tirto.id - Surat tertanggal 21 November 1909 dari seorang pembaca dari Deli, Sumatera Timur, tiba di meja redaksi Medan Prijaji. Dalam suratnya, si pembaca mengadukan nasib kuli perkebunan di daerahnya yang ditindas beban kerja yang luar biasa, gaji disunat, belum lagi pajak yang begitu berat.
Medan Prijaji edisi berikutnya segera terbit dengan memuat tulisan Tirto Adhi Soerjo terkait aduan tersebut. Tirto, hoofd redacteur sekaligus si empunya surat kabar, melancarkan kritik yang tajam kepada pejabat dan pengusaha perkebunan di Deli dengan menyebut orang-orang itu sebagai manusia serakah.
Tirto juga mengkritisi ulah sewenang-wenang pihak pabrik yang didukung pejabat lokal (lurah) setempat. Tanah milik rakyat disewa paksa yang membuat warga terpaksa bekerja sebagai buruh dan mendapat perlakuan serta upah yang tidak pantas.
Media Massa untuk Kepentingan Publik
Masih di tahun yang sama, Medan Prijaji menelisik perkara lainnya. Kali ini melibatkan A. Simon, pejabat lokal di Purworejo berpangkat aspirant controleur (pengawas) yang diduga bersekongkol dengan seorang wedana bernama Tjokrosentono untuk memuluskan calon lurah pilihan mereka.
Calon Lurah Desa Bapangan, Distrik Cangkrep, Purworejo, yang diusung dua pejabat itu tidak disukai warga. Sementara calon lurah pilihan rakyat, Mas Soerodimedjo, justru ditangkap dan dihukum krakal alias kerja paksa, dengan tuduhan berusaha mengacaukan proses pemilihan kepala desa.
Mas Soerodimedjo pun mengadukan persoalan ini kepada Tirto Adhi Soerjo yang langsung ditindaklanjuti dengan menulis artikel di Medan Prijaji. Ia menyebut A. Simon dengan istilah snoot-aap yang berarti “monyet ingusan yang masih suka menyusu”.
“Kita tulis itu karena kita murka. Murka tiada terhingga, marah besar, karena bangsa kita, si seperempat manusia, diperlakukan seenaknya oleh pegawai (pemerintah) yang semestinya menjaga keselamatan si seperempat manusia yang lemah dan tidak berdaya itu!” tukas Tirto.
Kasus ini ternyata berbuntut serius. Tirto digugat atas tuduhan pencemaran nama baik yang meliputi penistaan (smaad), pencelaan (hoon), dan umpatan (laster). Lantas, apa kata Tirto?
“Di antara snoot-aap snoot-aap boleh jadi kalimat itu suatu penistaan atau penghinaan, tetapi di antara orang yang sempurna budi pekertinya, kalimat itu bukanlah kalimat penistaan,” tegas Tirto.
Perkara ini sempat dibekukan di era Gubernur Jenderal Hindia Belanda, JB van Heutsz, yang memang menjalin relasi baik dengan Tirto. Namun, pergantian pucuk kepemimpinan pemerintah kolonial, dari Heutsz ke AWF Idenburg, membuat kasus ini dihidupkan kembali.
Oleh pengadilan kolonial, Tirto kemudian didakwa bersalah dan dijatuhi hukuman buang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua 2 bulan. “Saya dibuang karena mengusik kelakuan seorang pejabat dengan menggunakan kalimat menghinakan,” ucap Tirto.
Selama di pengasingan, aksi Tirto tak lantas terhenti. Ia menyusun artikel dengan tajuk “Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan” yang menyoroti berbagai tindak penyelewengan, dari level kepala kampung, aparat pemerintah dan kepolisian, hingga Residen Lampung.
Tak hanya sekali Tirto dibuang. Akhir 1912, ia dinyatakan bersalah dan harus menjalani sanksi serupa. Kali ini lebih jauh dan lebih lama, Tirto diasingkan ke Maluku selama 6 bulan terkait tulisannya yang mengecam Bupati Rembang Djojodiningrat dan menyinggung Gubernur Jenderal Idenburg.
Aksi-aksi pembelaan lewat media yang telah dilakukan Tirto itu merupakan wujud jurnalisme advokasi, dan Tirto adalah orang Indonesia pertama yang melakukannya, bahkan sejak ia masih bekerja untuk Pembrita Betawi pada kurun 1901 hingga 1903.
Tirto juga orang Indonesia pertama yang memiliki dan menerbitkan media sendiri, yakni Soenda Berita, selepas undur diri dari Pembrita Betawi. Setelah Soenda Berita, Tirto menggagas penerbitan Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan pada 1907.
Dua koran inilah yang lantas menegaskan pilihan jurnalistik Tirto, yakni memberikan pembelaan warga lewat tulisan, dan jika diperlukan disediakan pula bantuan hukum untuk korban penindasan, tidak hanya oleh pemerintah kolonial tapi juga golongan penindas lainnya. Ruang pengaduan pembaca bahkan menjadi salah satu kekuatan utama Medan Prijaji.
Meskipun memakai kata “priyayi” pada namanya, namun Medan Prijaji membuka pintu lebar-lebar untuk wong cilik. Barangkali kata “priyayi” itu disematkan lantaran penerbitan Medan Prijaji digawangi beberapa nama dari kalangan ningrat atau orang berada seperti RAA Prawiradiredja (Bupati Cianjur) dan Sultan Oesman Sjah (penguasa Kesultanan Bacan, Maluku), juga saudagar kaya-raya HM Arsad, termasuk Tirto Adhi Soerjo sendiri yang sebenarnya menyandang gelar Raden Mas.
Medan Prijaji memang sengaja dijadikan media untuk membela kaum yang disebut Tirto sebagai “bangsa-bangsa yang terprentah” seperti yang termaktub dalam jargonnya: Soeara bagi sekalian radja-radja, bangsawan asali dan fikiran, prijaji dan saudagar boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda.
Misi advokasi Medan Prijaji pun tercetak jelas dalam 8 asas yang diusungnya, yaitu “menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.”
Pengawal Pikiran Bangsa “Terprentah”
Nyaris semua surat kabar yang digagas Tirto Adhi Soerjo, terutama Medan Prijaji, memakai bahasa Melayu rendahan alias bahasa Melayu pasar, bukan menggunakan bahasa yang terlalu tinggi dan sesuai dengan kaidah-kaidah baku pada saat itu.
Bahasa Melayu secara garis besar terbagi menjadi dua, yakni Bahasa Melayu Tinggi dan Bahasa Melayu Rendah. Jenis yang pertama biasanya dipakai kalangan istana dan para sarjana alias kaum intelektual. Sedangkan bahasa Melayu rendah merupakan bahasa pergaulan di masyarakat yang oleh Remy Silado bahkan disebut sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia.
Tirto Adhi Soerjo tentu saja punya alasan mengapa ia yang sebenarnya berasal dari kalangan ningrat (bangsawan asal) sekaligus bagian dari kaum intelektual (bangsawan pikiran) memilih menggunakan “bahasa orang-orang kasar” untuk koran-korannya, yang kemudian diikuti oleh banyak surat kabar lainnya.
Zen RS dalam tulisannya “Nama Saya: Tirtoadhisoerjo!” yang tersebar di ranah maya menyimpulkan Tirto adalah sang pemula yang paham dan secara sadar menggunakan bahasa Melayu sebagai “alat politis” untuk mengampanyekan sesuatu yang politis. Bahasa Melayu yang dimaksud tentunya adalah bahasa sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat.
Bahasa Melayu Tirto, lanjut Zen, bukan sekadar lingua franca, tetapi sesadarnya dipilih sebagai alat yang ia yakini paling ampuh untuk mengartikulasikan gagasan “bangsa yang terdiri atas orang-orang yang terprentah”.
Zen bahkan menyebut bahwa ketika Mohammad Yamin mengajukan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu di Kongres Jong Sumatranen Bond pada 1923, ia hanya tinggal melanjutkan apa yang sebelumnya telah dilakukan Tirto dengan cara yang lebih modern. Bahasa Melayu ala Yamin inilah yang pada akhirnya “diresmikan” sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928.
Dengan memakai bahasa Melayu pasar, Medan Prijaji akan lebih dipahami dan bahkan menjadi media yang merakyat untuk semua kalangan, terutama “bangsa-bangsa terprentah” yang memang pada akhirnya menjadi sasaran perjuangan Tirto.
Kaum “terprentah” yang dimaksud oleh Tirto tidak lantas diidentikkan kepada kaum “bumiputera” atau “pribumi” saja. Istilah “terprentah” dalam pemaknaan Tirto bukanlah kata benda, melainkan kata kerja, yang tidak lain adalah sebuah konsepsi suatu “project”, sesuatu yang mesti diolah, dikerjakan, dan diberi-bentuk.
Masih menurut Zen, belum pernah ada kesadaran ihwal “orang jang terprentah” semacam itu yang lantas diartikulasikan dengan begitu terus terang di masa sebelum-sebelumnya, sampai-sampai dipajang sebagai jargon Medan Prijaji.
Tirto memang mempertegas dua golongan bangsa di tanah airnya Hinda Belanda atau Indonesia di dekade awal abad ke-20 itu, yaitu yang memerintah dan yang terperintah di mana kelompok kedua selalu ditindas oleh kelompok pertama.
Bagi Tirto, pers adalah salah satu perangkat yang paling tepat untuk melawan penindasan tersebut. Dan, supaya tepat sasaran dan menjangkau lebih luas kendati berhilir pada kepentingan “politis”, bahasa Melayu pasar menjadi pilihan jitu yang digunakan.
Empunya Pergerakan Nasional
Selain mengguratkan nama paten di ranah jurnalistik, Tirto Adhi Soerjo juga memberikan andil besar dalam riwayat pergerakan nasional bangsa Indonesia yang semakin marak sejak dasawarsa abad ke-20. Tirto adalah salah satu dari sekelumit orang Indonesia telah berpikir tentang gagasan kebangsaan di tengah himpitan rezim kolonial.
Tahun 1905, berbarengan dengan tokoh sekolah dokter Jawa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artchen) di Batavia, Wahidin Soediro Hoesodo, Tirto mengunjungi para kenalannya, untuk menggagas dibentuknya sebuah perhimpunan.
“… kita dapat persilaan akan mencari daya-upaya supaya ada persarikatan umum yang memperhatikan hal kita anak Hindia yang sia-sia itu,” demikian tulis Tirto di Medan Prijaji. Maka, terbentuklah salah satu organisasi kebangsaan orang Indonesia pertama yang pernah hadir di Hindia Belanda, bernama Sarekat Prijaji (SP), pada 1906.
Terbentuknya Sarikat Prijaji diumumkan melalui edaran di koran-koran berbahasa Melayu di seluruh Hindia Diumumkan bahwa telah berdiri perhimpunan yang mewadahi seluruh priyayi dan bangsawan pribumi di Hindia Belanda yang bertujuan memajukan anak negeri lewat pengajaran. Medan Prijaji pun dijadikan corong propaganda SP.
Di tahun yang sama ketika Tirto menggalang dukungan, Wahidin ternyata juga melakukan upaya serupa. Ia menemui para pembesar di tanah Jawa dengan tujuan mendirikan yang sama, mendirikan organisasi, meskipun usaha tersebut baru terwujud pada 1908 dengan dideklarasikannya Boedi Oetomo (BO) di Batavia. Sama seperti Sarikat Prijaji, Boedi Oetomo yang menyasarkan anggotanya untuk kalangan bangsawan dan bergerak melalui pendidikan.
Tirto Adhi Soerjo sendiri, yang pernah menjadi siswa STOVIA meski tidak lulus, sempat menjadi anggota Boedi Otemo cabang Bandung setelah kiprahnya bersama Sarikat Prijaji ternyata tidak berjalan mulus. Belum setahun berdiri, SP sudah tersendat-sendat lantaran persoalan dana.
Namun, kebersamaan Tirto dan Boedi Oetomo juga tidak bertahan lama. Ia memutuskan hengkang karena menilai BO hanya akan “mengangkat lapisan yang di atas-atas saja”. Di sisi lain, Sarikat Prijaji pun dalam kondisi mati segan hidup tak mau karena kaum ningrat yang menjadi anggotanya kebanyakan merupakan jenis orang yang enggan meninggalkan zona nyaman dan susah diajak maju.
Meskipun begitu, Tirto menyebut SP tidak sama dengan BO. Sarikat Prijaji, klaim Tirto, lebih maju dalam wawasan nasionalismenya. Meskipun kebanyakan anggotanya adalah kaum ningrat, namun SP tidak memperhitungkan perbedaan bangsa-bangsa di dalamnya. Sedangkan Boedi Oetomo, bagi Tirto, hanya organisasi kesukuan yang mengedepankan kaum priyayi Jawa.
Hengkang dari Boedi Oetomo, Tirto mendeklarasikan organisasi baru bernama Sarekat Dagang Islamiah (SDI) pada 5 April 1909 di Bogor. Disebutkan, tujuan utama SDI adalah “mendjaga kepentingan kaoem Moeslimin di Hindia”.
SDI menjadi ruang baru bagi Tirto untuk lepas dari jejaring keningratan yang selama ini terus mengiringinya. Tirto berpikiran, apabila ingin memajukan kaum “terprentah”atau “seperempat manusia” hendaknya jangan bergantung kepada golongan bangsawan atau orang-orang pemerintahan, melainkan bergerak bersama orang-orang bebas yang berdikari, yakni golongan pedagang.
Hingga akhirnya, SDI dan Tirto bersinggungan dengan Haji Samanhoedi, pemimpin perkumpulan bernama Rekso Roemekso di Solo yang menaungi para pedagang batik, pegawai rendah Kasunanan, hingga orang-orang yang bertugas menjaga keamanan.
Rekso Roemekso terancam dibubarkan karena dianggap ilegal oleh pemerintah kolonial di Surakarta. Lantaran itulah, Samanhoedi ingin organisasinya memiliki badan hukum dan kemudian meminta bantuan Tirto. Samanhoedi tahu tentang Tirto dari koleganya, Martodharsono, yang pernah bekerja untuk Medan Prijaji.
Tirto kemudian mengusulkan untuk mengubah status Rekso Roemekso sebagai cabang SDI untuk mendapatkan status hukum. Bahkan, Tirto sendiri yang merumuskan dan menandatangani anggaran dasar SDI cabang Solo pada 9 November 1911.
Namun, kasus yang menimpa Tirto pada akhir 1912 hingga akhirnya dibuang ke Maluku membuat kepengurusan SDI yang berpusat di Bogor terbengkalai. Di sisi lain, SDI cabang Solo di bawah komando Samanhoedi berkembang pesat dan pada justru lebih dikenal ketimbang SDI-nya Tirto.
Samanhoedi lalu merangkul Oemar Said Tjokroaminoto, yang sebelumnya memimpin SDI di Surabaya, untuk memperkuat kedudukan SDI di Solo yang kemudian menjadi pusatnya. Bersama Tjokroaminoto, kelak SDI berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) yang pada akhirnya nanti menjadi organisasi massa terbesar di Indonesia.
Lalu, bagaimana nasib Tirto? Sepulang dari tanah pengasingan, ia terpuruk dalam kondisi yang memprihatinkan. Gerak-geriknya selalu diawasi dan dibatasi oleh kuasa kolonial. Nasib miris dan rasa keprihatinan akut itu berakibat buruk pada mental dan kesehatannya. Bahkan ia dikabarkan nyaris kehilangan ingatan dan akal sehat akibat penderitaan fisik dan batin yang menyerang dari mana-mana.
Tanggal 7 Desember 1918, Tirto wafat di Mangga Dua, Batavia, pada usia 38 tahun, dalam kesunyian. Pemerintah menetapkannya sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973. Dan tanggal 10 November 2006, Tirto Adhi Soerjo akhirnya memperoleh gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS