tirto.id - Akhir-akhir ini, kasus pejabat dan keluarganya yang memamerkan harta di media sosial ramai jadi pergunjingan publik. Tasawuf sebetulnya dapat dijadikan solusi untuk menghindari perilaku-perilaku seperti ini.
Tasawuf yang menerapkan konsep zuhud dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya, konsep ini menekankan pada upaya menahan diri dan membatasi sifat-sifat berlebihan yang tidak perlu.
Lebih lanjut, tasawuf dapat diterapkan dalam berbagai aspek, seperti hubungan antarindividu, lingkungan sosial, dan hubungan dengan Allah SWT. Hal itu dimanifestasikan denganberperilaku baik (akhlakul karimah), seperti jujur, sabar, ikhlas, dan rendah hati.
Dampaknya akan tercipta hubungan yang baik dengan sesama manusia dan lingkungan sosial di sekitar kita.
Contoh lain penerapan tasawuf dalam keseharian adalah mencari ilmu pengetahuan, baik yang berkaitan dengan agama maupun pengetahuan umum. Dengan memiliki ilmu, kita akan dapat memahami dunia dengan lebih baik serta mampu menghadapi berbagai persoalan dan tantangan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Implementasi ajaran tasawuf dapat bervariasi, bahkan mungkin juga sulit dilakukan. Semuanya kembali tergantung pada individu dan lingkungan di sekitarnya.
Solusi Masalah Sosial-Politik
Tasawuf tidak hanya fokus pada aspek spiritual, tapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti kasih sayang, keadilan, dan kedamaian. Karenanya, tasawuf memiliki pengaruh pada aspek sosial dan politik.
Dalam sejarah Islam, banyak tokoh tasawuf yang juga terlibat dalam aktivitas sosial-politik. Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan rohani umat, tapi juga memperjuangkan keadilan dan kebaikan sosial.
Misalnya, Imam Al-Ghazali yang selain merupakan ulama tasawuf ternama, juga terlibat dalam reformasi pendidikan dan advokasi keadilan sosial di zamannya.
Lalu, terdapat pula organisasi-organisasi tasawuf seperti Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Qadiriyah yang aktif dalam membantu masyarakat miskin dalam memperjuangkan hak-haknya. Mereka menawarkan bantuan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, pelatihan keterampilan, dan perawatan kesehatan.
Dalam konteks politik, tasawuf juga memiliki potensi untuk memperkuat hubungan antarumat beragama dan menjaga keamanan serta persatuan dalam masyarakat. Hal ini tercermin dalam konsep ukhuah islamiahyang menekankan pentingnya solidaritas antar sesama muslim tanpa memandang perbedaan latar belakang atau golongan.
Tasawuf memiliki beberapa konsep dan praktik yang dapat menjadi solusi untuk masalah sosial dan politik. Tasawuf memandang bahwa semua makhluk hidup di dunia ini saling terkait dan bersatu dalam keberadaannya di muka bumi.
Ada pula konsep tawakal yang mampu dapat membantu mengatasi rasa takut dan kecemasan yang sering muncul dalam situasi sosial-politik yang tidak menentu atau ketika ada konflik.
Menurut Imam al-Qusyairi, tawakal adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi hati dan mengikhlaskan segala sesuatu yang bermanfaat bagi hati kepada Allah SWT. Tawakal juga merupakan buah dari sabar, faqr, zuhud, warak, dan taubat.
Dengan tawakal, seseorang akan merasa tenang dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan jalan keluar yang terbaik.
Kemudian, ada konsepmuraqabah yang dipraktikkan dengan laku refleksi diri untuk memperbaiki hubungan antara diri sendiri dan Tuhan. Praktik ini dapat membantu seseorang untuk lebih sadar akan tindakan dan perilaku mereka, serta memperbaiki kesalahan atau kekurangan diri sendiri. Dalam hal ini, muraqabah bisa menjadi solusi untuk masalah sosial dan politik yang disebabkan oleh perilaku buruk.
Setelah mendalami refleksi dan renungan-renungan, akan muncul hikmah. Dalam tasawuf, konsep hikmah dapat membantu manusia mengatasi konflik dan permasalahan yang dihadapi dengan cara yang lebih arif dan bijaksana.
Maka tasawuf melalui konsep-konsep tersebut mengajarkan nilai-nilai yang mencakup spiritualitas, moralitas, dan praktik-praktik yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Adi Candra Wiranata dalam Tasawuf Sosial (2020) mengatakan bahwa tasawuf dan kehidupan manusia di dunia tidak bisa dipisahkan begitu saja. Alih-alih, pemisahan dua hal itujustru dapat menyebabkan terkikisnya moral.
Oleh karena itu, tasawuf dapat menjadi solusi untuk masalah sosial dan politik yang timbul akibat perbedaan pandangan, ketidakadilan, dan konflik dengan membawa nilai-nilainya ke dalam tindakan dan perilaku manusia.
Tasawuf dalam Seni, Sastra, dan Musik
Selain dalam ranah sosial-politik, tasawuf memiliki pula pengaruh yang menonjol dalam perkembangan seni, sastra, dan musik di dunia Islam. Pengaruh ini terlihat dalam beberapa sudut pandang, seperti tema, gaya, dan teknik yang digunakan dalam karya seni, sastra, dan musik.
Tasawuf memberikan pengaruh pada seni Islam melalui tema-tema yang diangkat dalam karya seni, seperti cinta dan kasih sayang, keindahan alam, keajaiban penciptaan, dan kebesaran Tuhan. Bentuk seni yang digunakan untuk mengekspresikan tema-tema ini antara lain seni lukis, seni ukir, seni tari, dan seni kaca patri.
Seni kaligrafi juga memiliki peran penting dalam tradisi Sufi. Kaligrafi Islam adalah bentuk seni yang memadukan seni, agama, dan filosofi. Para sufi memakai kaligrafi untuk mengekspresikan kecintaan mereka, juga sebagai sarana memfokuskan perhatian pada keindahan dan keagungan Allah SWT.
Tasawuf memiliki pengaruh yang signifikan dalam sastra Islam, terutama puisi. Banyak puisi dari penyair-penyair tasawuf yang mengekspresikan cinta dan keagungan Tuhan. Banyak dari karya-karya ini yang kemudian diakui sebagai karya sastra terbaik dalam tradisi Islam.
Beberapa penyair terkenal yang juga pelaku tasawuf antara lain Jalaluddin Rumi, Hafiz Syirazi, dan Ibnu al-Farid.
Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi asal Persia yang hidup di abad ke-13. Dia dianggap sebagai salah satu penyair dan sufi paling terkenal di dunia. Karya-karya Rumi sering kali menyentuh tema-tema cinta, kehidupan, kematian, dan spiritualitas.
Beberapa karya terkenal Rumi antara lain Masnavi-ye Manavi (Kisah-Kisah dari Serambi Batin), Divan Shams Tabrizi (Kumpulan Puisi Shams Tabrizi), Diwan-i-Kabir (Kumpulan Puisi Rumi), dan Fihi Ma Fihi (Apa yang Ada di Dalamnya).
Karya-karya Rumi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan masih terus dibaca banyak orang di seluruh dunia hingga saat ini. Pepatah-pepatah bijaknya juga masih banyak diambil sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Rumi juga menciptakan tarian sufi, sebuah tarian yang dilakukan dengan gerakan berputar-putar tanpa henti, yang bertujuan untuk mencapai keadaan sema (mendengar) dan menyatu dengan Tuhan.
Tarian sufi ini diciptakan saat dia merasa sedih atas meninggalnya guru spiritualnya, Syamsuddin Tabriz. Rumi kemudian menari berputar melawan arah jarum jam selama tiga hari tiga malam sebagai bentuk ekspresi kesedihan dan kecintaannya kepada Allah. Dalam tarian ini, dia merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang tak terkira.
Tarian sufi kemudian berkembang menjadi salah satu tradisi sufi yang populer di Turki dan beberapa belahan dunia. Tarian ini biasanya dilakukan oleh para darwis (pengikut sufi) dengan mengenakan pakaian khusus dan diiringi oleh musik religius.
Tarian ini memiliki makna simbolis yang mendalam, seperti putaran yang melambangkan perputaran alam semesta, lengan kanan yang menghadap ke atas untuk menerima anugerah dari Tuhan, dan lengan kiri yang menghadap ke bawah untuk menyebarkan anugerah itu kepada manusia.
Tasawuf juga memberikan pengaruh yang besar pada musik Islam. Musik tasawuf atau musik sufi sering kali digunakan dalam latihan spiritual dan meditasi dalam tasawuf. Musik ini meliputi berbagai jenis instrumen, seperti gambus, oud (instrumen mirip kecapi), ney (seruling khas Timur Tengah), dan tabla (instrumen perkusi), dan sering disertai dengan nyanyian yang mengandung pesan-pesan spiritual.
Selain kesenian, sastra, dan musik, para pelaku tasawuf juga memiliki seni humor. Puncak perkembangan seni humor sufi ini terjadi pada abad ke-12 hingga ke-14, saat muncul nama Nasruddin Khodja dan Abu Nawas.
Nasruddin Khodja adalah seorang cendekiawan muslim yang hidup pada abad ke-13 di Anatolia, Turki. Dia dikenal karena leluconnya yang menarik perhatian orang di seluruh dunia. Selain mengundang tawa, leluconnya juga mempunyai makna filosofis dan sering kali berisi satir kepada pemerintah pada masa itu. Karya-karyanya terdapat sebuah buku cerita berbahasa Turki berjudul Leta'if yang ditulis pada 1531 M.
Abu Nawas memiliki nama lengkap Al-Hasan bin Bani al-Hakami. Dia dikenal sebagai pujangga yang hidup di masa Bani Abbasiyah di bawah pemerintahan Harun Al-Rasyid. Di masa muda, dia dikenal sebagai pemabuk dan kerap dianggap cabul dalam menuliskan puisi dan humor-humornya.
Namun, Abu Nawas bertobat di usia senjanya dan memiliki pengetahuan luas tentang agama. Dia kemudian menelurkan karya besar Al-I’tiraf yang sebagian isinya tentang penyesalan diri akan masa lalu. Syair ini sering juga dianggap syair rayuannya untuk membujuk Tuhan.
Pemikiran Abdul Qadir al-Jilani dan Ibnu Arabi
Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Ibnu Arabi adalah dua tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan tasawuf dan kehidupan spiritual di dunia Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang signifikan dalam pemikiran Islam.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani (1077-1166 M) adalah seorang ulama, sufi, dan pendiri salah satu tarekat sufi terbesar di dunia, Tarekat Qadiriyah. Dia lahir di wilayah Persia dan belajar di Baghdad di bawah bimbingan para ulama terkemuka pada masanya.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani sangat dihormati oleh umat Islam karena keluasan ilmu, kebijaksanaan, dan keteladanan spiritualnya. Sebagai guru spiritual, dia sangan terkenal dan memiliki banyak pengikut setia. Ajarannya berpusat pada pengembangan kesadaran spiritual dan hubungan manusia dengan Allah SWT.
Salah satu karya terkenal dari Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah kitab Futuhul Ghaib (Pembukaan Rahasia) yang membahas berbagai topik, seperti tafsir Quran, hadis, dan etika Islam. Kitab ini masih menjadi sumber referensi penting bagi para sufi dan ulama hingga saat ini.
Pengikut Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani tersebar di seluruh dunia Islam, dari Timur Tengah hingga Asia Selatan dan Tenggara. Tarekat ini dianggap sebagai salah satu tarekat sufi tertua dan terbesar di dunia.
Di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan beberapa wilayah berpenduduk muslim, nama Syekh Abdul Qadir al-Jilani seringkali disebut dalam prosesi acara syukuran, haul kematian, dan peringatan acara keislaman lainnya.
Sementara itu, Ibnu Arabi ialah seorang sufi Andalusia yang hidup pada abad ke-12. Dia dianggap sebagai salah satu pemikir sufi terbesar dalam sejarah dan dikenal dengan konsep wahdah al-wujud, yaitu gagasan tentang kesatuan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Ibnu Arabi memiliki pengaruh besar pada pemikiran filsafat dan teologi Islam, serta seni dan sastra Islam.
Ibnu Arabi memiliki karya-karya yang sangat berpengaruh di bidang tasawuf, di antaranya Al-Futuhat al-Makkiyah, karya monumental yang berisi tentang pengalaman spiritual Ibnu Arabi selama tinggal di Mekah. Karya ini menjadi salah satu karya terpenting dalam tasawuf filosofis.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Ibnu Arabi, keduanya menunjukkan bahwa tasawuf tidak hanya berkaitan dengan kehidupan spiritual, tapi juga mempengaruhi pemikiran Islam secara luas.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadrik Aziz Firdausi