Menuju konten utama
Mozaik

Riwayat Tarekat Idrisiyyah, dari Maroko sampai ke Tasikmalaya

Tarekat Idrisiyyah diperkenalkan di Indonesia oleh Abdul Fattah, asal Tasikmalaya. Sikap anti penjajahan tarekat ini membuat ia sempat mendekam di penjara. 

Riwayat Tarekat Idrisiyyah, dari Maroko sampai ke Tasikmalaya
Header Mozaik Tarekat Idrisiyyah. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tasawuf sebagai dimensi spiritual dalam Islam sering kali dipandang kontroversial, memicu perdebatan antara rasionalisme dan mistisisme. Metode ini sering kali diposisikan sebagai lawan dari pendekatan rasional.

Dilatar belakangi berbagai alasan yang berakar dalam sejarah dan perkembangan pemikiran Islam, beberapa kalangan menganggapnya sebagai penghambat kemajuan intelektual. Aspek asketisme dan penolakan terhadap duniawi dalam ajaran tasawuf sering kali disalahartikan sebagai ketidakpedulian terhadap masalah sosial.

Sebelum al-Ghazali, tasawuf sudah ada dalam tradisi Islam, tetapi sering kali dianggap marginal. Namun, al-Ghazali lewat master piece-nya Ihya Ulumuddin, tasawuf mulai mendapatkan legitimasi. Ia mengintegrasikan tasawuf dengan syariat, menekankan bahwa keduanya tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Ini memberikan landasan bagi banyak pemikir setelahnya untuk mengeksplorasi tasawuf lebih dalam.

Dalam karya lainnya, Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menolak beberapa pandangan filosofis yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tasawuf. Dalam konteks modern, pemikirannya kerap menghadapi tantangan baru. Sementara kalangan yang menerimanya melihat ajarannya cukup relevan dalam menjawab krisis spiritual di dunia kontemporer.

Tasawuf dengan berbagai tarekatnya, memiliki pendekatan unik yang dapat memberikan solusi dalam konteks yang lebih luas. Diskursus ini menciptakan ruang bagi perdebatan mengenai bagaimana tasawuf dapat beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya. Jalan ini menawarkan solusi untuk berbagai permasalahan spiritual dan sosial yang dihadapi umat Islam.

Tarekat Idrisiyyah, sebagai salah satu contoh, yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris Ali al-Masyisyi al-Yamlakhi al-Hasani, seorang ulama, ahli hukum, dan sufi terkemuka di masanya. Dia mengajarkan sesuatu yang menggabungkan aspek esoteris dan eksoteris, mengajak setiap muslim untuk mencapai keseimbangan spiritual.

Selain Idrisiyyah, tarekat ini dikenal juga dengan sebutan Al-Khidiriyyah karena berkaitan dengan kisah Nabi Khidir yang kerap memberikan amalan tertentu kepada para mursyid (pembimbing utama).

Sosok Pembaharu dari Maroko

Tarekat Idrisiyyah lahir sebagai gerakan reformis komprehensif yang menggabungkan aspek spiritual dan sosial Islam. Gerakan ini menunjukkan pola keberagamaan yang moderat dengan mengaplikasikan ajaran Islam secara holistik. Pendekatan ini memungkinkan gerakan tersebut untuk beradaptasi dengan perubahan sosial sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip keagamaan yang fundamental.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, umat Islam kerap melahirkan para mujaddid (pembaharu) di setiap masa, maka penamaan tarekat Idrisiyyah disematkan kepada Ahmad bin Idris Ali al-Masyisyi al-Yamlakhi al-Hasani.

Lahir di Maisur, dekat kota Fez, Maroko, pada tahun 1760 M, darahnya mengalir keturunan Nabi Muhammad sebagai Syarif Hasan yang berasal dari Idris bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Abi Talib. Ia juga termasuk keturunan Yamlah bin Masyish bin Abu Bakar, raja dan bangsawan yang sering dianggap wali-wali Allah oleh penduduk Maroko.

Meski berdarah ningrat, ia tak pernah mengagungkan diri, termasuk dalam pergaulannya dengan para petinggi atau sahabatnya, ia tetap membawa dirinya sebagai Ahmad bin Idris. Dididik keras oleh kakaknya, Sayyid Muhammad, ia belajar Al-Quran dan menjadi hafalan yang sudah dirutinkannya sejak kecil.

Pada usia delapan tahun, setelah kakaknya meninggal, ia mulai berguru ke salah satu ulama besar bernama Syekh Muhammad ibn ath-Thalib at-Tawudi yang bergelar “Bulan Purnama al-Maghrib” karena keluasan ilmunya. Dasar-dasar agama, seperti fikih, ilmu tauhid, ilmu hadis, dan al-Quran, dipelajari Ahmad bin Idris remaja.

Ia lalu berangkat ke Al-Azhar di Kairo dan berguru kepada ulama besar India, Muhammad Murtadha az-Zabidi yang mengajarkannya kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik. Ia juga berangkat ke Madinah dan menjadi murid Abdul Karim Samman, pendiri Tarekat Sammaniyyah.

Guru lain yang memengaruhinya ialah Syekh Abdul Wahab at-Tazi yang mengasahnya ilmu-ilmu tasawuf. Ia merupakan murid dari Syekh Abdul Aziz ad-Dabbagh.

Dalam jurnal Hikamia Volume 3, No.2 edisi September 2023berjudul Gerakan Sosial Tarekat Idrisiyyah; Melacak Akar Moderasi dalam Konsep Tasawuf Sanusiyyah, A. Arsyul Munir menulis bahwa aliran Sanusiyyah memiliki akar Tarekat Qadiriyyah.

“Dari sudut pandang genealogis, asal-usul gerakan sufisme Sanusiyyah mengakar pada aliran Qadiriyyah yang diinisiasi pengasasnya, ‘Abd. Aziz Ad Dabbagh yang terlahir di Maroko (1090 M) (Shallabi, 1999) berasal dari keluarga keturunan nabi dari jalur Hasan ra, (syarief),” tutur Munir.

Keilmuan Ahmad bin Idris makin terbuka, khususnya dalam ilmu keruhanian, terutama saat dirinya menerima ijazah Tarekat Syadziliyyah dari Syekh Abu al-Qasim al-Wazir, seorang wali yang bermukim di kota Fez.

Meskipun sudah dikenal sebagai orang yang alim, Ahmad bin Idris tetap haus berguru. Pada 1799, ia berkeliling ke berbagai wilayah, mulai dari kota Algies, Tunis, Tripoli, hingga Benghazi untuk mencari guru dan sesekali mengajar di berbagai masjid yang ia singgahi.

Setahun kemudian ia berangkat ke Kairo dan mulai memberikan kuliah umum di Universitas Al-Azhar. Di sinilah ia makin dikenal dan memiliki beberapa pengikut sampai akhirnya tiba di negeri Hijaz, Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, pada penghujung tahun 1800.

Luqman Al-Hakim dalam buku 11 Tokoh Idrisiyyah: Menapak Jalan Ilmu Hikmah dan Kebijaksanaan (2021:60), menyebutkan bahwa Ahmad bin Idris tinggal selama 30 tahun di Hijaz dan selama itu terkadang berpindah tempat tinggal. Kadang di Makkah, kadang di Madinah, atau di Tha’if, bahkan sesekali kembali ke Mesir.

Selama di Makkah, ia mendapat hadiah tempat tinggal di istana Al-Ja’fariyah dari penguasa Hijaz saat itu, Syarif Ghalib ibn Musa’id. Menurut Luqman, pada mulanya ia mengajar di sebuah madrasah di dekat Bab al-Basithiyyah, sebuah pintu di Masjidil Haram.

“Kemudian ia mengajar di Jabal Abu Qubais untuk beberapa waktu sebelum mengajar di satu tempat bernama Al-Ma’abdah, di utara Makkah,” sambung Luqman.

Ia melalui berbagai hambatan dalam dakwahnya terutama dengan ulama-ulama lokal yang terlalu fanatik dalam bermazhab karena keyakinannya yang bergantung kepada Al-Quran dan Sunnah. Lainnya, ia juga menentang pengultusan tokoh yang berkedok tasawuf.

Ahmad bin Idris lantas meninggalkan Makkah dan mengembara hingga akhir hayatnya mengungsi di kota kecil, Shabya, pada 1837. Beberapa pengikutnya di Makkah kemudian mendirikan Tarekat Idrisiyyah yang mencapai kepopulerannya di wilayah Afrika, seperti Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman.

Sementara di Indonesia, tidak seperti tarekat lain yang cukup populer, misalnya Qadiriyyah, Naqsabandiyyah, Syadiziliyyah, Samaniyyah, atau Tijaniyyah, Idrisiyyah sangat jarang disebutkan dalam berbagai literatur sebagai tarekat yang cukup berkembang.

Pencarian Seorang Santri

Sepeninggal Ahmad bin Idris, salah satu muridnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ali as-Sanusi melanjutkan metode dakwah di Jabal Abu Qubais hingga tarekat ini terkenal dengan sebutan Sanusiyyah.

Ia lahir pada 1787 di Mustaghnam, Aljazair, dan menyematkan nama Muhammad dari orang tuanya karena hari lahir pada hari yang sama dengan Nabi, yakni hari Senin. Ia mengambil berbagai disiplin ilmu dari Ahmad bin Idris pada 1825.

Anak pertamanya, Sayyid Muhammad al-Mahdi lantas memimpin tarekat tersebut mulai tahun 1859 hingga 1902. Taraket ini kian meluas hingga ke Sudan Tengah, Senegal, dan beberapa kawasan Asia, termasuk Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Tongkat mursyid selanjutnya beralih pada Ahmad Syarif as-Sanusi, keponakan dari Sayyid Muhammad al-Mahdi yang wafat pada 1902. Warisan yang dipikulnya cukup berat karena terbebani perjuangan melawan Italia dan Prancis yang saat itu sedang menggelar operasi militer besar-besaran di wilayah Afrika.

Di belahan bumi lainnya, pada tahun 1928, seorang santri dari Kampung Cidahu, Tasikmalaya, bernama Abdul Fattah melanjutkan perjalanan ke Makkah dari Singapura setelah empat tahun tertahan karena kapal yang ia tumpangi mengalami kerusakan.

Sebelumnya ia menanyakan makna waliyan mursyida dalam surat Al-Kahfi ayat ke-17, “Barang siapa diberi petunjuk Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang sesat maka tak akan mendapatkan Wali Mursyid (seorang pemimpin pun yang memberi petunjuk kepadanya).”

Gurunya saat itu, KH. Suja’i, yang bertarekat Tijaniyyah mengaku bukan seorang wali muryid, sehingga menyarankan Abdul Fattah untuk mencarinya. Setelah mencari ke berbagai daerah di Jawa dan Sumatra, ia memutuskan untuk mencarinya ke Makkah.

Selama bertahan di Singapura, ia bertemu dengan beberapa ahli tasawuf yang menginformasikan keberadaan Tarekat Sanusiyyah di Tanah Suci. Berbagai perjumpaan itu memantapkan Abdul Fattah dalam pencarian gurunya di kota Makkah.

Di Jabbal Abu Qubias, Abdul Fattah belajar langsung dan berbaiat kepada Ahmad Syarif as-Sanusi selama empat tahun. Di sana ia diberi kepercayaan untuk mengajar saat as-Sanusi sedang berhalangan.

Sekembalinya ke Indonesia, tarekat ini dikenalkan Abdul Fattah menjadi Idrisiyyah mengingat gerakan Sanusiyyah di Afrika yang ditengarai saat itu ditakuti bangsa Eropa, termasuk Belanda yang tengah berkuasa di Nusantara.

“Syaikh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda. Sekurang-kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuasaan Prancis di AIjazair,” tutur Snouck Hurgronje seperti dikutip Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia (1980:29).

Infografik Mozaik Tarekat Idrisiyyah

Infografik Mozaik Tarekat Idrisiyyah. tirto.id/Fuad

Golongan Putih

Awal mula dakwah Abdul Fattah berpusat di Jakarta, mulai dari Kebon Jeruk hingga Kebon Kelapa yang di kemudian hari diwariskan kepada anaknya, Muhammad Dahlan. Saat itu Abdul Fattah juga aktif dalam gerakan Hizbullah.

Sikap anti penjajahan dan perlawanan Tarekat Idrisiyyah kemudian berlanjut di zaman Jepang yang membuat Abdul Fattah mendekam di penjara selama beberapa hari.

Lain itu, Tarekat Idrisiyyah lahir sebagai sintesis dari berbagai ajaran tarekat sebelumnya, terutama Sanusiyyah, Qadiriyyah, dan Syadziliyyah. Dalam perkembangannya, rantai silsilah keguruan tarekat ini bersambung kepada Rasulullah SAW melalui jalur para Mursyid, di antaranya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Abu Hasan as-Syadzili, Syekh Ahmad bin Idris al-Fasi, Syekh Muhammad bin Ali as-Sanusi hingga kepada Syekh Akbar Muhammad Fathurahman yang menjadi Mursyid saat ini.

Pemimpin spiritual Tarekat Idrisiyah dikenal dengan nama Syekh al-Akbar, termasuk gelar Muhyiddin yang diberikan melalui sarana spiritual menandakan revitalisasi ajaran Nabi Muhammad di masa keterasingan dari Sunnahnya.

Penganut Tarekat Idrisiyah menganut amalan tertentu, antara lain bacaan Alquran dan dzikir khusus, yang bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai kedamaian dan keselamatan dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya amalan zikir rutin setelah Maghrib hingga isya dan setelah Subuh hingga isyraq, dengan bacaan nyaring diiringi shalawat. Inti amalan zikir dituangkan dalam Hadiqatur Riyahin yang meliputi bacaan harian Al-Qur'an, Istighfâr Shagîr, Zikir Makhshûsh, Shalawat Ummiyyah, Yâ Hayyu Yâ Qayyûm, Zikir Mulkiyyah, dan lainnya.

Setelah kembali ke Cidahu, Abdul Fattah lalu memindahkan pusat dakwahnya ke Kampung Pagendingan, Cisayong, Tasikmalaya, pada 1947 dan mendirikan Pesantren Fathiyyah yang kini dikenal dengan Pesantren Idrisiyyah.

“Tapi tak kalah penting dari itu, di pesantren ini para santri maupun guru selalu berpakaian serba putih. Mulai dari peci dan jubah bagi santri dan guru pria,” tulis Hasan Syukur dalam liputannya "Upacara Subuh Golongan Putih" di Majalah Tempo edisi 6 Agustus 1983.

Hasan menambahkan bahwa yang membedakan santri dan guru hanya selendangnya saja.

“Hijau untuk para santri, merah bagi dewan guru.”

Begitu pula santri perempuan, mereka berkain serba putih, mengenakan mukena, atau bercadar. Maka tak heran, pesantren atau tarekat ini seringkali dilabeli sebagai “golongan putih” oleh masyarakat Tasikmalaya.

Selang beberapa bulan usai mendirikan pesantren, tepatnya pada 14 Juni 1947, Abdul Fattah wafat dan pimpinan tarekat berikutnya berganti ke Muhammad Dahlan hingga tahun 2001, dilanjutkan Muhammad Daud Dahlan dan kini dipimpin Muhammad Fathurahman sejak 2010.

Tarekat Idrisiyyah telah memiliki izin legalitas dari pemerintah dan diakui oleh Jami’iyah Ahlu At-Thariqat Mu’tabarah Nahdliyyah (JATMAN), organisasi persatuan yang mewadahi berbagai tarekat di Indonesia.

Baca juga artikel terkait TASAWUF atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi