Menuju konten utama

Mengingat Pahlawan, Belajar Kepada Tindakan

Masihkah kita memerlukan pahlawan dan kepahlawanan? Mengapa pahlawan dan kepahlawanan tak pernah absen dari masa kini?

Mengingat Pahlawan, Belajar Kepada Tindakan
#SpesialTirtoID Hari Pahlawan 10 November

tirto.id - Lebih mudah belajar dari tindakan ketimbang teori. Terhadap teori, seseorang menghadapi abstraksi yang -- betapa pun itu dirumuskan dari kenyataan -- membutuhkan kemampuan menembus kerumitan bahasa agar bisa membumikannya melalui tubuh untuk berbuat sesuatu. Terhadap tindakan, seseorang dapat langsung mengukur kemungkinan dan ketidakmungkinan untuk dipraktikkannya sendiri.

Tindakan sendiri nyaris selalu tentang sesuatu yang telah terjadi, sudah dilakukan -- pendeknya: berlangsung pada masa yang sudah lewat. Entah itu lima menit yang lalu atau seribu tahun silam. Maka lebih mudah memanggil masa lalu ketimbang menarik masa depan tiap kali hari ini dirasa buruk, suram, dan tidak menyenangkan. Pada masa lalu itu, orang dapat menarik tindakan-tindakan yang dianggap hebat, penting, menentukan dan sudah terbukti. Sedangkan pada masa depan, orang hanya bisa mereka-reka, meraba-raba, sebab ia masih bersifat teori, masih berbentuk abstraksi.

Ketika seseorang lebih memilih berpaling pada masa lalu, karena masa kini yang tidak enak dan tidak memuaskan, ia sesungguhnya sedang merindukan sesuatu yang hilang, hal ihwal yang ada pada masa lalu tapi raib pada masa kini. Inilah yang dimaksud nostalgia yang, dalam berbagai rujukan, berarti kerinduan pada rumah; juga rindu hal-hal di masa lalu; atau ingatan pada masa silam yang solid dan menyenangkan. Di sana tersirat rasa sakit karena kehilangan sesuatu yang ideal (nostalgia berakar dari kata Yunani Kuno, “nostos”, rindu pada rumah dan kampung halaman, dan “algos”, rasa sakit, duka).

Tidak ada kehilangan terhadap masa depan, sebab ia belum terjadi, masih serupa rencana dan rancangan. Entah itu berupa khayalan yang lebih mirip doa pengharapan, maupun yang berbentuk visi yang sudah dirincikan melalui metode tertentu bernama ideologi. Tidak heran jika kepahlawanan lebih populer dirujuk ketimbang pemikiran dan nostalgia lebih nyaman ditengok ketimbang utopia.

Alih-alih merujuk teori tentang asketisme, katakanlah mesu budi dalam piwulang ala Serat Wedhatama, orang lebih mudah merujuk cerita tentang Bung Hatta yang sederhana, yang sampai matinya tak sanggup membeli sepatu bally, saat kesal dengan prilaku pejabat dan elit penguasa yang hidup mewah melalui korupsi. Tentu lebih mudah merujuk Bung Karno ketimbang pemikiran -- misalnya-- Paul Tillich soal keberanian saat hendak mengkritik pemerintah yang tak berani mengambil sikap yang terang dan konkret dalam soal Freeport.

Masa lalu itulah, terutama melalui tindakan-tindakan menentukan dari para tokoh atau pribadi besar, yang disebut Hannah Arendt sebagai "seberkas cahaya". Pada salah satu paragraf paling mengesankan dalam buku Man in the Dark Times, buku yang menguraikan riwayat beberapa tokoh penting dengan teknik eksposisi yang intens sekaligus tajam, Arendt menulis:

“Bahkan dalam kegelapan yang paling gulita sekali pun kita punya hak untuk mengharapkan seberkas cahaya, dan seberkas cahaya semacam itu akan lebih banyak datang bukan terutama dari teori dan konsep-konsep, akan tetapi dari sinar yang tak pasti, berpendaran, dan sering kali lemah lembut yang telah dibiaskan oleh pribadi-pribadi besar dalam hidup dan karyanya, yang mereka pancarkan sepanjang rentang waktu yang diberikah oleh hidup kepadanya."

Masalahnya, kita tak dapat melulu menengok pada masa lalu karena bisa membuat masa kini menjadi remeh dan tindakan-tindakan hari ini tampak sebagai remah. Jika pahlawan dan kepahlawanan masih dibutuhkan, kita butuh ribuan lagi para pahlawan dan jutaan tindakan kepahlawanan yang mungkin tak bertindak seperti para superhero, melainkan berbuat sesuatu yang biasa, sehari-hari, sesuatu yang sederhana dan bersahaja.

Sanento Yuliman, orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor seni rupa, menjelaskan hal itu dengan satu kalimat dalam esainya yang menarik, "Di Bawah Naungan Para Pahlawan". Tulis Sanento: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa.”

Imajinasi ini membuka diri pada pentingnya sikap, tindakan atau pekerjaan biasa yang mungkin tidak terlampau gagah dan heroik, sesuatu yang tak bersifat epik yang berdaya auratik. Kita butuh itu justru karena persoalan yang dihadapi Indonesia amatlah banyak, bertumpuk, beragam bidang dan aspek. Kita tak bisa lagi hanya berharap pada Presiden, Kapolri, atau seorang Ketua KPK – pendeknya “orang-orang penting” atau nama-nama besar; sebab sejarah Indonesia tampaknya tidak lagi ditentukan orang-orang besar seperti yang dipercaya Thomas Carlyle.

Ini akan menggantikan narasi pahlawan dan kepahlawan yang beraura epikal yang membuat pribadi-pribadi masa kini yang punya sumbangan kecil dan sederhana tak cukup diakui dan diberi tempat, karena ruang dan rasa hayat terima kasih itu sudah penuh diisi gambar para pahlawan yang tak terjamah dan telanjur wingit, keramat.

Itulah mengapa kami memutuskan menurunkan edisi khusus "Hari Pahlawan". Kami cukup sering menulis tentang sejarah. Karena pada dasarnya sejarah adalah kisah tentang tindakan-tindakan di masa lalu, maka dengan sendirinya kami menulis tentang manusia-manusia yang bertindak di masa lalu juga. Secara berkala, minimal satu dalam sepekan, nama-nama dari masa lalu dihadirkan kembali dalam naskah-naskah yang kami terbitkan.

Tentu saja nama-nama besar mendapat porsi istimewa, tapi cukup sering juga kami menghadirkan nama-nama "minor" dalam sejarah negeri ini. Dari Madna dan Mima Saina yang merawat seorang bayi Yahudi dari kejaran NAZI, John Lie, hingga Margonda dan Lembong yang lebih terkenal karena mendapat kehormatan dijadikan nama jalan.

Menyambut Hari Pahlawan tahun ini, kami memutuskan untuk menurunkan edisi khusus yang membicarakan tema kepahlawanan. Ada 10 nama yang kami bahas secara khusus, dari Tirtoadhisoerjo yang dari sanalah kami mendapatkan inspirasi, hingga Wikana, H. Mutahar, Rohana Kudus, Laksamana Maeda, Goerge McTurner Kahin, Kyai Subkhi, Amir Hamzah, Maladi hingga Imam Sjafe'i yang tindakan kepahlawanannya pada masa revolusi tak membuatnya "kapok" untuk menjauh dari akar hidupnya sebagai orang yang tumbuh di lingkungan dunia hitam.

Pada 10 November nanti, kami juga akan menurunkan empat laporan mengenai pertempuran Surabaya pada November 1945 yang memang menjadi muasal Hari Pahlawan. Setelah itu, kami juga akan mengupas kiprah empat anak muda yang kami anggap punya peran yang berarti bagi kehidupan hari ini.

Masa lalu dan masa kini coba ditautkan sebagai sesuatu yang saling beririsan, tumpang tindih, atau mungkin bertumbukan. Kami percaya, "seberkas cahaya" yang dipendarkan tindakan orang-orang dari masa lalu tak akan berarti tanpa tindakan-tindakan lanjutan pada hari ini. Agar tidak sekadar mengelap-lap peti di gudang yang telah berdebu, melainkan juga merawat -- dengan cara membicarakannya -- sesuatu yang berarti dari masa kini.

Apakah nama-nama yang kami tulis merupakan nama-nama yang kami rekomendasikan untuk menjadi Pahlawan Nasional yang baru?

Sama sekali tidak. Selain karena kami sudah sering menuliskan kisah dan perbuatan nama-nama dari masa lalu, sehingga edisi khusus Hari Pahlawan ini hanyalah melanjutkan sesuatu yang telah menjadi rutin. Kami juga akan terus melakukannya di hari-hari yang lain (dalam edisi khusus maupun tulisan reguler). Tidak hanya nama-nama besar, tapi juga nama-nama minor, orang-orang kecil, yang melakukan tindakan sederhana yang ternyata berarti.

Kami juga berpandangan bahwa kepahlawanan perlu dibicarakan dengan cara yang lebih dingin dan bukan sebagai sesuatu yang wingit, suci, keramat. Melekatkan kata "nasional" di belakang kata "pahlawan" akan membuat seseorang (dan tindakannya di masa lalu) dilekati status "resmi". Sering kali hal itu justru membuat sebuah nama menjadi sulit untuk didiskusikan ulang karena sudah dikunci keluhuran dan kemuliaannya.

Dengan inilah kami mencoba mensyukuri kehadiran orang-orang besar yang bertindak hebat pada saat yang tepat dan dibutuhkan dalam sejarah, sekaligus hendak berterima kasih pada tindakan-tindakan sepele generasi sekarang, di zaman kini, yang ternyata penting dan berharga.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Zen RS

tirto.id - Indepth
Reporter: Zen RS
Penulis: Zen RS
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti