Menuju konten utama
Mozaik

Seruan Tauhid dalam Teks Tua di Nusantara Periode Hindu-Buddha

Dalam teks-teks tua periode Hindu-Buddha, teologi Islam terselip sebagai upaya vernakularisasi agar ajarannya diterima masyarakat yang literasinya mapan.

Seruan Tauhid dalam Teks Tua di Nusantara Periode Hindu-Buddha
HEADER mozaik Vernakularisasi Ajaran Islam. tirto.id/Tino

tirto.id - Penggunaan aksara sebagai salah satu sarana penyampaian nilai-nilai dan ajaran religi telah ada sejak masa awal sejarah Nusantara. Teks pertama kali yang muncul dalam panggung historiografi literasi Nusantara adalah teks keagamaan.

Mengutip komentar Hariani Santiko dalam "The Vedic Religion in Nusantara" (2013), prasasti-prasasti yupa sebagai tulisan paling tua yang pernah ditemukan di Indonesia merupakan bukti dari eksistensi religi Weda.

Uraian prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Mulawarman pada abad ke-4 itu menurut Santiko erat hubungannya dengan ritual pengorbanan hewan ternak dan prosesi pemujaan di Vaprakeśvara (pemujaan di atas gundukan tanah suci) sebagaimana disinggung dalam Rg-Veda.

Maka itu, yupa dalam hal ini dimunculkan sebagai tanda peringatan akan ritual tersebut sekaligus menjadi media penyebaran Agama Weda kala itu.

Tradisi literasi masa Hindu-Buddha pada periode-periode berikutnya sepanjang abad ke-4 sampai dengan abad ke-16, juga banyak melahirkan karya-karya yang berkaitan dengan anasir kepercayaan masyarakat Nusantara ketika itu.

Beberapa di antaranya berupa naskah-naskah didaktis dan juga prosa bernuansa religius, sedangkan yang lainnya berupa prasasti yang memuat mantra atau puja-puji bagi dewa tertentu.

Uniknya, pada beberapa kasus, aksara periode Hindu-Buddha juga digunakan dalam penulisan teks-teks Islami.

Tidak hanya di tahapan aksara, pada teks-teks "peralihan" itu juga dijumpai sinkretisme konsep teologi Islam dengan teologi Hindu-Buddha atau kepercayaan lain yang telah mapan di periode sebelumnya.

Para peneliti membaca fenomena itu sebagai bentuk upaya vernakularisasi ajaran Islam agar diterimanya di tengah masyarakat yang telah mapan tradisi literasinya.

Nisan Minye Tujoh

Salah satu bukti pembumian Islam paling awal dari segi literasi adalah Nisan Minye Tujoh. Nisan berbentuk kurawal ini ditemukan di Gampong Meunye Tujoh, Kecamatan Pirak Timur, Kabupaten Aceh Utara.

Nisan atau Prasasti Minye Tujoh sebenarnya bukan barang baru bagi dunia arkeologi, karena keberadaannya telah dilaporkan oleh F.D.K. Bosch dalam tulisannya yang berjudul "De inscriptie op den grafsteen van het graven complex genaamd Teungkoe Peuët Ploh Peuët" di Oudheidkundig Verslag (1915).

Bosch menyebut bahwa ia mendapat kabar soal Prasasti Minye Tujoh dari seorang peneliti Belanda di Aceh bernama J.J. de Vink. Dalam pemberitaannya itu, disebutkan bahwa telah ditemukan permakaman kuno bernama "Peuët Ploh Peuët.”

Di sana de Vink menjumpai makam raja-raja Samudra Pasai yang berbeda dengan makam Kesultanan Aceh pada umumnya. Pasalnya, de Vink semula mengabari Bosch bahwa ada nisan beraksara "Jawa".

Setelah itu, Prasasti Minye Tujoh baru dibaca secara utuh oleh W.F. Stutterheim dalam tulisannya bertajuk "A Malay sha‘ir in Old-Sumatran characters of 1380 A.D." (1936). Kurang lebih isinya, sebagaimana pembacaan termutakhir Willem van der Molen pada The Syair of Minye Tujuh” (2007), adalah sebagai berikut:

"hijrat nabī mungstapa yang prasiddhā tūjuh ratus astapuluh sawarssa hajjī catur dān dasa wāra sukkrā rājātmajā lnnyāp di rahmat allāh gunāñā sampurnna di hrat samūhā tāruk. gāsihta datang ka samūhā ilāhi yā rabbī tuhan samuhā tāruh dalam. śwargga tuhan tatuhā."

alih bahasa:

"Ketika berlalunya hijrah Sang Nabi, ia yang terpilih, (pada tahun hijriah) 781 hari jumat tanggal 14 bulan Haji (Dzulhijjah), sang putri raja telah wafat ke pangkuan Tuhan Yang Pengasih. Kebaikannya sempurna di seluruh dunia. Berakhirnya waktu (sesungguhnya) menimpa kita semua. Wahai Allah, Tuhan dari segala Tuhan, tempatkanlah Sang Putri di surgamu."

Atas dasar pembacaannya itu, van der Molen berpendapat Prasasti Minye Tujoh memiliki bentuk serupa syair, sehingga menumbangkan teori syair tertua di alam Melayu yang muncul dalam karya Hamzah Fansuri pada abad ke-16.

Apabila dilihat dari angka tahun prasastinya, Syair Minye Tujoh dikeluarkan pada 1389 M sekaligus menjadi yang paling tua.

Menurut van der Molen, walaupun di dalamnya ditulis dalam bahasa yang bercampur bahasa Arab, si penulis prasasti menyesuaikan panjang tinggi huruf vokal pada prasasti sesuai dengan metrum Upajati dalam bahasa Sanskerta. Sebaliknya, prasasti ini secara penulisan menimbulkan kesan aksara Arab yang kuat walaupun ditulis dalam aksara Sumatra Kuno.

Syiar Islam di Gunung Suci

Gambaran akan peralihan kepercayaan dari religi Hindu-Buddha ke Islam lebih terlihat lebih jelas pada khazanah naskah-naskah kuno. Manuskrip-manuskrip sinkretis ini pada beberapa kasus ditemukan di daerah-daerah yang pada masa Hindu-Buddha merupakan skriptorium atau sentra penulisan manuskrip, tempat berkumpulnya para pandita sekaligus cendekiawan.

Di Gunung Merapi-Merbabu, misalnya, gunung yang dipercaya sebagai skriptorium paling tidak sejak periode Majapahit, muncul pelbagai naskah Islam yang unik.

Menurut hasil transliterasi Agung Kriswanto dalam “Naskah-naskah Keislaman dari Skriptorium Merapi-Merbabu di Perpustakaan Nasional” (2019), teks Islami Merapi-Merbabu banyak yang menyinggung soal ilmu tauhid, cerita nabi-nabi, asal-usul terciptanya dunia, juga mantra-mantra.

Teks-teks itu jumlahnya cukup signifikan, karena meliputi 48 keropak dari 390 teks yang pernah ditemukan di Merapi-Merbabu.

Infografik mozaik Vernakularisasi Ajaran Islam

Infografik mozaik Vernakularisasi Ajaran Islam. tirto.id/Tino

Tidak seperti naskah-naskah Islam dari pesantren yang menggunakan bahasa Jawa dan aksara Arab Pegon, sebagian manuskrip Islam di Merapi-Merbabu jamaknya ditulis pada media lontar, beraksara Buda dan berbahasa Jawa Pertengahan layaknya teks sastra kidung era Hindu-Buddha.

Unsur-unsur Hindu-Buddha lain yang jelas terlihat terdapat pada penggunaan mantra pembuka ”om awiġnam asta nama siḍĕmpada beberapa awal teks, pengikutsertaan dewa-dewa Hindu-Buddha seperti Sanghyang Manikmaya atau dewa-dewa trimurti, dan konsep makhluk asura.

Kasus yang mirip dengan Gunung Merapi-Merbabu juga terjadi di Sumatra, khususnya di Gunung Kerinci. Gunung tempat ditemukannya manuskrip Undang-undang Tanjung Tanah—manuskrip Melayu tertua di dunia—kemungkinan telah berkembang sejak masa pemerintahan Ādityawarman di abad ke-14.

Teks bernuansa Islam di Kerinci sebagian ditulis dalam aksara Sumatra Kuno atau aksara Incung sebagai turunannya dan menggunakan bahasa Melayu Kuno atau bahasa Kerinci.

Dikutip dari tulisan H. Sunliensyar dalam “Idu Tawa Lam Jampi: Mantra-mantra dalam Naskah Surat Incung Kerinci” (2018), pada beberapa kasus mantra atau jampi yang merujuk pada dewa Hindu-Buddha atau dewa lokal di Kerinci, juga mengikutsertakan nama Allah dan Rasulullah. Kasus tersebut misalnya terjadi pada kutipan naskah berkode TK 236 sebagai berikut:

"haku juga kada manang ka halah di dalam hanak matala guru dingan tiga badingan sanak hitu"

Artinya:

"aku juga yang dimenangkan Allah di dalam anak Batara guru dengan tiga bersaudara itu."

Baca juga artikel terkait SYIAR ISLAM atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi