tirto.id - Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memenangkan pemilihan gubernur di Jakarta. Mereka didukung oleh partai Islam, yaitu Partai Keadilan Sejahtera, dan terbukti sentimen agama cukup besar pengaruhnya.
Data exit poll yang dikumpulkan Indikator Politik menyebutkan, kesamaan agama kandidat dengan pemilih menjadi faktor paling menentukan dibandingkan faktor lainnya. Dari semua responden, ada 32,5 persen pemilih yang mencoblos berdasarkan pertimbangan kesamaan agama. Faktor kinerja menjadi alasan nomor dua, yakni sebanyak 14,5 persen.
Jika berkaca pada sejarah, kemenangan politik Islam di Jakarta sebetulnya bukan hal yang mengejutkan. Sejak 1955, Islam-politik yang beraspirasi lewat Masyumi punya kekuatan yang tak bisa dipandang sebelah mata di Jakarta. Demikian pula PPP di masa Orde Baru.
Jelang Pemilu 1955, beredarlah buku kecil yang dicetak stensilan di Jakarta. Sampulnya bergambar bulan dan bintang, yang diatasnya tertulis: Kami Memanggil.
Buku yang dirilis Dewan Pimpinan Partai Masjumi bagian penerangan itu berisikan manifesto perjuangan dan program kerja. Selain lewat buku, di podium-podium kampanye, para juru kampanye partai bulan ini mengajak pemilih Jakarta untuk memilih Partai Islam ini. Tak lupa himne Partai Masyumi mereka nyanyikan di banyak kampanye dan kesempatan.
“Bismillah mari kita memilih... lambang bulan bintang putih..”
Menurut Artawijaya dalam bukunya Belajar Dari Partai Masjumi (2014), penyebaran buku Kami Memanggil (1955) itu bagian dari kampanye. Lawan yang dianggap paling serius adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut catatan Artawijaya, adu ejakan tentu lumrah, dan kadang kasar.
“Jangan pilih Masyumi. Kalau Masyumi menang, Lapangan Banteng diubah menjadi Lapangan Onta,” ejek pendukung PKI. Tentu saja Masyumi punya ejekan balasan: “Jangan pilih PKI. Kalau PKI menang, Lapangan Banteng diubah jadi Lapangan Merah atau Lapangan Kremlin.”
Tak hanya ditujukan kepada PKI yang berlambang palu arit, PNI yang berlambang kepala banteng juga kena. Tapi serangan terberat tetap kepada PKI. Kyai Haji Dalari, Ketua Korps Mubaligh Jakarta, yang menjadi juru kampanye Masyumi kerap meneriakan yel-yel bersama pengikutnya kepada partai lain. Jika Dalari berteriak “bulan bintang?”, maka disahuti “di atas!”. Jika Dalari berseru “Kepala banteng?” akan disahuti “di dapur!”. Sedangkan seruan “palu arit” akan langsung dijawab: “dikubur!”
Hasil Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 itu kemudian menujukkan, “Masyumi menjadi partai Islam yang mendapat perolehan suara yang signifikan dan menang di Jakarta,” tulis Artawijaya. Suara yang diperoleh Masyumi di Jakarta, seperti tercatat dalam buku Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (2014) mencapai 26,0 persen. Partai Islam lain, Nahdatul Ulama (NU), mencapai 15,6 persen. (Baca artikel-artikel kami tentang kiprah partai Masyumi dalam sejarah Indonesia modern.)
Di Jawa, partai-partai non-agama macam PNI dan PKI lebih berjaya. “Di Jawa, kecuali Jakarta Raya, gabungan kekuatan partai non agama lebih kuat daripada gabungan partai agama (Islam),” tulis Muhammad Asfar dalam Pemilu dan Perilaku Memilih, 1955-2004 (2006).
Selain Jakarta, suara Masyumi lain berasal dari luar Jawa. Dalam memoarnya Tonggak-Tonggak di Perjalananku (1974), Ali Sastroamidjojo menulis, “Masyumi berhasil memperoleh 48.7 persen (suara) dari semua jumlah suara di daerah-daerah di luar Jawa.”
Di masa Orde Baru, ketika masanya Golongan Karya (Golkar) berjaya, awalnya partai Islam masih punya taring untuk mengganggu rezim Soeharto. Jakarta masih sempat jadi basis penting partai Islam.
Menurut Marle Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), pada Pemilu 1971, “Golkar memenangkan mayoritas mutlak di setiap provinsi kecuali di Aceh, Jakarta dan Maluku.” Ketika itu partai-partai Islam belum disatukan (fusi) dalam Partai Pesatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai Islam itu baru berfusi dan berdeklarasi pada 5 Januari 1973.
Awal dekade 1970an adalah masa-masa Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Golkar kala itu sudah masif. Bahkan hingga ke jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Maka Korpri (Korps Pegawai Negeri) tak lain daripada Golkar. Begitu ketetapan politik dari pusat,” kata Ali Sadikin dalam memoarnya, Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Dominasi Golkar itu dirasakan Ali sejak 1975, masih cukup jauh dari Pemilu 1977, namun Pemilu sudah dibicarakan banyak orang. Meski begitu, Ali mengakui ia mengalami dilema internal yang tidak mudah. Ali mengaku: “Hati nurani saya tidak mengizinkan untuk mutlak-mutlak memenangkan Golkar [….] saya harus berdiri di atas semua golongan.”
Dalam Pemilu 1977, meski Golkar mendapatkan 61,2 persen suara dalam Pemilu 1977 secara keseluruhan, tapi Golkar masih kalah oleh PPP di Jakarta. “Dengan kejadian itu, Golkar atau beberapa tokoh Golkar tidak senang pada saya,” kata Ali. Ali lebih memilih membiarkan orang-orang Islam di Jakarta untuk memilih partai Islam, ketimbang ikut arus kekuasaan yang menginginkan Golkar.
Dalam pemilu berikutnya, pada 1982, menurut catatan Ridwan Saidi dalam bukunya Islam dan Moralitas Pembangunan (1984), “Golkar menang tipis saja di Jakarta, dan kalah di daerah Jakarta Selatan.”
Menaklukkan pemilih Islam rupanya juga menjadi hal sulit bagi Golkar dan Orde Baru. Di beberapa daerah pemilihan, banyak tokoh Islam pada dekade 1970an dan awal 1980an masih keukeuh dengan partai Islam. Bahkan Raja Dangdut Rhoma Irama, yang jago mengumpulkan massa dan dekat dengan PPP, juga sempat dibatasi ruang geraknya karena mengkampanyekan PPP. (Kiprah Rhoma di dunia politik Orde Baru, baca: Sang Raja yang Tak Tergantikan)
Hingga hari ini partai Islam masih jadi pilihan penting masyarakat Jakarta.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS