tirto.id - Dalam narasi Indianisasi yang berkembang selama ini, hampir semua tulisan yang berkait dengan isu itu senantiasa menyejajarkan Indianisasi dengan periode penyebaran agama Hindu dan Buddha.
N.J. Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) bahkan jelas-jelas menggunakan istilah "Hindu-Jawa" dalam menyebut kebudayaan Jawa Kuno.
Kasus yang kurang lebih serupa juga ditampilkan oleh George Coedes (2017) dalam karya terkenalnya Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha—terjemahan dari judul asli The Indianized States of Southeast Asia—yang menyebut aspek keagamaan Hindu-Buddha memegang peranan penting dalam terjadinya ledakan kebudayaan India di Asia Tenggara.
Namun, interaksi dan pertukaran kebudayaan antara Nusantara dengan India ternyata tidak melulu berhubungan dengan kedua agama darmik ini, melainkan juga soal religi keislaman yang datang lebih kemudian.
Proses penetrasi agama samawi ini menarik karena baik Nusantara maupun India, keduanya sama-sama reseptor ajaran Islam yang datang dari Timur Tengah.
Pola konektivitas yang terjalin dalam kategori kebudayaan Islam di antara keduanya terutama terjadi pada periode berdirinya Kekaisaran Mughal di India yang muncul hampir bersamaan dengan Kesultanan Aceh di Sumatra.
Tiga Kekuatan Dunia Islam
Sebagaimana disebut oleh Firoz Alam dalam disertasinya Political History of Mughal India from 1526-1857 (1998/9), Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahirudin Muhammad Babur (berkuasa 1526-1530) di Kabul pada dasawarsa pertama abad ke-16.
Ia yang awalnya hanya raja kecil di Kabul, kemudian melebarkan sayap kekuasaannya ke Timur dari Lahore sampai Punjab. Karena tergiur dengan jalur perdagangan India-Persia di Hindu Kush, Babur mulai berambisi menembus ke jantung Negeri Bharata sebagaimana nenek moyangnya—Timur Lenk.
Puncaknya, pada 1526 ia berhasil mengalahkan Kesultanan Delhi secara telak di Panipat dan tidak lama mengepung Kota Delhi. Dari kota itulah kekuasaan Mughal terus berkembang menjadi kekaisaran yang wilayahnya meliputi hampir seluruh Asia Selatan modern.
Kegemilangan Kekaisaran Mughal berhasil dicapai oleh Jalaludin Muhammad Akbar (berkuasa 1556-1605) yang mengantarkan keharmonisan kultur dan religi di India, antara kultur Persia-India dan religi Islam-Hindu.
Memasuki akhir abad ke-17, Kekaisaran Mughal dipimpin oleh Kaisar Shah Jahan I (berkuasa 1628-1658) sang pendiri Taj Mahal yang terkenal. Periode pemerintahannya menjadi masa-masa yang penting bagi Kekaisaran Mughal, karena ketika itu Mughal telah menjadi satu dari tiga kekuatan besar dunia Islam, selain Kekaisaran Ottoman di Turki dan Dinasti Safawiyyah di Persia.
Menurut N.R. Farooqi dalam Mughal-Ottoman Relations: A Study of Political & Diplomatic Relations Between Mughal India and the Ottoman Empire, 1556-1748 (1989), ketiga negara yang disebut sebagai "kerajaan-kerajaan mesiu itu saling bersekutu dan bertempur dalam rangka mempertahankan kepentingan masing-masing.
Ottoman yang merupakan musuh bebuyutan Safawiyah dalam peperangan di Mesopotamia, ketika itu bersekutu dengan Mughal yang bersaing dengan Safawiyyah di Asia Tengah dan Afghanistan. Bersama-sama dengan Ottoman, Mughal mengepung kekuatan Persia di Samudra Hindia.
Budaya Indo-Farsi di Kesultanan Aceh
Dominasi Kekaisaran Mughal di Samudra Hindia membuat kebudayaan Islam-India periode Mughal sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Islam di Nusantara. Salah satunya dan paling menonjol adalah di Kesultanan Aceh.
Sebelum sampai pada pertanyaan soal apa saja pengaruh budaya Mughal di Aceh, mari kita lebih dulu memeriksa bukti tertua soal hubungan Mughal dengan Aceh.
Sebagaimana diuraikan M. Alam dan S. Subhrahmanyam pada "Southeast Asia as Seen from Mughal India: Tahir Muhammad's 'Immaculate Garden'" (ca. 1600)” (2005), catatan tertua soal Aceh datang dari memoar Asad Beg Qazwini yang hidup semasa dengan Kaisar Akbar I.
Disebutkan bahwa pada akhir-akhir masa pemerintahan Kaisar Akbar I, wilayah Bijapur di dataran tinggi Dekkan menyerahkan upeti pada sang kaisar dalam bentuk tembakau. Uniknya, dalam penyerahan upeti itu disertai pula cangklong terbuat dari emas yang dibuat di Aceh.
Sedangkan dalam manuskrip Rauzat at-Tahirin karya Tahir Muhammad Sabzwari, diceritakan bahwa Kaisar Akbar I mendapat upeti berupa kamper dari Aceh langsung sebagai bentuk upeti.
Bagi Kesultanan Aceh, pengaruh Mughal bisa ditemui pada dua manuskrip babon historiografi kerajaan Islam di pojok utara Sumatra itu.
Menurut Henri Chambert-Loir dalam "Islamic Law in 17th Century Aceh" (2017), tradisi literasi Mughal terlihat jelas pada naskah Bustan’us Salatin yang ditulis tahun 1640-an oleh Nurudin Al-Raniri. Sang penulis berasal dari Rander, Gujarat, yang saat itu merupakan wilayah Kekaisaran Mughal.
Dalam teks tersebut, unsur budaya Mughal muncul pada deskripsi bentuk arsitektur istana, kemeriahan jalur sungai, harem kerajaan, peran kasim, penyajian pakaian kerajaan, gambaran raja memberikan audiensi dari jendela atau balkon, dan orkestra kerajaan dengan delapan instrumen di Kesultanan Aceh.
Teks selain Bustan’us Salatin yang mengandung unsur budaya Mughal adalah Hikayat Aceh, yang oleh Chambert-Loir bahkan dianggap mencontoh garapan naskah Akbarnama, suatu karya pujasastra terhadap Kaisar Akbar I. Menurut teks tersebut, makanan-makanan yang disajikan sewaktu prosesi pernikahan pangeran-pangeran Aceh juga adalah sajian khas Mughal.
Pengaruh Mughal di Kesultanan Aceh juga merambah ke aspek atribut politik. Filolog Annabel Teh Gallop dalam tulisannya "The genealogical seal of the Mughal emperors of India" (1999) menyebut stempel kerajaan cap sikureuëng dari Kesultanan Aceh meniru bentuk stempel Kekaisaran Mughal.
Ciri Mughal itu dapat dijumpai dari bentuk stempel Aceh yang pada pinggiran stempelnya terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang berisi nama penguasa sebelumnya. Sedangkan lingkaran yang di tengah diisi dengan nama penguasa yang tengah berkuasa.
Bentuk stempel semacam ini oleh Gallop disebut sebagai stempel "orbit genealogis". Tipe stempel tersebut pertama kali dikembangkan oleh Kaisar Jahangir I di Kekaisaran Mughal (1605-1627).
Pertanyaannya mengapa unsur budaya Mughal bisa sampai merambah ke atribut politik Kesultanan Aceh?
Menurut dugaan Chambert-Loir, hal ini dikarenakan sejak abad ke-17 Kekhalifahan Ottoman tidak lagi turut campur dalam dunia perpolitikan Samudra Hindia sebagaimana terjadi pada abad sebelumnya dan lebih sibuk mengurusi musuh-musuhnya di Laut Mediterania.
Dan Portugis yang telah lama menaklukan Malaka, tentu menjadi musuh yang tak terelakkan bagi Aceh. Maka itu, Mughal sebagai kekuatan terbesar selain Ottoman di Samudra Hindia menjadi pilihan terbaik bagi Aceh dalam bersekutu ketika absennya kekuatan Ottoman.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi