Menuju konten utama

Taktik Tjokroaminoto Menggulingkan Petahana

Tjokroaminoto menjadi Ketua Sarekat Islam (SI) setelah menggusur sang petahana Samanhoedi, dan memimpin ormas terbesar di Indonesia itu selama 20 tahun hingga wafat.

Taktik Tjokroaminoto Menggulingkan Petahana
Adegan dalam film "Guru Bangsa Tjokroaminoto". [Foto/tjokromovie.com]

tirto.id - Kongres Sarekat Islam (SI) ke-2 yang digelar di Yogyakarta pada 20 April 1914 itu mulai memanas. Memasuki hari kedua, agenda kongres adalah memilih pemimpin baru. Sang petahana, Hadji Samanhoedi, dalam posisi terdesak. Mayoritas peserta kongres tampaknya ingin perubahan. Di sisi lain, nama Tjokroaminoto menguat dan menjadi kandidat ketua yang paling diperhitungkan.

Setelah perdebatan yang cukup panjang, maka susunan dewan pengurus pusat atau Centraal Sarekat Islam (CSI) terbaru diumumkan. Tjokroaminoto menang dan ditetapkan sebagai Ketua Umum CSI. Sementara Samanhoedi dibuatkan jabatan baru yakni sebagai “ketua kehormatan” yang sejatinya hanyalah gelar semu tanpa kewenangan.

Proses suksesi tampuk kepemimpinan SI itu sebenarnya tidak sesederhana yang terlihat, bukan sekadar adu urat di ajang kongres. Lebih dari itu. Ada serangkaian manuver secara terstruktur, sistematis, dan masif yang dilancarkan oleh kubu Tjokroaminoto demi merengkuh tahta SI yang selama ini dikuasai pihak Samanhoedi.

Karma yang Kelak Berbalas

Tjokroaminoto pada awalnya adalah tangan kanan Samanhoedi yang memimpin SI di Solo. Tjokroaminoto bahkan secara khusus direkrut karena sang ketua sangat membutuhkannya untuk menyelamatkan SI atau yang saat itu masih bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).

Hingga awal 1912, Tjokroaminoto masih bekerja sebagai teknisi pabrik gula di Surabaya. Namun, ia sudah terkenal cakap. Semasa sekolah, Tjokroaminoto memang aktif berorganisasi, termasuk menjadi penggerak forum-forum diskusi. Ia juga sempat menjadi aktivis Boedi Oetomo (BO) di Surabaya (Amelz, HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, 1952:91).

Sementara itu, Samanhoedi sedang galau di Solo. SDI terancam dibekukan pemerintah setempat. Sejumlah aksi kerusuhan dengan para pedagang peranakan Tionghoa dan kaum misionaris membuat SDI disanksi Residen Surakarta. Aktivitas SDI dihentikan, dilarang mengadakan pertemuan, dan tak boleh menerima anggota baru (Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, 1984:127).

SDI pimpinan Samanhoedi itu aslinya memang bukan organisasi pergerakan, melainkan laskar keamanan bernama Rekso Roemekso yang dibentuk untuk menghadapi rivalitas perdagangan batik dengan para pedagang keturunan Tionghoa. Lantaran dianggap ilegal dan terlibat sejumlah kasus, Rekso Roemekso terancam dibubarkan, hingga akhirnya Samanhoedi disarankan meminta bantuan kepada Tirto Adhi Soerjo.

Tentang Rekso Roemekso, baca artikel berjudul: Ormas Keamanan Menjelma Sarekat Islam

Tirto Adhi Soerjo adalah seorang bangsawan, jurnalis, sekaligus intelektual pribumi yang pada 1909 mendirikan SDI di Bogor dan Batavia (Jakarta). Tirto bersedia membantu Samanhoedi. Ia datang ke Solo pada awal 1911 untuk menyusun AD/ART dan legalitas Rekso Roemekso. Ormas lokal itu pun beralih rupa menjadi SDI cabang Solo yang sudah berbadan hukum.

Namun, ketika SDI Solo kena cekal pemerintah kolonial pada 1912 itu, Tirto Adhi Soerjo juga sedang terlibat masalah di Batavia. Di sisi lain, Samanhoedi sebenarnya ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Tirto dan berniat menguasai SDI Solo sepenuhnya. Namun, perhimpunan itu terancam gulung tikar lagi karena larangan dari penguasa.

Agar bisa aktif lagi, SDI Solo harus kembali berganti wajah dan menyusun akta hukum yang baru. Saat itulah Samanhoedi mendengar tentang Tjokroaminoto yang lantas digaet masuk SDI. Sisa masa kerja Tjokroaminoto yang masih terikat kontrak dengan pabrik gula tempatnya bekerja pun ditebus oleh SDI (A.P.E. Corver, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil, 1985:237).

Mengakuisisi Tahta SI

Tjokroaminoto lantas diboyong ke Solo dan segera merumuskan akte hukum organisasi pada 10 September 1912. Dalam akte hukum baru itu, Tjokroaminoto mengusulkan agar nama Sarekat Dagang Islam diganti menjadi Sarekat Islam saja, dan Samanhoedi setuju.

Menurut Tjokroaminoto, kata “dagang” sangat membatasi ruang gerak. Dengan nama SI, organisasi bisa meluaskan wilayah dan cakupannya, tidak hanya di sektor ekonomi, tapi juga politik dan dibalut dengan unsur agama untuk menggaet massa. Setelah masuknya Tjokroaminoto, SI memang lebih banyak berpolitik ketimbang menangani urusan perniagaan.

Dari situ, karier Tjokroaminoto melesat pesat. Ia dipercaya untuk memimpin SI cabang Surabaya. Berkat jaringan Tjokro pula, SI berkembang cepat dengan mendirikan cabang di banyak daerah di Jawa, dari wilayah timur sampai barat, bahkan hingga ke Batavia.

Nah, di sinilah manuver Tjokroaminoto dimulai. Dalam setiap kunjungan ke berbagai daerah, ia justru mempromosikan dirinya sendiri dan secara pelan tapi pasti menggerus karakter Samanhoedi. Posisi Tjokro semakin menguat setelah ia terpilih sebagai Wakil Ketua CSI dalam kongres pertama di Solo pada 25 Maret 1913 untuk mendampingi Samanhoedi.

Dipaparkan Van Niel (1984:150), Tjokroaminoto kian gencar turun ke bawah, menebar propaganda. Padahal, seluruh biaya aktivitas politik Tjokro ditanggung CSI. Pamor Samanhoedi pun terus merosot di tataran akar rumput. Sementara di kalangan intelektual muda, ia dianggap kuno dan tidak layak memimpin organisasi, Samanhoedi dinilai sudah tidak berguna.

Kongres kedua SI menjadi puncak kemenangan Tjokro sekaligus memungkasi kemapanan Samanhoedi dan kubu Solo di organisasi tersebut. Kongres yang dihelat di Surabaya selama 2 hari pada 19-20 April 1914 itu dihadiri 147 delegasi, mewakili 81 cabang SI dari berbagai daerah yang jumlah anggota seluruhnya mencapai 440.000 orang (Takashi Shiraihi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, 1997:98).

INFOGRAFIK Tjokroaminoto

Pemimpin Seumur Hidup

Tjokroaminoto tidak hanya sukses merangkul cabang-cabang SI di daerah, tapi juga berhasil menjalin relasi harmonis dengan penguasa kolonial, bahkan hingga ke pemerintah pusat di Batavia melalui D.A. Rinkes yang menjadi kepanjangan tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Rinkes yang hadir dalam kongres itu turut “menghabisi” Samanhoedi dan memuji Tjokroaminoto. Dikutip dari Shiraishi (1997:97), Rinkes berkata di hadapan forum tertinggi SI tersebut:

“Samanhoedi tidak memenuhi semua persyaratan menjadi pemimpin yang baik. Ia tidak terdidik, menurut Islam maupun ukuran modern, berpikiran sempit tentang segala hal di luar lingkungannya, tak punya kemampuan berbicara, tanpa sopan santun, keras kepala, dan bertindak semaunya.”

“Sebaliknya,” lanjut Rinkes, “Tjokroaminoto memiliki latar belakang yang baik, pikirannya terbuka dan tidak dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan agama. Berpendidikan layak dan berpengetahuan, juga punya naluri politik tajam yang berguna dalam segala hal.”

Samanhoedi kian tersudut karena para peserta kongres menghendaki dirinya turun dari kursi tertinggi. Salah satunya adalah Dwijosewojo yang berucap:

”Jika tuan memang sungguh cinta kepada SI, mengapa tidak menyerahkan SI itu kepada orang-orang yang pandai-pandai supaya SI dapat hidup patut?” (Pitut Soeharto & Zainoel Ihsan, eds., Cahaya di Kegelapan, 1981:265)

Begitulah, Samanhoedi termakan karmanya sendiri. Dulu, ia merebut SDI dari Tirto Adhi Soerjo, dan kini, giliran kuasanya dilucuti tanpa ampun oleh Tjokroaminoto. Dengan segera, Tjokroaminoto membersihkan SI dari sisa-sisa rezim Samanhoedi.

Sejak terpilih menjadi ketua pada kongres 1914 itu, posisi Tjokro sebagai orang nomor satu di SI sama sekali tak tersentuh. Di bawah komandonya, SI menjelma jadi ormas terbesar di Indonesia kala itu dengan anggota hingga 2,5 juta orang (Kardiyat Wiharyanto, Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara, 1996:26).

Dengan segala intrik dan kontroversi yang menyertainya, Tjokroaminoto memimpin SI –yang pada akhirnya berubah menjadi partai politik dengan nama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)– selama dua dekade, seumur hidupnya, hingga ia meninggal dunia pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta.

Baca juga artikel terkait SAREKAT ISLAM atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya