tirto.id - Indonesia merdeka memang atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan dorongan keinginan luhur rakyatnya untuk menjadi bangsa yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tapi selain itu, ada juga pengaruh karomah para Kiai. Buktinya, seperti kisah Kiai Subkhi berikut ini:
Awal November 1945, menurut catatan Rosihan Anwar, tentara Inggris di Surabaya mencapai 24 ribu orang. Mereka berasal dari Divisi India ke-5 di bawah komando Mayjen Mansergh, divisi dengan tentara-tentara yang terkenal dengan reputasi sadis. Catatan lain, divisi ini memiliki 21 tank Sherman, 24 pesawat tempur dan pembom, kesatuan artileri, kapal perang Sussex dan empat kapal lain.
Dalam buku Sejarah Kecil "petite histoire" Indonesia itu, Rosihan Anwar menceritakan bahwa pada 9 November Mayjen Marshergh mengeluarkan ultimatum kepada pejuang Indonesia untuk menyerahkan senjata sebelum pukul 6 pagi pada 10 November 1945. Jika tidak, Surabaya akan diluluhlantakkan.
Ultimatum itu disampaikan karena Jenderal Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby tewas dalam baku tembak pada 30 Oktober 1945—delapan hari setelah Resolusi Jihad dikumandangkan. Tentara Inggris (Sekutu) yang datang untuk melucuti tentara Jepang di Surabaya tidak bisa menerima kenyataan ada jenderalnya yang tewas oleh arek-arek Surabaya yang “cuma bondo nekat” itu.
Menghadapi ultimatum yang diberikan oleh pemenang Perang Dunia II, pejuang Indonesia punya apa dan bisa apa?
Tidak hanya di Surabaya, pejuang Indonesia di daerah lain punya senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Namun, jumlah senjata rampasan itu terbatas. Gambaran jumlah persenjataan yang dimiliki tentara Indonesia seperti yang disampaikan A.H. Nasution di Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata (1966).
“Ketika Pak Dirman menginspeksi batalyon TKR di Bandung, beliau hanya menemukan sepucuk pistol yang dimiliki komandan Batalyon sementara anggota batalyon hanya memegang bambu runcing,” sebut Nasution.
Pak Dirman yang dimaksud AH Nasution merupakan Panglima TKR, lulusan PETA asal Purbalingga. Ia yang memimpin perlawanan rakyat dan TKR terhadap pasukan Belanda di Ambarawa. Ia juga kawan sekaligus pemimpin dari Saifuddin Zuhri, pemimpin Hizbullah dari Sokaraja, Banyumas. Dua orang “ngapak” ini bersama-sama memimpin perlawanan menghadapi Belanda di Karesidanan Kedu (Magelang, Temanggung, Wonosobo) di pedalaman bagian tengah Jawa. Hizbullah merupakan kelaskaran beranggotakan pemuda-pemuda muslim, sebagian di antaranya berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama.
Saifudin Zuhri, belakangan menjadi Menteri Agama pada periode 1962-1967, pernah memberitahu Sudirman tentang Parakan, kota Kawedanan di Kabupaten Temanggung. Di kota kecil di lereng Sumbing-Sindoro itulah Zuhri menceritakan Sudirman pernah menemui seorang kiai berusia 90-an tahun, keturunan prajurit Diponegoro pada Perang Jawa 1825-1930.
“Pernah Panglima Besar Sudirman dengan anak buahnya singgah dulu ke Parakan untuk meminta berkah dan doa Kiai Subkhi sebelum menuju Ambarawa dan lain-lain untuk bertempur,” terang Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001).
Zuhri mengenal dengan baik pribadi kiai Subkhi. Ia kerap bertemu dengan ulama itu ketika bertandang ke Parakan sebagai Komisaris Daerah Ansor. “Beliau selalu turut hadir mendengarkan ceramah dan kursus yang aku berikan,” katanya.
Kiai Subkhi, ulama kampung di masa-masa mempertahankan kemerdekaan itu, namanya tersohor di kalangan kelaskaran dan TKR. Pada awal-awal kemerdekaan ketika Sekutu (yang diboncengi tentara Belanda) datang ke Indonesia setelah Jepang bertekuk lutut dalam Perang Dunia II. Anggota TKR maupun anggota kelaskaran berbondong-bondong ke Parakan dengan berjalan kaki, ada yang menggunakan truk, dan yang paling banyak menumpang kereta api.
“Kereta api hampir dipenuhi dengan badan-badan kelaskaran. Sejak dari Surabaya di sebelah timur, dari Cirebon di sebelah barat, dan Yogya di sebelah selatan. Laskar-laskar yang ribuan itu membanjiri kota Kawedanan Parakan,” terang Zuhri.
Ada dua stasiun besar untuk menuju ke Parakan pada masa itu, stasiun Yogyakarta dan Semarang. Dari Yogyakarta perjalanan ditempuh melalui jalur menuju Semarang dan kemudian berbelok ke kiri di stasiun Secang, Magelang. Sebaliknya dari Semarang perjalanan ditempuh menggunakan kereta bergerigi di Ambarawa dan belok ke kanan di Secang sebelum sampai stasiun akhir Parakan. Jalur kereta warisan kolonial untuk mengangkut tembakau itu kini telah mati dan belum direaktivasi.
Dalam ingatan Zuhri, ketika itu para kepala stasiun sering dibikin pusing oleh desakan laskar-laskar dan rakyat yang meminta kereta api istimewa untuk membawa mereka menuju ke Parakan.
“Jika saja permintaan dan desakan mereka tak diindahkan, stasiun bisa diserbu rakyat yang telah sangat berang dengan bambu runcing di tangannya. Mau tidak mau, kepala-kepala stasiun harus menyusun formasi kereta api luar biasa untuk memberangkatkan mereka menuju Parakan. Bisa dibayangkan, betapa kacau balaunya perjalanan kereta api dengan frekuensi yang tak bisa dihitung setiap harinya.”
Mereka datang ke Parakan membawa bambu runcing untuk kemudian disepuh atau didoakan oleh Kiai Subkhi dan ulama-ulama Parakan lainnya.
“Diperoleh keterangan bahwa para tamu yang datang ke Parakan untuk menyepuh bambu runcing tidak kurang dari 10 ribu orang tiap harinya,” terang Samsul Munir Amin di Karomah para Kiai (2008). Jumlah yang sangat fantastis, mungkin terlalu optimis. Perkiraan setengahnya dari jumlah 10 ribu orang per hari saja sudah luar biasa.
Para laskar dan tentara ini memadati stasiun dan masjid Kauman Parakan. Zuhri di bukunya itu, lagi-lagi memberitahu, “Sebelum berangkat ke medan pertempuran, sambil berbaris dengan bambu runcingnya masing-masing, mereka diberkahi oleh Kiai Subkhi dengan doanya”.
“Bismi Allahi,
Ya Hafidzu, Allah Akbar
Dengan Nama Allah SWT
Ya Tuhan Maha Pelindung, Allah Maha Besar!”
Entah bagaimana doa itu bekerja di batin para pejuang, tapi terang Zuhri, “Setelah memperoleh doa dari Kiai Subkhi, anak-anak ini mempunyai kebulatan hati tak tergoyahkan menuju pertempuran.”
Bukan hanya para anggota TKR dan Hizbullah saja yang meminta didoakan kiai Subkhi. Pendiri Hizbullah, Wahid Hasyim, putera mendiang Hasyim Asyari dan Menteri Agama pertama, juga pernah berguru kepada Kiai sepuh tersebut.
“Ketika KH A. Wahid Hasyim hendak meninggalkan Parakan, beliau berpesan kepadaku agar aku sering-sering ada di Parakan. Agar kewaspadaan lebih dipertinggi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa spion-spion Belanda tersebar di mana-mana,” jelas Zuhri.
Setelah meninggalkan pondok dari Parakan, Wahid Hasyim bersama-sama dengan ulama-ulama lain akhirnya mengeluarkan Resolusi Jihad Sabililah pada 22 Oktober 1945.
Benyamin Fleming Intan dalam “Public Religion" and the Pancasila-Based State of Indonesia (2006) menyebutkan bahwa Resolusi Jihad itu merupakan komitmen umat islam terhadap nasionalisme Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan.
Sementara Ahmad Zahro dalam Tradisi Intelektual NU (2004) memberikan tambahan keterangan bahwa resolusi jihad “merupakan hasil keputusan rapat konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura”. Keputusan penting dari rapat itu pada intinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar mengambil tindakan nyata melawan Belanda.
Pengambilan sikap terang-terangan untuk menantang Sekutu—yang diboncengi Belanda—ini merupakan bentuk yang paling membumi dari konsep ijtihad dan mujahadah menurut para ulama NU. Jihad yang dimaksud sama sekali tidak dimaksudkan membela agama semata, tetapi untuk membela Tanah Air dan bangsa, demikian jelas Ahmad Baso dalam NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundametalisme Islam & Fundamentalisme Neo-Liberal (2006).
Pada akhirnya sikap membela Tanah Air yang bersifat transenden ditambah dengan doa para kiai sepuh itu membuat para pejuang tanpa rasa takut pergi ke medan laga. Maka tak ayal lagi mereka berani membunuh Mallaby dan menantang 24 ribu tentara Gurkha, 21 tank Sherman, 24 pesawat tempur dan empat kapal lain sembari menyerukan, “Allah Akbar”.