Menuju konten utama
Mozaik

Basuluak, Menjauh dari Keduniawian dan Larut dalam Zikir

Lahir dari budaya tasawuf, basuluak menekankan pada pengasingan dari dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Basuluak, Menjauh dari Keduniawian dan Larut dalam Zikir
Ilustrasi membaca Al Quran. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Di bulan Ramadhan, salah satu tradisi spiritual yang masih bertahan hingga kini adalah basuluak, ritual pengasingan diri khas masyarakat Minangkabau, terutama di kalangan pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.

Basuluak adalah riyadhah (latihan spiritual) yang bertujuan untuk menguatkan iman, membersihkan jiwa dari nafsu duniawi, dan mencapai ketenangan batin.

Dalam budaya Minangkabau, basuluak tidak hanya praktik religius, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai luhur yang menekankan pentingnya introspeksi dan pengendalian diri. Ritual ini adalah sarana untuk mencapai maqam ihsan, yaitu keadaan di mana seseorang merasa senantiasa diawasi oleh Allah dalam setiap gerak-geriknya.

Lahir dari Budaya Tasawuf

Basuluak diartikan sebagai salah satu jalan tarekat. Orang yang mempraktikannya disebut salik. Tradisi basuluak, meski nyaris sama dengan praktik i’tikaf, berakar dari ajaran yang berkembang luas di Minangkabau sejak abad ke-17 melalui perantara tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Bahauddin Naqsyabandi pada abad ke-14 di Asia Tengah.

Nama lengkapnya adalah Bahauddin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari al-Naqsyabandi. Ia lahir di desa Qasr al-Arifin, dekat Bukhara, yang sekarang terletak di Uzbekistan. Tarekat ini menekankan pada berkhalawat (menyepi), zikir, dan menjaga hati dari gangguan duniawi.

Tarekat Naqsyabandiyah menyebar luas di Asia Tengah, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Di Sumatra seperti Aceh, Riau, dan Minangkabau, tarekat ini diperkenalkan oleh para ulama yang belajar di Haramain (Makkah dan Madinah).

Di antaranya Syekh Abdul Rauf al-Singkili (1615–1693) dan Abuya Syekh Muhammad Waly al-Khalidi (1917-1961), lalu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (wafat 1916) dan Syeikh Abdul Wahab Rokan (1811-1926) yang memiliki pengaruh besar di Riau dan Minangkabau.

Tarekat Naqsyabandiyah melahirkan dua cabang sesuai dengan kebutuhan dan latar belakang masyarakat setempat, yaitu Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah bersumber dari Syekh Ismail al-Khalidi (1712-1840) yang mengajarkan tarekat ini di Minangkabau, dan Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah dari Sayyid Muhammad Saleh al-Zawawi al-Makki (1855-1890), ulama penyebar Islam di Riau-Lingga, Pontianak, Trengganu, dan Johor.

Selain itu, terdapat juga tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Tarekat ini merupakan penggabungan antara tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang dipelopori oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambasi, salah seorang ulama besar Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram, Makkah.

Di Minangkabau, perkembangan tarekat Naqsyabandiyah mencapai puncaknya di masa Sulaiman al-Zuhdi dan putranya, Ali Ridha, yang memiliki banyak murid dan khalifah di daerah tersebut sejak pertengahan abad ke-19.

Ilustrasi basuluak

Ilustrasi basuluak. FOTO/iStockphoto

Seturut jurnal UIN Syahada Padangsidimpuan berjudul "Jaringan Keilmuan Antara Ulama Mandailing-Angkola Dan Ulama Semenanjung Melayu", pada masa itu pula ada beberapa ulama dari Batak Mandailing-Angkola yang turut menyebarkan tradisi basuluak pada tahun 1923. Mereka adalah para ulama yang tidak belajar langsung ke Makkah dan Madinah atau Mesir, melainkan memilih Malaysia sebagai perantara tempat menimba ilmu.

Sebelum ke Haramain, mereka belajar di berbagai pondok di Semenanjung Melayu, terutama di Kedah, Perak, Negeri Sembilan, dan Kelantan. Tokoh-tokoh tersebut adalah Ahmad Daud Siregar (Tuan Nabundong 1891-1981M), Muktar Harahap (1900-1948M), Muhammad Daud Hasibuan (1900-1965M), dan Abdul Qadir bin Abdul Muthallib bin Hassan (1910-1965M).

Bagi para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah, basuluak adalah langkah penting dalam jalan tasawuf. Ia bisa dilakukan secara mandiri, tetapi dalam prosesinya seluruh tahapan-tahapan harus di bawah bimbingan seorang pemimpin spiritual yang disebut mursyid, syeikh, atau khalifah.

Adab dalam Basuluak

Basuluak dilakukan di tempat sunyi, seperti surau, masjid, gua, atau lokasi lain yang memungkinkan seseorang bisa mengasingkan diri. Sebagai ritual yang sangat personal dan mendalam, inti utama basuluak meliputi serangkaian aktivitas ibadah untuk mencapai kedekatan dengan Allah melalui salat, zikir, puasa, dan muhasabah diri.

Ada beberapa syarat sebagai adab dalam basuluak, seperti meluruskan niat bahwa beribadah semata karena Allah, menjaga wudu, zikir terus-menerus, mengurangi tidur, dilarang bersandar saat berzikir, dan lain-lain.

Di surau dan masjid, para salik harus menutup diri dengan kain putih sebagai simbol pemisahan diri dari duniawi. Sebagai bagian dari ibadah, basuluak merupakan kesadaran diri seseorang dan tidak boleh ada pemaksaan dalam pelaksanaannya.

"Cukup bagi keluarga yang ditinggalkan dan cukup bagi diri sendiri. Kalau tidak, tidak boleh ikut. Jangan sampai keluarga yang ditinggalkan teraniaya," tutur Muhammad Zubir, tetua Tarekat Naqsabandiyah Surau Engku Bila kepada Kompas edisi 4 April 2022.

Basuluak sebenarnya tidak mengenal usia dan jenis kelamin. Namun, belakangan para jemaah basuluak rata-rata sudah lanjut usia. Padahal menurut Dosen Fakultas Adab UIN Imam Bonjol, Taufik Hidayat, dahulu tradisi basuluak justru banyak dilakukan oleh kaum muda. Bahkan menurutnya ada guru dari Tarekat Naqsabandiyah yang baru berumur 20-an tahun.

“Ini kan membuktikan bahwa mereka sudah melakukan basuluak ini sejak usia remaja,” kata Taufik dikutip dari BBC Indonesia.

Lama waktu basuluak sempurnanya adalah 40 hari dengan intensitas berbeda-beda. Bagi jemaah atau peserta baru, pada bulan Ramadhan, basuluak dibagi dalam dua tahap: 10 hari menjelang Ramadhan dan 30 hari penuh selama Ramadhan. Sedangkan bagi jemaah yang pernah melakukan basuluak sebelumnya, boleh melaksanakannya 20 atau 30 hari.

Sebagai penopang utama, salat lima waktu secara berjamaah menjadi kewajiban untuk memperkuat ikatan spiritual antara para jemaah basuluak. Para guru atau mursyid kemudian memberikan ceramah-ceramah terkait ibadah untuk memantapkan hati dan keyakinan.

Ilustrasi Zikir

Ilustrasi Zikir. FOTO/iStockphoto

Meidita Syafitri dalam risetnya di Nagari Pandam Gadang, Sumatra Barat, menulis bahwa ritual dalam basuluak diawali dengan mandi dan salat taubat, berpuasa, berzikir serta mengikuti arahan dengan membaca bacaan yang sudah ditentukan oleh seorang guru kepada muridnya pada waktu melaksanakan baiat.

Baiat merupakan izin yang lazim diberikan untuk mengamalkan zikir-zikir tertentu. Dalam istilah tasawuf, proses memperbolehkan ini disebut ijazah. Menurut Chairullah dalam tesis berjudul "Naskah Ijazah dan Silsilah Tarekat: Kajian Terhadap Transmisi Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau", ijazah dalam tradisi tarekat Naqshabandiyah memiliki fungsi yang sama dengan ijazah-ijazah dalam dunia pesantren, yaitu sebagai bukti bahwa seorang murid boleh menyampaikan dan mengamalkan apa yang telah dipelajarinya dari guru yang memberikannya ijazah.

"Bedanya dalam tarekat Naqshabandiyah, para murid yang menjalankan spritualnya dengan cara bersuluk belum tentu akan mencapai maqam (batasan dan tempat) irshad. Sampai atau tidaknya sang murid kepada maqamirshad hanya diketahui oleh mursyid yang membimbingnya,” sambung Chairul.

Larut dalam Zikir

Untuk memulai zikir dalam basuluak, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan, yakni istigfar, membaca surat Al-Fatihah, membaca surat Al-Insyirah, membaca surat Al-Ikhlas, dan tawasul yang dihadiahkan kepada para guru, mulai dari Syekh Shahih Naqsabandy hingga guru-guru yang sanad keilmuannya sampai ke Nabi Muhammad.

Melantunkan lafaz suci secara kontinu dimaksudkan untuk membersihkan hati dan pikiran dari rasa sombong, ambisi duniawi, atau hal-hal negatif lainnya. Menurut Jurnal Ilmiah Multidisiplin Terpadu, tiga hal utama dari zikir ialah Islam, iman, dan ihsan. Islam sebagai landasan agama, iman sebagai rukun, dan ihsan meyakini akan keseharian kita yang tak luput dari pandangan-Nya.

Zikir-zikir itu harus dibaca pada sepuluh hari pertama, sepuluh hari kedua, hingga sepuluh hari keempat dengan jumlah tertentu dalam sehari semalam.

Sebagian peserta juga melakukan puasa sunah selama basuluak. Praktik ini tidak hanya melatih diri untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjernihkan jiwa dan mengendalikan hawa nafsu.

Mereka juga berpantang dari lauk-pauk hewani, seperti ikan, daging, telur, dan lain-lain yang mengandung darah dan lemak. Sebaliknya, para salik hanya diperbolehkan makan seperti tempe, kentang, kol, nasi putih, buah-buahan, dan kuah sayur kacang.

Tidak ada bedanya porsi makan hari biasa atau bulan Ramadhan, jemaah salik tetap mendapatkan dua kali makan dalam sehari. Di Nagari Pandam Gadang, setelah dua puluh hari, salik akan diberi waktu untuk memakan makanan yang dipantang tersebut pada maso bajamu atau masa berjamu. Setelah maso bajamu habis, mereka harus kembali melaksanakan mandi dan salat taubat.

Untuk biaya keperluan sehari-hari, para jemaah basuluak akan memberikan infak dan sedekah dengan nominal tertentu sesuai kemampuan kepada mursyid, syekh, khalifah, atau pengurus surau dan masjid.

Selama basuluak, interaksi dengan lingkungan luar dihindari sebanyak mungkin untuk membangun kekhusyukan, sehingga tidak terpengaruh hiruk pikuk maupun godaan dari sekeliling.

Kiwari, meski hidup semakin tergesa-gesa dan penuh distraksi, basuluak masih menemukan ruang hidup di sebagian kalangan masyarakat Minangkabau. Perkembangan teknologi dan gaya hidup modern memang memengaruhi pelaksanaan basuluak. Namun, esensi dari ritual ini tetap sama: mengasingkan diri dari dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi