Menuju konten utama
17 Desember 1934

H.O.S. Tjokroaminoto Memadukan Islam dan Sosialisme

Sang guru bangsa. 
Sumbu api di dalam
gelap gulita.

Ilustrasi H.O.S. Tjokroaminoto. tirto.id/Gery

tirto.id - Abdul Malik Karim Amrullah masih berusia belasan tahun ketika pertama kali bertatap muka dengan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin besar Sarekat Islam (SI) yang terkenal itu. Malik rutin mengikuti kursus yang diselenggarakan SI di Yogyakarta pada pertengahan era 1920-an. Tjokroaminoto mengampu materi Islam dan Sosialisme.

“Beliau dalam kursusnya tidak mencela (Karl) Marx dan (Friedrich) Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya sebab teori Histori Materialisme Marx dan Engels telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga kita sebagai orang Islam merasa beruntung sebab tidak perlu mengambil teori yang lain lagi,” sebut Malik (Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, 1952: 36).

Baca Juga: Willy Amrull Sang Pendeta, Adik Buya Hamka.

Putra Minang yang sudah merantau ke Jawa sejak usia 16 tahun ini memang sangat mengagumi sekaligus mengidolakan sosok Tjokroaminoto, pemimpin organisasi Islam terbesar di Hindia Belanda kala itu. Begitu pula para peserta kursus lainnya.

“Bilamana tiba giliran beliau Tjokroaminoto, mulailah majelis tenang dan diam, dan mulailah timbul kegembiraan di wajah-wajah para kursusisten (peserta kursus)... Saya seakan-akan bermimpi, sebab akhirnya bertemu juga olehku orang yang telah lama namanya mempengaruhi jiwaku,” kenang Malik. “Dengan asyik, beliau menerangkan sosialisme dari segi Islam berdasarkan ayat dengan menuliskan nomor-nomor ayat, dengan hadis dengan menuliskan arti dan perawinya."

Malik, murid Tjokroaminoto sang bapak bangsa itu, kelak dikenal sebagai Buya Hamka. Ia menjadi tokoh besar di negeri ini, cendekiawan muslim terkemuka, sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama yang dibentuk pada era Orde Baru, rezim yang sangat mengharamkan sosialisme beserta semua idealisme turunannya, terutama komunisme.

Perumus Sosialisme-Islam

Dari sekian banyak artikel yang pernah ditulis Tjokroaminoto, ada dua judul yang paling mencuri perhatian, yakni “Apakah Sosialisme Itu” dan “Sosialisme Berdasar Islam.” Dua tulisan ini dimuat di surat kabar resmi SI, Oetoesan Hindia, yang terbit perdana pada 1 Januari 1913. Selanjutnya, pada November 1924, Tjokroaminoto menerbitkan buku dari hasil pemikirannya dengan judul Islam dan Sosialisme.

Tjokroaminoto tidak pernah alergi dengan sosialisme yang memang sedang bersemi di Indonesia pada awal dekade ke-2 abad ke-20 itu. Ia bahkan dengan serius mempelajari sosialisme, kendati turunan dari paham inilah yang akhirnya membelah organ dalam SI dan melahirkan wadah baru yang nantinya memakai nama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca Juga:

Bagi Tjokroaminoto, Islam dan sosialisme bukanlah dua kutub yang berseberangan dan menjadi pertentangan. Justru sebaliknya, keduanya bisa saling melengkapi dan menghasilkan perpaduan yang sangat apik. Tjokroaminoto adalah salah satu tokoh muslim pertama di Indonesia yang menggagas perpaduan Islam dan sosialisme untuk pertama kalinya (Mustafa Kemal Pasha, Civics Education, 2002:62).

Tjokroaminoto memaknai sosialisme sebagai hubungan pertemanan/persahabatan yang erat. Sosialisme berprinsip satu untuk semua dan semua untuk satu serta saling bertanggungjawab antar-sesama, atau dalam bahasa Tjokroaminoto: “Cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita bahwa kita adalah yang memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain.” (Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, 1963:9).

Prinsip sosialisme seperti yang dipaparkan Tjokroaminoto itu sulit diterapkan dengan baik jika tidak dilandasi dengan dasar agama. Bahkan, sosialisme justru bisa menyesatkan dan membawa kerusakan kepada manusia. Di sinilah Tjokroaminoto meramu perpaduan antara prinsip-prinsip sosialisme dengan ajaran Islam.

"Sosialisme hanyalah bisa menjadi sempurna apabila tiap-tiap manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri saja sebagai binatang atau burung, tetapi hidup untuk keperluan masyarakat bersama, karena segala apa saja yang ada hanyalah berasal atau dijadikan oleh satu kekuatan atau satu kekuasaan, ialah Allah Yang Maha Kuasa" (Tjokroaminoto, 1963: 71).

Sosialisme ala Rasulullah

Sosialisme yang dimaksud Tjokroaminoto bukan hanya pemikiran yang dicetuskan di Eropa semata, melainkan bersandar kepada agama (Islam) dan wajib dilakukan oleh umatnya selama itu merupakan perintah Tuhan. Meskipun mengagumi pemikiran Marx atau Engels, tapi ia menegaskan bahwa sosialisme ala Islam tidak sepenuhnya persis seperti itu.

Sosialisme Islam adalah pergerakan sosialisme yang dikontrol oleh identitas keislaman untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia maupun akherat (Nasihin, Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945, 2012:150)

Sosialisme ala Islam ini oleh Tjokroaminoto diyakini sudah berkembang selama 13 abad dan telah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad (Firman Manan, “Sosialisme Islam: Perspektif Pemikiran Politik H.O.S. Tjokroaminoto,” dalam Jurnal Wacana Politik, Maret 2016:66).

Lebih lanjut, Tjokroaminoto memaparkan perbedaan sosialisme versi Barat dengan sosialisme dalam Islam. Sosialisme Barat menerapkan demokrasi sosialisme, yakni pemerintahan mengadopsi sistem perwakilan. Menurut Tjokroaminoto, itu bukanlah sosialisme dalam arti kata yang sebenarnya karena sistem tersebut merupakan sistem demokrasi. Dalam sistem sosialisme, seharusnya rakyat mempunyai suara langsung dalam persoalan terkait negara.

Masalah tersebut terpecahkan dalam sosialisme Islam karena kekuasaan tidak diserahkan kepada kabinet, parlemen, atau golongan partai yang mewakili kepentingan kelompok tertentu. Tjokroaminoto mengatakan, undang-undang mengatur pemerintahan berasal langsung dari Tuhan sehingga tidak ada individu atau kelompok tertentu yang bisa mengubah aturan tersebut untuk kesenangan atau kepentingannya sendiri (Firman Manan, 2016:66).

Baca Juga:

Lantas, apa yang menjadi landasan Rasulullah dengan menerapkan prinsip sosialisme dalam pemerintahan Islam? Begini kata Tjokroaminoto:

“Adapun yang menjadi dasar pengertian sosialismenya Nabi Muhammad yaitu kemajuan perikeutamaan dan kemajuan budi pekerti rakyat. Umat Islam adalah orang yang cakap sekali dalam melakukan kehendak sosialisme yang sejati itu.” (Islam dan Sosialisme, 1963: 10).

Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada era kepemimpinan Nabi Muhammad, sambung Tjokroaminoto, tidak terlepas dari prinsip-prinsip sosialisme yang diterapkan oleh Rasulullah dalam mengatur pemerintahan dan upaya memperluas wilayah, termasuk dengan menjadikan semua tanah yang dikuasai menjadi milik negara.

“Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka negara itu segeralah diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikannya milik negara. Politik yang demikian itu dilanjutkannya, malahan sampai Islam telah melancarkan dirinya ke negeri-negeri luar.”

Sosialisme dengan Prinsip Ketuhanan

Prinsip sosialisme, menurut Tjokroaminoto, merupakan salah satu kunci kejayaan pemerintahan Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad. Ia membagi sosialisme-Islam menjadi tiga anasir, yaitu kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), serta persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang bisa menyatukan umat Islam.

“Bahwa rasa persaudaraan dan persatuan dalam dunia Islam, yaitu dasar yang sesungguh-sungguhnya bagi sosialisme, tiada akan pernah mati bahkan akan selalu bertambah-tambah di dalam hati umat Islam!” (Tjokroaminoto dalam Amelz, 1952:138).

Tjokroaminoto memang tidak main-main dalam meramu perpaduan Islam dengan sosialisme. Dalam hal ini, ia bahkan mengutip kitab suci Alquran, yakni surat Adz-Dzariyat ayat 56, yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Firman Tuhan dalam surat tersebut, bagi Tjokroaminoto, sesuai dengan prinsip sosialisme.

“Sosialisme bisa menjadi sempurna apabila tujuan hidup dari tiap-tiap manusia tidak hanya untuk mengejar keperluan dan kesenangan biasa, ialah keperluan dan kesenangan yang ada di dalam dunia ini, tetapi tiap-tiap manusia hendaklah juga mengejar tujuan hidup yang lebih tinggi” (Tjokroaminoto, 1963:72).

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/16/islam--sosialisme-ala-tjokroaminoto--mozaik--rangganadya_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Mozaik Tjokroaminoto" /

Di satu sisi, Tjokroaminoto sepakat dengan sejumlah poin yang dicetuskan Marx terkait sosialisme. Namun, di sisi lain, ia mengkritik pemikiran pribadi Marx yang menyebut agama adalah kebingungan otak buatan manusia untuk meringankan beban hidup sehingga agama merupakan candu bagi rakyat. Tjokroaminoto justru memadukan sosialisme dengan ajaran Islam.

Tjokroaminoto juga tidak sepenuhnya setuju ajaran materialisme historis Marx yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari benda, oleh benda, dan kembali ke benda. Umat Islam, menurutnya, meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, oleh Allah, dan akan kembali kepada Allah. Sosialisme dalam Islam tidak akan pernah memungkiri keberadaan Tuhan.

Baca Juga:

Maka, bagi Tjokroaminoto, sosialisme tidak melulu bicara soal materi semata, terlebih sosialisme untuk kaum muslimin yang sebenarnya telah menerapkan prinsip itu sejak lama, jauh sebelum sosialisme digagas oleh para pemikir Barat. Tjokroaminoto menegaskan, umat Islam punya ajaran sosialisme yang paling ideal (Amelz, 1952: 138).

“Bagi kita orang Islam, tidak ada sosialisme atau rupa-rupa isme yang lain-lainnya yang lebih baik, lebih elok, dan lebih mulia, selain sosialisme yang berdasarkan Islam, itu saja,” demikian Tjokroaminoto menyimpulkan.

Tjokroaminoto meninggal tepat hari ini 83 tahun lampau, pada 17 Desember 1934. Lewat kejelian berpolitik dan ramuan Islam dan sosialisme, ia menjadi mentor bagi para founding fathers Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani