tirto.id - 12 Februari 1949, tepat hari ini 69 tahun lalu. Hassan al-Banna dan saudara iparnya Abdul Karim Mansur sedang berada di markas Jama'iyyat al-Shubban al-Muslimeen di Kairo, Mesir. Keduanya dijadwalkan bertemu dengan perwakilan pemerintah, Menteri Zaki Ali Pasha, untuk bernegosiasi. Namun hingga pukul 5 sore sang menteri tak kunjung datang. Banna dan Mansur akhirnya memutuskan untuk pulang.
Saat sedang berdiri menunggu taksi, Banna dan Mansur diserang oleh dua orang tak dikenal. Suara tembakan terdengar beberapa kali. Banna roboh. Ia sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi luka-lukanya terlalu parah untuk diobati. Di hari yang sama, sang pendiri Ikhwanul Muslimin (IM) menghembuskan napas terakhir.
Di antara tahun 1948 dan 1949, tak lama usai kekalahan koalisi Arab dalam perang melawan Israel, konflik antara monarki Mesir dan IM mencapai puncaknya. IM sedang menikmati popularitas yang tinggi di kalangan masyarakat Mesir—situasi yang tak disenangi Raja Farouk.
Posisi IM kian berbahaya setelah muncul rumor bahwa anggota-anggota militan di tubuh organisasi tersebut sedang merencanakan kudeta terhadap pemerintahan Raja Farouk. Perdana Menteri Mahmoud al-Nukrashi Pasha kemudian membubarkan IM pada bulan Desember 1948. Aset-aset organisasi disita. Banyak anggotanya yang dijebloskan ke penjara.
Direpresi sedemikian rupa, IM justru kian beringas. Tiga minggu berselang, Abdel Meguid Ahmed Hassan, anggota IM yang juga berstatus sebagai mahasiswa kedokteran hewan di Universitas King Fouad I, melancarkan upaya pembunuhan terhadap Pasha. Pada tanggal 28 Desember 1948, tepatnya pukul 10 pagi, Hassan yang memakai seragam seorang letnan menembak Pasha, dua kali, di gedung Kementerian Dalam Negeri. Pasha meninggal seketika.
Banna mengecam tindakan Hassan dan menegaskan bahwa tindakan teror tidak diterima dalam ajaran Islam. Sayangnya, beberapa bulan kemudian, ia menjadi target pembunuhan berikutnya. Banyak pihak yang menyebutkan bahwa pelakunya adalah anggota kepolisian rahasia suruhan Raja Farouk. Tuduhan ini logis jika dihubungkan dengan peristiwa pembunuhan Pasha hingga memicu aksi balas dendam.
Anak Muazin yang Benci Kolonialisme Inggris
Hassan Ahmed Abdel Rahman Muhammed al-Banna lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya, sebuah desa delta Sungai Nil, barat daya Kairo. Ayahnya yang seorang imam, muazin, dan guru di masjid adalah pengaruh mula-mula menyemainya semangat Islam di dada Banna. Selain pada kemurnian Islam ala mazhab Hambali, Banna muda juga terpengaruh pada ajaran Sufi dan sempat ikut perkumpulan Sufi bernama al-Hassafiya.
Brian R. Farmer, dalam bukunya Understanding Radical Islam: Medieval Ideology in the Twenty-first Century (2007), menyatakan bahwa awal kegelisahan ideologis Banna berawal dari runtuhnya Kekaisaran Ottoman pada tahun 1924—masa di mana Banna masih berstatus sebagai mahasiswa. Ia memandangnya sebagai bencana sekaligus “deklarasi perang melawan semua bentuk Islam”.
Usai menyelesaikan studinya di Dar al-Ulum pada tahun 1927 ia menjadi guru sekolah dasar di Ismailia. Kala itu Ismailia adalah pusat urusan Terusan Kanal oleh pemerintah Mesir. Pengaruh asingnya kuat, terutama dari Inggris yang sedang melaksanakan proyek kolonialismenya.
Penjajahan Inggris menjadi bibit kebencian Banna sebab kehadiran pentolan imperialis dari Eropa itu membuat kultur di Mesir menjadi kebarat-baratan, dengan kata lain, menggerus prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintahan Mesir yang giat mempromosikan modernitas dan sekulerisme ditakutkan Banna akan berdampak negatif pada kehidupan komunitas muslim Mesir.
Banna pernah didatangi oleh enam pekerja Terusan Suez pada bulan Maret 1928. Mereka mengeluhkan sikap tidak adil rezim kolonialis Inggris kepada mereka dan pekerja terusan lain. Orang-orang Arab dan terutama muslim dirugikan betul akibat kontrol Inggris. Sebab berselaras dengan kegelisahan Banna, ia dan keenam pekerja kemudian mendirikan sebuah organisasi bernama Ikhwanul Muslimin (IM) yang ditujukan untuk membela nasib para muslim Mesir yang ditindas-tindas oleh Inggris.
Orator Ulung Pendulang Simpati
IM tak hanya lahir untuk menumbuhkan kesalehan dalam diri para anggota, tapi juga bergerak di ranah sosial dengan giat berderma kepada mereka yang membutuhkan. Pergerakannya cukup militan di akar rumput, sehingga mampu menarik simpatisan dari kalangan rakyat biasa.
Dalam ulasan Carrie Rosefsky Wickham dalam The Muslim Brotherhood Evolution of an Islamist Movement (2013), Banna memberikan ceramah tak hanya di masjid-masjid, tetapi juga di warung-warung kopi. Kehadiran dan isi ceramahnya menarik perhatian kalangan pekerja terusan yang bergaji pas-pasan dan muak dengan kesenjangan ekonomi di Mesir.
Hasilnya, dari yang mulanya sedikit, anggota maupun simpatisan IM berkembang hingga ke luar Ismailia. Memasuki tahun 1930-an anggota IM sudah mencapai ratusan ribu. Kantor-kantor cabangnya berdiri di berbagai kota di Mesir. Banna kemudian memindahkan markas pusatnya ke ibukota Kairo pada tahun 1932 agar lebih dekat dengan pusat kekuasaan, dengan demikian berdampak positif bagi naiknya daya tawar IM.
Nama IM makin berkibar akibat keterlibatannya dalam revolusi Arab di Palestina pada tahun 1936-1939. IM meluncurkan kampanye pro-Palestina dengan amat giat. Saking giatnya hingga berhasil membuat isu Palestina menjadi isu muslim sedunia—bukan eksklusif di Timur Tengah. Meski revolusi itu direpresi secara militer dan tak meraih tujuan pokoknya, nama sayap IM makin lebar membentang bahkan hingga ke luar Mesir.
Dalam catatan Irfan Husain di buku Fatal Faultlines (2011), anggota IM naik drastis dari sekitar 800 orang di tahun 1936, lalu menjadi 200.000 di tahun 1936, hingga setahun sebelum kematian Banna yakni 1948 sudah di angka 2 juta. IM berubah dari mulanya organisasi kecil menuju kekuatan baru yang menarik perhatian pemerintah Mesir, terutama karena potensinya menjadi organisasi militan pengguncang kekuasaan.
“Islam adalah Solusi”
Muhammad Iqbal dalam Pemikiran Politik Islam (2015) menulis bahwa kunci dari pemikiran politik Hassan al-Banna adalah Islam sebagai solusi. Solusi dari segala permasalahan yang dikandung negara yang masih menganut sistem sekuler. Dalam kasus Mesir, yang juga masih tertindas oleh kekuatan besar yang tidak Islami (baca: Inggris). Negara yang ideal bagi Banna adalah yang menerapkan Alquran dan Sunah Nabi sebagai panduan utamanya.
Islam adalah panduan hidup yang sempurna, pandang Banna, dengan demikian ia menyingkirkan ideologi sekuler lain baik yang kanan (liberalisme-sekularisme) maupun yang kiri (sosialisme-komunisme). Islam sebagai sistem politik bersifat universal atau bisa diterapkan di segala zaman dan tempat. Islam mampu menjadi solusi bagi seluruh persoalan,baik kesenjangan ekonomi, krisis identitas akibat Westernisasi, kemiskinan, perilaku tercela, dan lain-lainnya.
Banna juga mengkritik partai-partai di Mesir saat itu yang tak memperjuangkan memerdekakan diri dari Inggris. Garis perjuangan IM tidak hanya teoritis, tapi “amaliah nyata dengan saringan selektif terhadap hal-hal yang jelas hanya dapat dibenarkan oleh Islam.” Iqbal menyatakan ada semangat salaf dalam perjuangan Banna.
Mona Saleh, dalam analisisnya bertajuk Hassan al-Banna: A Starting Point for Contemporary Islamic Fundamentalism yang diunggah di Jurnal E-International Relations Students edisi Januari 2016 lalu, menyimpulkan pemikiran Banna sebagai dasar dari fundamentalisme Islam di era modern. Ide-ide tentang superioritas Islam Banna, kata Saleh, kemudian melahirkan monopoli tafsir untuk menjadi dasar penghakiman kepada kelompok non-Islam atau kelompok Islam lain.
Banna melahirkan bibit pemikiran tentang politisasi Islam dan peleburan ajarannya di dalam konstitusi sebuah negara modern. Namun ia cenderung menolak nasionalisme. Bayangannya adalah persatuan muslim di seluruh dunia sebagai satu bangsa yang terjalin lintas negara atau beberapa analis menyebutnya “transnasional”.
Banna boleh menyatakan bahwa organisasinya berjuang di jalur non-kekerasan. Namun pada 1940-an, merujuk Al-Jazeera, IM memasuki fase paramiliter sebab anggotanya ada yang mendirikan angkatan bersenjata khusus bernama al-Nizam al-Khass. Mereka terlibat sejumlah aksi terorisme seperti pembakaran sejumlah gedung milik institusi kaum Yahudi dan perwakilan asing di Kairo pada 1952, juga pembunuhan PM Mahmoud al-Nukrashi Pasha, demikian catatan Encyclopedia of World Biography.
Militansi pengikutnya berbuah pada tragedi yang melenyapkan nyawa Banna sendiri. IM juga kian direpresi usai Banna sudah tak ada. Beberapa ada yang dituduh pemerintah terlibat dalam sejumlah aksi teror lanjutan. Salah satunya rencana pembunuhan terhadap presiden pertama Mesir usai revolusi menumbangkan Raja Farouk, Gamal Abdul Nasser.
PKS: IM-nya Indonesia
Represi boleh datang di tiap rezim. Tapi IM mampu bertahan, bahkan bisa melebarkan sayap ke banyak negara. Walaupun tidak secara organisasi, akan tetapi pengaruh IM kerap hadir di sebuah negara dalam bentuk ideologis. Salah satu penopang semangat jihad IM, selain Banna yang berciri sebagai organisator, adalah Sayyid Qutb. Qutb punya pemikiran Islam-politik yang serupa, dan menjadi landasan bagi banyak gerakan politik Islam di dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam ulasan M. Imdadun Rahmat dalam buku Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (2008), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadikan IM sebagai acuan utama dalam gerakan politiknya. PKS mengadopsi pemikiran para pendiri termasuk Banna dan Qutb, manhaj dakwahnya, hingga strategi meraih dukungan atau pengikutnya. Singkat kata, PKS adalah “anak ideologis” IM. Ada juga yang menyebut bahwa PKS adalah IM-nya Indonesia.
IM amat mempengaruhi proses berkembangnya Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Gerakan Tarbiyah yang menjadi embrio PKS. Mereka mengembangkan pandangan tentang Islam kaffah alias menyeluruh, sehingga meliputi dimensi politik untuk memajukan Islam itu sendiri. Dalam sebuah risalahnya Banna mengatakan bahwa syarat kesempurnaan Islam seseorang adalah keterlibatannya dalam aktivitas politik.
Pandangan ini tentu berseberangan dengan Islam ala Nurcholis Majid, misalnya, yang justru menyerukan pemilahan Islam dan politik melalui jargon “Islam Yes, Partai Islam No.” Namun, militansi Gerakan Tarbiyah dan LDK membuat PKS mampu bertahan sebagai salah satu partai Islam yang menonjol di kalangan elite politik Indonesia, terutama pascatumbangnya Soeharto pada tahun 1998.
Hingga kini PKS masih menuai hasil gerakan yang dibangun dengan meneladani IM sejak 1980-an. Meski Banna telah tiada, demikian juga Qutb yang dihukum gantung oleh rezim Gamal Abdul Nasir, pemikirannya masih hidup di tengah-tengah diskursus maupun pergerakan Islam-politik.
Buku-buku yang memuat buah pemikiran keduanya masih menjadi bahan bacaan babon bagi para simpatisan PKS—juga organisasi pengemban semangat “Islam adalah solusi” di Indonesia maupun di negara-negara lainnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan