Menuju konten utama

Apa Itu Aliran Wujudiyah? Penjelasan dan Pencetusnya

Aliran Wujudiyah adalah konsep tasawuf yang menekankan kesatuan wujud antara Tuhan dan makhluk. Simak sejarah dan tokoh pencetusnya di Nusantara.

Apa Itu Aliran Wujudiyah? Penjelasan dan Pencetusnya
Ilustrasi Islam. foto/Istockphoto

tirto.id - Aliran wujudiyah adalah salah satu konsep dalam tasawuf yang menekankan kesatuan antara Tuhan dan makhluk. Konsep ini erat kaitannya dengan Wahdatul Wujud yang diperkenalkan oleh Ibnu Arabi, yang menyatakan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari Tuhan.

Di Nusantara, aliran wujudiyah ini berkembang terutama di Aceh dengan Hamzah Fansuri sebagai pelopor utamanya. Namun, ajaran ini menuai kontroversi karena dianggap bertentangan dengan Islam ortodoks. Tokoh seperti Syekh Nuruddin ar-Raniri menolak keras pemikiran ini dan berupaya memberantasnya.

Artikel ini akan membahas secara rinci aliran wujudiyah, sejarah perkembangannya, serta tokoh-tokoh yang menjadi pencetus dan pengembangnya di Nusantara.

Ilustrasi Aliran Tasawuf

Ilustrasi Aliran Tasawuf. foto/istockphoto

Tasawuf dan Aliran Wujudiyah dalam Islam

Sebelum membahas sejarah perkembangan aliran wujudiyah di Indonesia, penting untuk mengetahui apa itu tasawuf.

Tasawuf adalah aspek spiritual dalam Islam yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui perjalanan batin (suluk), pembersihan jiwa, serta amalan-amalan tertentu seperti zikir dan meditasi.

Secara umum, tasawuf terbagi menjadi dua aliran utama:

  • Tasawuf Sunni, yang berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis serta menekankan akhlak dan ibadah.
  • Tasawuf Falsafi, yang lebih filosofis dan mendalami konsep ketuhanan, termasuk Wahdatul Wujud.
Di Nusantara, tasawuf memiliki peran penting dalam penyebaran Islam. Wali Songo di Jawa mengajarkan tasawuf dengan pendekatan syariat, sementara di Aceh, tasawuf falsafi berkembang dengan pemikiran wujudiyah yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri.

Salah satu tokoh yang juga dikenal dengan konsep serupa adalah Syeikh Siti Jenar, yang mengajarkan Manunggaling Kawula Gusti, pemahaman bahwa manusia dapat menyatu dengan Tuhan. Hal ini memiliki kemiripan dengan Wujudiyah dan menyebabkan perlawanan dari Wali Songo.

Apa Itu Aliran Wujudiyah?

Aliran wujudiyah adalah pemahaman dalam tasawuf yang menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta merupakan manifestasi dari Tuhan. Hakikat wujud sejati hanyalah Allah, sementara makhluk adalah refleksi keberadaan-Nya.

Dalam aliran wujudiyah ini, Tuhan menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk di alam, yang disebut sebagai tajalli (penampakan). Pemahaman ini berasal dari konsep Wahdatul Wujud Ibnu Arabi, yang menekankan bahwa segala sesuatu berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan.

Hamzah Fansuri, sebagai tokoh utama aliran wujudiyah di Nusantara ini, menggambarkan dalam syairnya:

"Lautan tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga dengan Allah Swt, tiada bercerai dengan alam..."

Dari syair ini, dapat dipahami bahwa dalam aliran wujudiyah, Tuhan dan alam semesta adalah satu kesatuan. Namun, bukan berarti makhluk adalah Tuhan, melainkan hanya pancaran dari-Nya.

Bagi seorang sufi, perjalanan spiritual bertujuan untuk mencapai ma’rifat, yaitu kesadaran hakiki tentang kesatuan dirinya dengan Tuhan dan ketiadaan dirinya sebagai entitas yang berdiri sendiri.

Nuruddin Muhammad bin Ali

Nuruddin Muhammad bin Ali (Syekh Nuruddin ar-Raniri). wikimedia/domain publik

Sejarah dan Asal-Usul Aliran Wujudiyah

Aliran wujudiyah berasal dari pemikiran Ibnu Arabi (1165-1240), seorang sufi besar dari Andalusia yang mengembangkan konsep Wahdatul Wujud. Pemikiran ini berkembang pesat di Persia dan India sebelum akhirnya mencapai Nusantara.

Di Aceh, aliran wujudiyah ini diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri pada abad ke-16. Aceh yang menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara menjadi lahan subur bagi berkembangnya berbagai pemikiran tasawuf.

Namun, aliran wujudiyah menuai perlawanan dari ulama ortodoks, terutama Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniri, yang menganggap ajaran ini menyimpang dari Islam.

Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniri sendiri merupakan seorang ulama besar dan penasihat Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani. Ia berpendapat bahwa tanpa keseimbangan dengan syariat, paham ini dapat menyesatkan umat.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641), terjadi perdebatan sengit antara dua kubu:

  • Pendukung Wujudiyah, dipimpin oleh Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin As-Sumatrani.
  • Pendukung tasawuf Sunni, yang dipimpin oleh Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniri.
Konflik ini mencapai puncaknya ketika Sultan, atas pengaruh Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniri, memerintahkan pembakaran buku-buku Hamzah Fansuri dan menghukum para pengikutnya. Langkah ini menandai penurunan pengaruh aliran wujudiyah di Aceh dan menguatnya tasawuf Sunni.

Tokoh Pencetus dan Pengembang Aliran Wujudiyah

Beberapa tokoh penting dalam perkembangan aliran Wujudiyah, terutama di Nusantara, antara lain:

1. Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri adalah tokoh utama yang memperkenalkan dan mengembangkan aliran Wujudiyah di Nusantara, terutama di Aceh. Ia banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dan dikenal dengan karya-karyanya dalam bahasa Melayu, seperti: Asrar al-Arifin, Syarah al-Asyiqin, dan Al-Muntahi.

Ia menggunakan syair dan metafora untuk menyampaikan aliran Wujudiyah. Namun, ajarannya mendapat tentangan keras dari Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniri, yang menganggapnya sebagai aliran sesat. Akibatnya, kitab-kitabnya dibakar, dan para pengikutnya mendapat tekanan berat.

2. Syamsuddin As-Sumatrani

Syamsuddin As-Sumatrani adalah murid utama Hamzah Fansuri yang meneruskan aliran Wujudiyah di Aceh. Ia menjadi penasihat spiritual bagi Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan menulis berbagai karya tasawuf falsafi.

Namun, setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda, kedudukannya melemah. Ketika Nuruddin bin Ali ar-Raniri tiba di Aceh, ia langsung menentang aliran Wujudiyah dan mengusir pengaruhnya dari Kesultanan Aceh.

3. Syeikh Siti Jenar

Di Jawa, ajaran yang mirip dengan aliran wujudiyah diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar melalui konsep Manunggaling Kawula Gusti, yang menekankan bahwa manusia dapat menyatu dengan Tuhan.

Wali Songo menentang ajarannya karena dianggap menyimpang dari Islam ortodoks dan dapat membuat masyarakat meninggalkan kewajiban syariat. Setelah melalui perdebatan panjang, Syeikh Siti Jenar akhirnya dihukum mati oleh Wali Songo untuk mencegah penyebaran ajarannya lebih luas.

Meskipun demikian, pemikirannya tetap bertahan dan dipelajari dalam tradisi tasawuf falsafi di Jawa.

Aliran Wujudiyah memberikan warna tersendiri dalam perkembangan tasawuf di Nusantara. Meski menuai kontroversi, pemikirannya tetap menarik perhatian para akademisi dan pecinta tasawuf hingga kini. Warisan intelektual dari tokoh-tokohnya, baik dalam bentuk karya sastra maupun gagasan filosofis, terus dikaji sebagai bagian dari sejarah spiritual Islam di Indonesia.

Baca juga artikel terkait TASAWUF atau tulisan lainnya dari Robiatul Kamelia

tirto.id - Edusains
Penulis: Robiatul Kamelia
Editor: Robiatul Kamelia & Yulaika Ramadhani