tirto.id - Setiap muslim dituntut untuk meneladani sifat mulia pada ulama. Ilmu dan sikap utama mereka adalah rujukan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabi'in, dan generasi salaf.
Meneladani sifat para ulama adalah cara untuk menerapkan akhlak mulia dalam Islam. Penyempurnaan akhlak ini adalah salah satu misi penting ajaran Islam yang universal.
Hal ini tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia," (H.R. Baihaqi). Di hadis lain, beliau SAW bersabda: “Ikutilah para ulama karena sesungguhnya mereka adalah pelita-pelita dunia dan lampu-lampu akhirat,” (H.R. Dailami).
Salah satu ulama Islam kesohor yang tidak asing lagi di dunia pemikiran Islam adalah Al-Ghazali. Karya-karyanya sangat tajam meluruskan kekeliruan filsafat dan akidah pada zamannya.
Selain menjadi cendekiawan hebat, Al-Ghazali juga memiliki sikap warak dan tawaduk. Di akhir hidupnya, Al-Ghazali meninggalkan popularitas sebagai guru besar terkenal dan memilih menyepi untuk hidup zuhud dan sederhana.
Di masa khalwatnya itulah, Al-Ghazali melahirkan karya hebat di bidang tasawuf yang hingga sekarang terus dipelajari di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Berikut ini sejumlah sifat utama Al-Ghazali yang dapat menjadi teladan umat Islam, sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhlak (2016) yang ditulis Muhammad Reza Azizi dan Pro-Kontra Pemikiran Al-Ghazali (1997) yang ditulis Yusuf Al-Qaradawi.
1. Haus pada ilmu pengetahuan
Al-Ghazali merupakan sosok yang giat menuntut ilmu. Saking hausnya pada pengetahuan, ia merupakan sosok polimatik, pandai di banyak disiplin pengetahuan, mulai dari Al-Quran, Hadis, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Filsafat, dan sebagainya.
Kualitas keilmuannya tidak diragukan lagi sehingga Al-Ghazali terpilih menjadi guru besar dan rektor Universitas Nizhamiyah, salah satu universitas tertua di dunia yang terletak di Iran.
2. Berlaku objektif
Dalam karangan filsafatnya, Al-Ghazali menyerukan umat Islam untuk bersikap objektif dan tidak mengukur pendapat orang lain berdasarkan popularitas yang menyampaikannya.
Contohnya, ketika seseorang membaca buku atau mendengar ceramah dari seorang ustadz atau guru tertentu, ia harus menakar pendapat tersebut. Jangan sampai karena yang menyampaikan ceramah atau menulis buku itu adalah idolanya, maka ia langsung percaya begitu saja.
Akan tetapi, Al-Ghazali mengajarkan untuk bersikap objektif, setidaknya mempelajari kaidah-kaidah logika sederhana agar tidak jatuh dalam jebakan subjektivitas pribadi.
Karena itulah, salah satu karangan Al-Ghazali yang yang mengajarkan sikap objektif ini adalah Mi'yarul Ilmi Fi Al-Mantiq (1990). Karangan ini berisi kaidah logika yang harus dikuasai oleh pembelajar muslim.
3. Menghindari taklid dan tidak lantas percaya mentah-mentah
Al-Ghazali sangat menentang sikap taklid atau percaya mentah-mentah tanpa memverifikasi pernyataan orang lain. Agar tidak langsung percaya, seseorang harus ragu terlebih dahulu. Jika seseorang merasa ragu, tandanya ia sudah berpikir. Karena itulah, ia harus meyakinkan dirinya dengan metode verifikasi agar keraguannya hilang.
Dalam kajian filsafat, metode untuk menanamkan keraguan ini dikenal dengan sebutan skeptisisme. Metode ini dilanjutkan oleh Rene Descartes, yang ia dapatkan dari pembacaan karya-karya Al-Ghazali. Salah satu ungkapan Descartes yang terkenal adalah Cogito, ergo sum yang artinya Aku berpikir maka aku ada. Ungkapan ini diilhami dari karya-karya filsafat Al-Ghazali.
Sejarah Singkat Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi. Ia lahir di Thus, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil, Al-Ghazali sudah menjadi yatim karena ditinggal wafat ayahnya. Perjalanan hidupnya yang keras menjadikannya pembelajar tekun untuk menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman di masa itu.
Perjalanan menuntut ilmu Al-Ghazali dimulai dari negerinya sendiri, Iran pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Ia kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Ali Nasar Al-Islami. Di Iran ia belajar fikih dan dasar-dasar logika.
Setelah dirasa cukup, ia pun merantau ke Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah, Al-Ghazali menyerap secara mendalam ilmu logika, filsafat, dan fikih Mazhab Syafi'i.
Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali kemudian mengunjungi menteri Nizamul Mulk dari pemerintahan Dinasti Seljuk.
Karena kapasitas ilmunya yang luar biasa, Nizamul Mulk menghormati Al-Ghazali selayaknya ulama besar. Para ulama di masa itu juga mengakui ketinggian dan keahlian Al-Ghazali.
Nizamul Mulk kemudian mengutus Al-Ghazali untuk mengajar di Universitas Nizhamiyah pada 484 H/1091 M. Pemahamannya yang kuat menjadikan Al-Ghazali sebagai sosok terkenal di Iran kala itu.
Atas prestasinya, pada usia 34 tahun, Al-Ghazali diangkat menjadi rektor Universitas Nizhamiyah. Selama masa pengabdiannya di dunia akademik, ia banyak menulis kitab yang mumpuni dan terus dipelajari hingga sekarang.
Setelah empat tahun menjadi rektor di Universitas Nizhamiyah, Al-Ghazali mengalami krisis rohani. Merespons kekeringan jiwanya itu, ia meninggalkan Baghdad ke Syam secara diam-diam. Pekerjaan mengajarnya ia tinggalkan dan ia pun memulai hidup sederhana.
Pada 488 H/1095 M, Al-Ghazali kemudian mengisolasi diri di Makkah, kemudian berpindah ke Damaskus untuk menjalani kehidupan sufi.
Di tengah masa khalwat di sudut menara Masjid Al-Umawi, Al-Ghazali hanya mengenakan baju jelek, mengurangi makan, minum, dan pergaulan, tetapi di sanalah, ia mulai menyusun kitab terkenal Ihya' Ulumuddin yang menjadi salah satu rujukan keilmuan tasawuf yang tak ternilai harganya.
Setelah berpuluh-puluh tahun mengabdi pada ilmu pengetahuan, Al-Ghazali menghembuskan napas terakhirnya di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M di usia 55 tahun. Hingga sekarang, karya-karya Al-Ghazali terus dipelajari dan abadi sebagai warisan intelektual bagi pengetahuan.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani