tirto.id - Pada 18 Januari lalu, Bupati Aceh Besar Mawardi Ali mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan pramugari dari maskapai penerbangan dengan rute masuk ke daerahnya mengenakan busana muslim. Dilansir BBC Indonesia, perintah bupati tersebut dituangkan dalam surat bernomor 451/65/2018 yang didasarkan pada Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
Mawardi menegaskan, apabila ada yang tidak taat, Waliyatul Jisbah—polisi Syariah—di area Bandara Sultan Iskandar Muda akan membagikan jilbab dan sarung kepada pramugari.
“Jika larangan untuk terbang ke Bali pada saat Nyepi bisa mereka dengarkan, kenapa tidak untuk berpakaian syar’i ketika datang ke Aceh,” ungkap Mawardi.
Surat edaran itu ditujukan kepada delapan maskapai penerbangan seperti Garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, Air Asia, Batik Air, Sriwijaya Air, Wings Air, dan Firefly. Namun, secara garis besar, kewajiban memakai busana muslimah berlaku untuk semua maskapai penerbangan yang mendarat maupun terbang dari Bandara Sultan Iskandar Muda, yang berlokasi di wilayah Aceh Besar.
Pihak maskapai penerbangan mengaku tidak terlalu mempermasalahkan keberadaan surat edaran tersebut. Citilink, misal, menganggap permintaan itu bukan masalah besar walaupun belum mengetahui rinciannya. Lalu, Lion Air, mengatakan masih akan membahasnya dengan bagian pelayanan. Sedangkan Garuda Indonesia menyatakan mendukung imbauan Bupati Aceh Besar.
Sementara pemerintah, diwakili Menteri Perhubungan Budi Karya, mendukung aturan Bupati Aceh Besar. Budi berpendapat, usulan itu hanya berlaku di Aceh yang memang menerapkan syariat Islam serta tidak untuk daerah lain.
“Saya pikir itu usulan yang baik karena ini suatu syariat. Hanya saja, memang ini, kan, sektoral di daerah Aceh. Saya pikir, saya mendukung,” jelas Budi seperti dikutip Antara.
Problem Jilbab dan Maskapai: dari Perancis sampai Mesir
Masalah penggunaan jilbab bagi pramugari suatu maskapai penerbangan tak hanya terjadi di Aceh saja. Pada 2016, pramugari Air France marah karena diperintahkan mengenakan jilbab oleh perusahaan saat terbang dari Paris ke Teheran. Apabila aturan ini dipaksakan, pramugari mengancam bakal mogok bekerja, demikian dikabarkan The Telegraph.
Aturan tersebut muncul setelah dibukanya kembali layanan penerbangan antara Paris dan Teheran yang dibekukan selama delapan tahun akibat sanksi nuklir terhadap Iran. Sesuai rencana, dalam seminggu, penerbangan Air France ke Teheran akan berlangsung sebanyak tiga kali. Selain itu, perusahaan beranggapan bahwa rute Paris-Teheran merupakan pengembangan bisnis yang “sangat bagus.” Mau tidak mau, guna memuluskannya, Perancis harus mematuhi regulasi Iran.
Flore Arrighi, Ketua Serikat Pekerja Penerbangan (UNAC) mengatakan bahwa pramugari musti diberikan hak menolak aturan pemakaian jilbab. Ia menegaskan, pramugari berhak menjalankan “kebebasan individu.”
Ungkapan senada turut dilayangkan wakil UNAC lainnya, Laurence Rossignol. Ia berpendapat kebebasan perempuan Perancis harus dijunjung tinggi. Tak hanya itu, baginya, perempuan yang memakai jilbab seperti “negro yang mendukung perbudakan.”
Wakil Kepala Serikat Pekerja Penerbangan dari SNPC, Christophe Pillet, menjelaskan, “Pramugari tidak ingin peraturan pakaian dikenakan pada mereka, terutama kewajiban untuk mengenakan syal yang benar-benar menutupi rambut begitu saat mereka meninggalkan pesawat.”
Air France pun mengeluarkan pembelaan. Mereka berpendapat bahwa hukum Perancis mengizinkan “pembatasan kebebasan individu,” asalkan, “untuk kepentingan tugas yang mendesak dan harus diselesaikan dengan segera.” Mereka juga menjelaskan, kebijakan pemakaian busana muslim tersebut bukan kali pertama diterapkan. Saat melayani rute Perancis-Arab Saudi, maskapai mewajibkan pramugari mengenakan kain abaya selama pemberhentian.
Guna menyelesaikan masalah ini, serikat pekerja meminta penerbangan Paris-Teheran tidak menjadi kewajiban bagi pramugari. Untuk mereka yang menolak aturan itu, bisa menggantinya dengan rute lain tanpa adanya sanksi, potongan upah, maupun konsekuensi untuk karir para pramugari di masa mendatang.
Pada umumnya, pemakaian jilbab memang menjadi isu sensitif di Perancis. Bahkan, aturan Perancis mengatakan jilbab dilarang dikenakan di kantor pemerintahan serta sekolah. Tak sebatas itu, memakai jilbab yang menutupi seluruh wajah di depan umum adalah tindakan ilegal.
Penerapan larangan jilbab menutupi wajah di muka umum diberlakukan pada 2011. Presiden Perancis saat itu, Nicolas Sarkozy, mengatakan bahwa jilbab “menindas perempuan” dan “tidak bisa diterima” di Perancis. Hukuman bagi mereka yang melanggar adalah denda sebesar 150 euro. Data dari 2015 menunjukkan sebanyak 1.546 denda telah diberikan berdasarkan undang-undang yang ada. Untuk larangan jilbab di sekolah sendiri diperkenalkan pada 2004 dan, mengutip BBC, memperoleh dukungan politik maupun publik yang luar biasa.
Beda Perancis, beda pula Mesir. Pada 2012, EgyptAir mengizinkan awak kabinnya untuk memakai jilbab saat terbang ke negara-negara Arab dan bakal memperluas praktik tersebut ke wilayah lainnya. Rencana mereka sudah diterapkan saat terbang ke Jeddah dan Madinah.
Seperti diwartakan The National, penggunaan jilbab tidak akan mempengaruhi pekerjaan pramugari dan bakal menjadi pakaian dinas opsional. EgyptAir juga tengah merancang jilbab yang kelak dikenakan para pramugari.
Kebijakan tersebut mengakhiri pembatasan penggunaan jilbab yang diberlakukan di era pemerintahan Hosni Mubarak pada 2011. Di masa Mubarak, kendati banyak perempuan muslim Mesir mengenakan jilbab, tapi pemerintah berupaya membatasinya. Terutama di tempat-tempat yang dipandang sebagai wajah Mesir.
Murni Penegakan Syariah atau Politik?
Dosen Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Zainal Abidin Bagir, menyatakan bahwa permasalahan aturan berjilbab bagi pramugari perlu ditelaah lebih dalam, dengan berbagai sudut pandang. Bagir berpendapat, ada unsur politik yang kuat dalam pembentukan perda Syariah.
“Peraturan ini katanya tidak mengandung paksaan. Tapi masalahnya bukan dipaksa atau tidak. Masalahnya adalah, pertama, sebetulnya itu [peraturan] untuk apa? Apakah situasi di Aceh memang membutuhkan peraturan ini?” ungkapnya saat dihubungi Tirto.
Ia menambahkan: “Sebetulnya, perda Syariah bukan semata-mata karena menegakkan syariat Islam. Di balik itu semua, kemungkinan besar, terdapat barter-barter politik, negosiasi, dukungan basis elektoral, barang jualan elit politik, dan muncul di masa-masa menjelang pilkada.”
Guru besar ilmu politik Universitas Northern Illnois, Michael Buehler, dalam The Politics of Shari’a Law (2016) mengemukakan implementasi aturan Syariah di kehidupan sehari-hari dapat dilihat dalam larangan konsumsi alkohol, perjudian, pelacuran, hingga ketentuan berpakaian bagi perempuan.
Penerapan hukum Syariah, menurut Buehler, sudah menjadi fenomena yang meluas. Dalam rentang 1998 sampai 2013, setidaknya ada 443 peraturan Syariah yang diterapkan di sejumlah wilayah Indonesia seperti Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, serta Sulawesi Selatan.
Maraknya kemunculan aturan Syariah bukan perkara sepele. Penelitian Buehler menunjukkan, lahirnya fenomena Syariah disebabkan beberapa faktor, di antaranya islamisasi politik dalam fase demokrasi Indonesia, aktivisme Islam, dan dorongan penerapan undang-undang agama dalam konteks perubahan sosial serta politik, yang salah satu caranya dilakukan lewat pemilihan umum.
Hasil riset Buehler memperlihatkan bahwa perda Syariah muncul bukan karena partai Islam memisahkan diri dari tradisi sekuler di Indonesia. Yang ada malah sebaliknya. Para politikus dengan afiliasi politik ke partai sekuler—dan punya karier panjang di birokrasi—seperti Golkar dan PDI Perjuangan, termasuk di TNI dan Kepolisian RI, yang justru merancang, mengadopsi, dan menerapkan perda-perda Syariah.
Data The Politics of Shari’a Law menunjukkan, 7 dari 33 provinsi dan 51 dari sekitar 510 kabupaten mengadopsi sekurangnya satu perda syariah dari 1999 hingga 2009. Di DPRD di semua provinsi, yang paling getol mengadopsi perda syariah adalah Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP—kecuali di Provinsi Aceh.
Polanya rata-rata sama untuk wilayah administrasi di bawah provinsi. Golkar, yang berjaya pada Pemilu 2004, menang dengan suara mayoritas dalam pembahasan rancangan perda syariah di empat kabupaten. Partai itu pun menang dengan dukungan fraksi lain di sepuluh kabupaten. Hal yang sama terjadi pada PDIP. Dengan dukungan fraksi lainnya, PDIP, yang menang pada Pemilu 1999, memperjuangkan penerapan perda syariah di delapan kabupaten.
Antara 2004-2009, dua partai Islam peraup suara mayoritas di tujuh kabupaten pada 2009 berhasil meloloskan perda-perda syariah di kabupaten yang dimenangkan. Sementara itu Partai Keadilan Sejahtera yang sering dinilai sebagai motor penegak syariah justru "tak punya suara mayoritas ataupun pluralitas di satu DPRD pun—yang menerapkan perda syariah." Singkatnya menurut amatan Buehler" partai sekuler mendominasi parlemen daerah dalam menerbitkan perda syariah."
[Addendum, 2 Februari 2018, pukul 11.45 WIB): paragraf di atas sebelumnya tidak dinisbatkan kepada sumber yang menjadi rujukan. Paragraf ini diambil dari sumber yang sudah disebutkan dalam paragraf berikutnya: “Partainya Sekuler, Aturannya Syariah” oleh Michael Buehler (Tempo, 2011)]
Dari riset Buehler lantas timbul pertanyaan: mengapa partai sekuler seperti Golkar yang justru mendorong regulasi Syariah? Dalam tulisannya berjudul “Partainya Sekuler, Aturannya Syariah” yang dipublikasikan Tempo pada 2011, Buehler beranggapan, kombinasi antara “sempalan lama” dan “dinamika politik baru” telah mendorong politikus sekuler menerbitkan perda syariah.
Di Aceh sendiri, perda Syariah tak bisa dilepaskan dari konstetasi partai politik lokal. Pada 2017, Aceh melaksanakan pilkada. Dari tingkat gubernur, pemilihan dimenangkan oleh Irwandi Yusuf dari Partai Nasional Aceh mengalahkan saingannya Muzakkir Manaf. Keduanya sama-sama mantan anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan berada di bawah payung partai lokal yang dibentuk usai pakta perjanjian perdamaian antara Jakarta-GAM pada 2005. Irwandi di PNA, sementara Muzakkir di Partai Aceh (PA).
Muhammad Aris Yunandar, pengkaji politik Aceh yang juga penerima gelar master ilmu politik dari Universitas Birmingham, lewat tulisannya di New Mandala berjudul "The Aceh Party's Defeat" menjelaskan kemenangan Irwandi dalam pilgub merupakan pukulan telak untuk Partai Aceh. Irwandi, menurut Aris, mampu memanfaatkan perpecahan internal PA dan menjadikannya lumbung suara untuk kemenangannya.
Seperti diketahui, PA adalah partai politik lokal yang mempunyai basis elektoral kuat di Aceh. Pada 2009, mereka mendapatkan 48% kursi parlemen. Tiga tahun setelahnya, mereka menang di ajang pilgub dengan mengusung Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Di masa pemerintahan Zaini ini pula, pemerintah Aceh mengesahkan Perda Syariat Islam yang isinya antara lain mengatur khalwat (mesum), khamr (alkohol), dan maisr (perjudian).
Seiring waktu, dominasi mereka berkurang. Dimulai pada pemilihan legislatif 2014 di mana PA memperoleh 35% kursi parlemen, lalu berlanjut di pemilihan 2017 ketika (selain kalah di pilgub) mereka juga keok di wilayah seperti Sabang, Aceh Barat Daya, Pidie, dan Bireun.
Di Aceh Besar, tempat yang memberlakukan perda Syariah penggunaan jilbab, PA juga kalah. Pasangan Mawardi Ali-Husaini Wahab yang diusung PAN, PDA (Partai Damai Aceh), Golkar, Nasdem, PKB, PNA, PBB, Hanura, PDIP, dan PKPI tersebut mengalahkanSaifuddin Yahya-Juanda Djamal yang didukung Partai Aceh, Demokrat, Gerindra, PPP, dan PKS. Sebelumnya bupati Aceh Besar dijabat Mukhlis Basyah yang merupakan kader PA.
Riset Buehler menyebutkan, partai-partai pada dasarnya tidak mempunyai konstituen di daerah, yang ada hanyalah massa yang bisa dimobilisasi selama musim kampanye. Kekurangan partai-partai sekuler dan non-sekuler membawa mereka mencari basis alternatif menuju pintu kekuasaan, yaitu basis yang dapat memasok prasarana politik, seperti tim kampanye dan akses ke pemilih.
Formulasi seperti itu berlaku secara menyeluruh. Artinya, entah Partai Aceh atau PNA yang berkuasa, selama partai-partai tersebut tidak memiliki konstituen di daerah, maka yang terjadi adalah kontrak politik bersifat "simbiosis mutualisme."
Dari situ, seperti disebutkan Zainal Abidin Bagir, muncullah perda-perda syariah sebagai bentuk “negosiasi politik.”
“Sebetulnya, urusan agama itu, kan, kembali ke pribadi masing-masing. Tentang panggilan naluri seseorang. Ketika aturan agama dimodifikasi dalam bentuk instrumen hukum seperti perda, maka, itu menjadi milik negara. Bukan lagi agama. Dan, yang ada justru membatasi orang lain, mereduksi nilai-nilai dibanding berfungsi sebagai sarana internalisasi seseorang,” pungkasnya.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf