tirto.id - Imam Al-Ghazali adalah ulama dan pemikir besar dalam Islam. Selain menjadi akademisi, Al-Ghazali kesohor sebagai ahli tasawuf. Karyanya yang bertajuk Ihya Ulumuddin merupakan warisan intelektual abadi yang terus dipelajari hingga sekarang.
Di masa mudanya, Al-Ghazali amat haus pada ilmu pengetahuan. Ia dikenal sebagai sosok polimatik, pandai di berbagai disiplin pengetahuan, mulai dari Tafsir Al-Quran, Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, dan lain sebagainya.
Pemahamannya yang kuat menjadikan Al-Ghazali sebagai sosok intelektual terkenal di Iran kala itu. Atas prestasinya di bidang akademik, pada usia 34 tahun, Al-Ghazali diangkat menjadi rektor Universitas Nizhamiyah.
Nama asli Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi. Ia lahir di Thus, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil, Al-Ghazali sudah menjadi yatim karena ditinggal wafat ayahnya.
Perjalanan hidupnya yang keras menjadikannya pembelajar tekun untuk menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman di masa itu. Awalnya, ia menuntut ilmu di negerinya sendiri, Iran. Al-Ghazali muda belajar fikih Imam Syafi'i, serta dasar-dasar logika.
Setelah dirasa cukup, ia pun merantau ke Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah, Al-Ghazali menyerap secara mendalam ilmu logika, filsafat, tafsir, hadis, dan lain sebagainya.
Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali kemudian mengunjungi menteri Nizamul Mulk dari pemerintahan Dinasti Seljuk. Karena kapasitas ilmunya yang luar biasa, Nizamul Mulk menghormati Al-Ghazali sebagai ulama besar.
Pada saat bersamaan, ulama di masa itu juga mengakui ketinggian dan keahlian Al-Ghazali. Nizamul Mulk kemudian mengutus Al-Ghazali untuk mengajar di Universitas Nizhamiyah pada 484 H/1091 M.
Dalam masa pengabdiannya di dunia akademik, Al-Ghazali banyak menulis karya-karya ilmiah, termasuk buku filsafat menumental bertajuk Tahafut Al-Falasifah yang menerangkan kekeliruan filosof-filosof muslim di masa itu.
Namun, di tengah produktivitas akademik, Al-Ghazali malah mengalami krisis rohani. Padahal, ia sangat terkenal di masa itu dan sudah menjabat sebagai rektor Universitas Nizhamiyah, salah satu universitas tertua di dunia yang terletak di Iran.
Merespons kekeringan jiwanya itu, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad ke Syam secara diam-diam. Pekerjaan mengajarnya ia tinggalkan dan ia pun memulai hidup sederhana, zuhud, dan warak.
Di masa menyepinya itu, Al-Ghazali mendalami tasawuf dan menyimpulkan bahwa kebenaran yang hakiki dapat ditempuh melalui jalan sufistik. Inti dari ajaran tasawuf yang dilakoni oleh Al-Ghazali adalah tasawuf akhlaki untuk perbaikan akhlak.
Laman NU Online menuliskan bahwa konsep dari tasawuf akhlaki Al-Ghazali adalah hablum minallah (hubungan baik dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan baik dengan manusia). Jika sudah menempuh dua jalan tersebut, menurut Al-Ghazali, seorang muslim sudah menjadi sufi, tanpa harus mengenakan atribut kesufian, seperti jubah, bertongkat, janggut lebat, dan lain sebagainya.
Berikut ini sejumlah inti dari ajaran tasawuf menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip dari Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf yang ditulis oleh Ahmad Zaini.
1. Jalan (At-Thariq)
Jalan tasawuf yang dapat ditempuh seorang muslim terbagi menjadi lima jenjang (maqamat), yaitu tobat, sabar, kefakiran, zuhud, dan tawakal.
Kelima jenjang itu harus harus dilakoni dengan hidup menyendiri atau setidaknya diam sejenak, mengintrospeksi diri untuk membina kalbu agar tidak tergoda pada kenikmatan duniawi.
2. Makrifat
Makrifat adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam hal ini, pengetahuan yang dimaksud adalah zat Allah SWT dan sifat-sifatnya. Mencapai makrifat adalah esensi dari taqarrub atau pendekatan diri seorang hamba pada Tuhannya.
Sarana untuk mencapai makrifat, menurut Al-Ghazali adalah kalbu yang suci, bukan dari perasaan atau akal budi. Kalbu dalam tasawuf adalah percikan rohaniah ilahiah yang merupakan inti dari hakikat manusia.
Kalbu yang suci ini akan menuntun pada hati nurani yang bersih. Namun, makrifat ini tidak boleh hanya bersandar pada intuisi semata, melainkan juga harus sejalan dengan syariat (Al-Quran dan hadis), serta bertujuan untuk menyempurnakan moral dan akhlak manusia.
3. Tingkatan Manusia
Dalam tasawuf Al-Ghazali, terdapat tiga tingkatan manusia, yaitu orang awam yang cara berpikirnya sederhana sekali, kaum pilihan yang berpikir tajam dan mendalam atau golongan khawas, dan kaum ahli debat yang dapat mempersuasi orang dan mematahkan argumen (al-mujadalah).
Dari tiga tingkatan tersebut, yang paling umum adalah golongan pertama dan kedua, yaitu orang awam dan orang khawas. Orang awam sering kali hanya dapat membaca tanda-tanda dan pengetahuan yang tersirat. Sementara itu, orang khawas dapat membaca yang implisit dan melihat gagasan di balik suatu peristiwa.
4. Kebahagiaan
Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir dari jalan sufi, sebagai buah perkenalannya dengan Allah SWT.
Dalam konsep tasawuf, kebahagiaan itu dapat hadir melalui ilmu dan amal. Ketika seorang manusia paham dan mengerti suatu konsep, serta mempraktikkannya, maka ia akan menemukan kebahagiaan.
Contohnya, permainan catur akan sangat memusingkan bagi orang yang tidak paham tata aturan permainannya. Sebaliknya, pecatur yang paham teori dan konsepnya akan menikmati permainan tersebut. Kebahagiaan permainan catur hanya dapat diraih melalui pengetahuan dan praktik bermain catur tersebut.
Bagi Al-Ghazali, kehidupan manusia ini pun tak berbeda dari konsep catur di atas. Jika seseorang memiliki pengetahuan dunia dan akhirat, maka ia akan sampai pada kebahagiaan yang hakiki.
Selain itu, bukankah kehidupan dunia ini juga permainan belaka, sebagaimana tergambar dalam surah Muhammad ayat 36:
"Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu," (QS. Muhammad [47]: 36).
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani