tirto.id - Arjumand Banu Begum atau masyhur sebagai Mumtaz Mahal, meninggal dunia pada 17 Juni 1631, tepat hari ini 390 tahun silam. Istri kesayangan Shah Jahan, penguasa Kesultanan Mughal--kini mencakup India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan—itu dimakamkan di sebuah bangunan megah seluas 72 hektare yang disebut Taj Mahal, yang berarti Mahkota Istana. Kemegahan dan arti penting bangunan tersebut pada 1983 diakui UNESCO sebagai "permata seni Muslim di India dan salah satu mahakarya warisan dunia yang dikagumi secara universal.”
Taj Mahal dibangun sejak 1632, setahun setelah kematian tragis Mumtaz Mahal ketika melahirkan anaknya yang ke-14. Penyebab kematiannya adalah postpartum hemorrhage atau pendarahan berlebihan setelah melahirkan. Ia menjalani persalinan panjang selama 30 jam. Dari persalinan yang menyakitkan ini lahirlah bayi perempuan bernama Gauhar Ara Begum. Tragis, tanggal lahir Gauhar Ara juga sekaligus tanggal kematian ibunya. Dan kematian itu menutup siklus melahirkan Mumtaz Mahal yang hampir tiap tahun selama 19 tahun menikah dengan Shah Jahan.
Kehamilan dan persalinan yang hampir tiap tahun selama 14 kali berkontribusi pada komplikasi dalam persalinan terakhir Mumtaz Mahal, di usianya yang baru menginjak 38 tahun. Jarak antarpersalinan yang pendek diduga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatannya, terutama anemia.
Secara umum, perempuan di India memiliki kadar hemoglobin yang rendah, yakni 9 g/cm3—bandingkan dengan kadar hemoglobin perempuan di negara-negara Barat yang mencapai 12 g/cm3. Kondisi ini menambah faktor risiko persalinan perempuan di India. Secara psikologis, Mumtaz Mahal juga tidak sedang berada dalam kondisi yang nyaman untuk menyambut kelahiran bayi. Ia sedang menemani suaminya berperang di Burhanpur demi menumpas pemberontakan Gubernur Deccan (Kumar, Anant. Monument of Love or Symbol of Maternal Health: The Story Behind the Taj Mahal. Case Reports in Women’s Health 1, 2014, hlm. 4-7).
Mumtaz Mahal berusia 19 tahun ketika menikah pada 1612 dengan Shah Jahan yang hanya setahun lebih tua darinya. Setahun kemudian, lahirlah anak pertama mereka, Hur Al-Nissa Begum yang meninggal ketika masih balita. Kemudian berturut-turut setiap tahun hingga usianya 26 tahun, Mumtaz Mahal melahirkan. Ia berkali-kali hamil dan melahirkan hingga persalinan terakhirnya pada 1631.
Dari 14 kali kehamilan, jarak terpendek antarkehamilan hanya 362 hari, sedangkan jarak terpanjangnya adalah 787 hari. Selama 19 tahun pernikahan, ia menghabiskan 10,5 tahun dalam keadaan hamil. Dari 14 anak, 7 di antaranya meninggal ketika masih balita atau masih anak-anak (Kumar, Anant. Monument of Love or Symbol of Maternal Health: The Story Behind the Taj Mahal. Case Reports in Women’s Health 1, 2014, hlm. 4-7).
Shea O. Rutstein dalam laporannya (Trends in Birth Spacing, DHS Comparative Reports, No. 28, 2011, hlm. xiii) mengonfirmasi penyebab tingginya angka kematian pada anak-anak Mumtaz Mahal yang mencapai 50 persen. Anak-anak yang lahir dalam interval kurang dari 24 bulan dari persalinan sebelumnya dianggap berisiko lebih tinggi mengalami kematian dan kekurangan gizi.
Ibu dengan jarak antarpersalinan kurang dari 24 bulan juga berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi kelahiran. Mumtaz Mahal dan anak-anak yang dilahirkannya berada dalam risiko tinggi ini. Dari 14 kali persalinan, lebih dari 10 persalinan berjarak kurang dari 24 bulan, bahkan 5 persalinan berjarak hanya 12-14 bulan.
Hingga 2006, jarak antarkelahiran di bawah 24 bulan di India masih tinggi, yakni 27,3 persen, sementara untuk interval yang sama, angka di Indonesia hanya 10,8 persen pada 2007. Kendati mengalami penurunan tajam dalam jumlah kematian ibu, India masih berjuang memenuhi target Sustainable Development Goals, yakni 70 per 100.000 angka kelahiran hidup pada 2030. Pada 2015, angka kematian ibu di India mencapai 174 per 100.000 kelahiran hidup (Ministry of Health and Family Welfare, Government of India, Annual Report 2017-2018, hlm. 25).
Kematian ibu adalah hal yang dapat dicegah. Mengutip Mahmoud F. Fathalla, Presiden Federasi Internasional Ginekologi dan Obstetri (FIGO) dalam Kongres Dunia di Kopenhagen pada 2017, “Perempuan meninggal bukan karena penyakit yang tidak dapat diobati. Mereka meninggal karena masyarakat tidak membuat keputusan bahwa hidup perempuan layak diselamatkan.”
Cara Mengenang yang Kurang Berfaedah
Ketika melahirkan, Mumtaz Mahal ditemani oleh seorang dokter, Wazir Khan, dan beberapa bidan. Tetapi ketersediaan tenaga penolong persalinan profesional tersebut tetap tidak mampu menyelamatkan seorang permaisuri dari komplikasi dan pendarahan. Kematian Mumtaz Mahal sebenarnya dapat dicegah andai Shah Jahan beritikad mengatur interval kehamilan istri kesayangannya.
Pertolongan pada saat terjadinya komplikasi tidak banyak membantu. Rumah sakit modern mengonfirmasi bahwa banyak kematian ibu justru terjadi di rumah sakit. Hal ini karena ibu melahirkan yang mengalami komplikasi dibawa ke rumah sakit dalam keadaan terminal atau sudah sangat kritis.
Sebagian besar kematian ibu terjadi selama persalinan atau 24 jam pertama pascapersalinan, dan sebagian besar komplikasi terkait tidak dapat diprediksi atau dicegah (National Research Council. 2013. Reducing Maternal and Neonatal Mortality in Indonesia: Saving Lives, Saving the Future, hlm. 60).
Shah Jahan larut dalam duka mendalam dan berkepanjangan setelah kematian istrinya. Ia mengumumkan bahwa seantero Mughal berada dalam keadaan berduka selama dua tahun. Rasa kehilangannya yang sangat besar diwujudkan dengan membangun Taj Mahal sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi Mumtaz Mahal. Musoleum tersebut dibangun selama 19 tahun, seumur pernikahannya.
Namun, dengan kepemilikan sumber daya yang besar, Shah Jahan tidak melakukan sesuatu untuk mencegah perempuan-perempuan lain di Mughal mengalami nasib yang sama seperti istrinya. Atau misalnya membangun sekolah kedokteran yang dapat membantu menaikkan derajat kesehatan ibu dan anak.
Di abad ke-17, hal tersebut bukan hal yang tidak mungkin. Ketika Ratu Ulrika Eleonora kehilangan orang yang dicintainya, Swedia mendirikan Swedish Collegium Medicum dan sang Ratu memerintahkan pelatihan bidan di seluruh negeri. Sejak 1860-an, parlemen di Swedia mewajibkan seluruh paroki gereja memiliki setidaknya satu orang bidan.
Itikad yang dibangun demi kesehatan ibu sejak abad ke-17 tersebut menjadikan Swedia kini memiliki angka kematian ibu kurang dari 5 kematian per 100.000 kelahiran hidup, salah satu yang terendah di dunia.(A. B. Lalonde, J. Liljestrand, H. Rushwan and P. Okong. “Postpartum Hemorrhage Today: Living in the Shadow of the Taj Mahal”, A Comprehensive Textbook of Postpartum Hemorrhage 2nd Edition. 2012. Bab 8, hlm. 64).
Alih-alih menaikkan derajat kesehatan ibu dan anak, Shah Jahan memilih meninggalkan warisan dengan membangun monumen besar. Sebuah pengingat akbar atas nasib istrinya yang mengalami kematian maternal.
Editor: Irfan Teguh Pribadi