bersama para koleganya, ia mendorong kalangan muslim moderat untuk lebih aktif menentukan dinamika sosial dan politik di Mesir, pada dekade terakhir kepemimpinan Mubarak, saat meletus revolusi, juga pada tahun-tahun sesudahnya.
Al-Tayeb juga menginisiasi konvoi kesehatan yang melibatkan tenaga kesehatan Al-Azhar dan menyinggahi desa-desa yang banyak dihuni warga miskin. Selain memberi layanan kesehatan gratis, kebijakan tersebut bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pandangan keislaman yang moderat.
Pada 2007, Al-Tayeb meluncurkan Organisasi Internasional Alumni al-Azhar (OIAA), yang bertujuan menguatkan silaturahmi sesama alumni Al-Azhar dan mendorong mereka menjadi ambasador Al-Azhar di negara masing-masing.
Universitas Al-Azhar juga menjalin kerja sama dengan kampus-kampus umum dan lembaga keislaman lain di seluruh dunia dalam pengajaran bahasa Inggris untuk alumninya yang berasal dari Mesir. Tak hanya itu, mereka juga membuka program pascasarjana untuk konsentrasi studi Islam dengan pengantar bahasa Inggris.
Usaha-usaha tersebut berhasil merebut simpati rakyat Mesir dan mengembalikan reputasi Al-Azhar di mata dunia. Kesuksesannya sebagai Presiden Universitas Al-Azhar menjadikan Al-Tayeb sebagai kandidat kuat Grand Syekh aA-Azhar, yang ia jabat setelah pendahulunya yakni Mohammad Sayed Tantawy mangkat pada 2010.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi