tirto.id - Hampir semua yang pernah mengenyam jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga Menengah Atas tidak asing bahkan hafal betul dengan himne yang membangkitkan kesyahduan rasa nasionalisme berjudul Syukur.
Himne lagu rasa syukur atas negara baru ini dibuat tahun 1944, bak ramalan yang tepat sasaran ketika melihat kemerdekaan RI sudah dekat. Benar saja, proklamasi bisa dikumandangkan pada 1945 dan di tahun yang sama, himne ini diperkenalkan ke publik sebagai benar ungkapan rasa syukur atas kemerdekaan.
Menarik, himne lagu tersebut dibuat ketika penciptanya berada di toilet Hotel Garuda, Yogyakarta. Ia sekamar dengan Hoegeng yang kelak menjadi Kapolri terbersih itu. Hoegeng membantu mencarikan secarik kertas untuk luapan ide yang mendadak. Sebuah lagu syukur tercipta dari toilet hotel.
Setahun berikutnya, lagu mars bernuansa semangat kemerdekaan hadir kembali yang berjudul Hari Merdeka. Lagu ini juga tidak kalah populernya terutama diputar dan dilantunkan saat upacara hari kemerdekaan di berbagai daerah, baik instansi negeri, swasta hingga komunitas masyarakat sampai saat ini. Dalam kolom pencipta himne dan mars lagu tersebut, ada seseorang bernama Husein Mutahar tercantum.
Sejarah telah menunjukkan bahwa musik berperan membentuk tujuan dan sasaran pada seseorang untuk bergerak ke arah identitas kolektif, nasionalisme budaya, hingga kemerdekaan politik. Sama juga halnya lagu-lagu ciptaan Husein Mutahar tersebut.
Sosok Husein Mutahar dalam kancah sejarah populer memang terdengar samar-samar, ia kalah pamor dibanding Wage Rudolf Supratman yang karyanya telah menjadi lagu nasional resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia juga tidak suka difoto, selalu memalingkan wajah dan berusaha bercakap-cakap agar hasil foto tak tampak wajah dari depan. Padahal, bukan hanya seorang pencipta lagu kebangsaan, jejak langkahnya telah mewarnai peristiwa penting sejak tahun-tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Mutahar lahir di Semarang, 5 Agustus 1916. Dia lulusan sekolah menengah atas zaman kolonial, AMS bagian A (Pasti Alam). Mutahar sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, dari tahun 1946 sampai 1947. Di awal revolusi, Mutahar menjadi Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Yogyakarta pada 1945 hingga 1946.
Menyelamatkan Bendera Pusaka
Husein Mutahar adalah sekretaris dari Laksamana Muda Mohammad Nazir. Saat itu Nazir dan Mutahar mendampingi Bung Karno, kemudian Bung Karno mengingat Mutahar sebagai sopir yang mengemudikan mobilnya di Semarang beberapa hari setelah Pertempuran Lima Hari. Bung Karno sendiri kemudian meminta kepada Laksamana Nazir agar Mutahar menjadi ajudannya.
Pada 17 Agustus 1946, setahun setelah proklamasi kemerdekaan, upacara ulang tahun kemerdekaan diadakan di halaman Istana Gedung Agung Yogyakarta. Kala itu, Ibukota Indonesia berada di Yogyakarta. Mutahar yang saat itu di Yogyakarta sudah menjadi ajudan Presiden Sukarno diberi perintah untuk mempersiapkan upacara kenegaraan memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang kedua itu.
Husein Mutahar berpikir bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, maka pengibaran bendera lambang negara ini sebaiknya dilakukan oleh para pemuda yang mewakili daerah masing-masing di Indonesia. Ia kemudian menunjuk 5 orang pemuda yang terdiri dari 3 orang putri dan 2 orang putra sebagai perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta pada saat itu.
Tugas mereka adalah melaksanakan pengibaran Bendera Pusaka, yang kelak dikenal hingga kini sebagai Paskibraka. Cikal bakal paskibraka dimulai dari tugas Husein Mutahar ini. Lebih dari itu, sosok Husein Mutahar juga berperan dalam pengamanan Bendera Pusaka saat agresi militer Belanda kedua menghantam Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Saat itu, Mutahar dipanggil oleh Presiden Sukarno terkait penyelamatan Bendera Pusaka. Dalam percakapan dengan Mutahar seperti dikutip dari buku Cindy Adams, Penyambung Lidah Rakyat (1966), Bung Karno mengatakan, “dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu pribadi, untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu, ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh.
Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andai kata engkau gugur dalam menyelamatkan Bendera Pusaka ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”
Mendapat amanat besar yang langsung diutarakan oleh Bung Karno kepada dirinya, Mutahar terus berpikir bagaimana mengamankan Bendera Pusaka dari kemungkinan perampasan oleh tentara Belanda. Sedang di waktu bersamaan, bom berjatuhan terus terdengar.
Ia kemudian memutuskan untuk memisahkan kedua warna Bendera Pusaka tersebut yang dijahit oleh Ibu Fatmawati, istri Bung Karno. Setelah terpisah menjadi dua bagian, Mutahar memasukkannya ke dalama dua tas yang dimilikinya. Masing-masing ditempatkan di dasar tas tersebut dan ditumpuk dengan berbagai baju miliknya. Mutahar mengambil langkah tersebut karena berpikir bahwa jika dipisahkan, tidak lagi bisa disebut Bendera Pusaka dan akan dianggap sebagai secarik kain biasa.
Agresi Belanda tersebut berbuntut pada penangkapan dan diasingkannya Presiden Sukarno dan Bung Hatta. Bung Karno diasingkan ke Parapat, Sumatera sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka. Sedangkan Bung Hatta langsung dibawa ke Bangka. Sedangkan Mutahar dan beberapa staf kepresidenan dibawa ke Semarang menggunakan pesawat Dakota dan ditahan di sel. Saat menjadi tahanan kota, Mutahar berhasil melarikan diri dan menggunakan kapal laut bertolak ke Jakarta.
Sesampainya di Jakarta dalam pelariannya itu, Mutahar menginap di rumah Sutan Syahrir, dan belakangan ia kos di jalan Pegangsaan Timur nomor 43, rumah Kapolri pertama, Sukanto Tjokrodiatmodjo. Mutahar terus mencari informasi bagaimana caranya agar dapat segera mengembalikan Bendera Pusaka kepada Bung Karno.
Di suatu pagi sekitar pertengahan Juni 1948, Mutahar menerima pemberitahuan dari Soedjono mengenai surat pribadi Bung Karno yang memerintahkan agar Bendera Pusaka segera dapat diserahkan kembali kepada Presiden di Muntok, Bangka.
Presiden Sukarno meminta Mutahar untuk menyerahkan Bendera Pusaka itu kepada Soedjono terlebih dahulu. Ini beralasan karena pada saat itu hanya delegasi dari Republik Indonesia yang boleh mengunjungi Presiden di tempat pengasingan sesuai dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sekaligus menjaga kerahasiaan perjalanan Bendera Pusaka dari Jakarta menuju Bangka.
Begitulah akhir tugas Husein Mutahar dalam menyelamatkan Bendera Pusaka, yang juga menjahit kembali dua bagian Bendera Pusaka tersebut. Meminjam mesin jahit dari seorang istri dokter, Mutahar menjahit persis di lubang jahitan asli dan sekitar dua sentimeter dari ujung bendera ada sedikit kesalahan jahit. Bendera itu kemudian dibungkus kertas koran dan diserahkan kepada Soedjono.
Bung Karno sendiri, melalui pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Maha Putera pada tahun 1961 karena jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka.
Bapak Paskibraka
Perintah dari Presiden Sukarno saat Mutahar ditugaskan untuk mengurusi upacara kemerdekaan Indonesia yang kedua menjadi dasar selanjutnya dalam membentuk Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau kemudian dikenal Paskibraka.
Transisi kepemimpinan terjadi, Presiden Sukarno lengser lewat peristiwa 1965 disusul dengan kenaikan Jenderal Suharto menjadi pemimpin negara. Tahun 1967, Mutahar dipanggil oleh Suharto terkait penanganan masalah Bendera Pusaka. Menggunakan dasar-dasar pengalaman pelaksanaan tahun 1946 lalu, ia kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 kelompok, yaitu; kelompok 17 yang berfungsi sebagai pengiring atau pemandu, kelompok 8 sebagai pembawa serta inti, dan terakhir kelompok 45 sebagai pengawal.
Formasi tersebut kemudian dicoba pada upacara kemerdekaan Indonesia tahun 1968. Petugas pengerek Bendera Pusaka adalah sepasang pelajar remaja yang ditunjuk dari setiap Provinsi di Indonesia, namun karena saat itu tidak memungkinkan memanggil dari tiap provinsi karena adanya kendala, maka untuk melengkapi formasi dipakailah para anggota pasukan di tahun 1967.
Karena kondisi Bendera Pusaka yang sudah cukup tua, Mutahar diminta pendapat oleh Suharto tentang pengibaran Bendera Pusaka tersebut. Ia menyarankan agar sekali lagi dikibarkan pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1968 sebelum kemudian diganti duplikat.
Penyerahan ini kemudian dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 1969, di Istana Negara Jakarta. Dalam upacara ini, duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi Naskah Proklamasi oleh Suharto diserahkan kepada seluruh Gubernur atau Kepala Daerah Tingkat I di Indonesia dan selanjutnya kedua benda tersebut juga di bagikan ke Daerah Tingkat II. Hal ini juga yang kemudian menjadi dasar bahwa Paskibraka hanya ada di 3 tingkat yaitu Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Husein Mutahar juga pencipta himne Pramuka, lengkap dengan kiprah gerakan kepanduan yang kemudian ia menjadi akrab disapa dengan panggilan “Kak Mut”. Khas panggilan anggota pramuka kepada pemandunya. Utusan menjadi dua besar bagi Indonesia juga pernah diterimanya, tepatnya pada tahun 1969 hingga 1973 ia menjadi duta besar Indonesia untuk Vatikan.
Lagu karya terakhirnya berjudul Dirgahayu Indonesiaku, yang sekaligus menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Dalam laporan Bondan Winarno, Mutahar adalah penggemar berat musik klasik. Ia hampir selalu hadir pada setiap pergelaran musik di Jakarta, dan karena itulah Addie MS dari Twilite Orchestra tak pernah lupa mengundang Mutahar dalam pementasannya. Ia spesialis himne, puncaknya adalah karyanya berjudul Syukur yang hampir setiap malam didengar sebagai penutup siaran TVRI.
Mutahar menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 Juni 2014, tepat 5 tahun silam di kediaman anak angkatnya, Sanyoto, di Jalan Damai Raya Nomor 20, Cipete Jakarta Selatan. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan atas pilihannya sendiri. Padahal dia layak dimakamkan di Taman Makam Kalibata.
====
Artikel ini pertama kali tayang di Tirto pada Juni 2016.
Penulis: Tony Firman
Editor: Zen RS