Menuju konten utama
Mozaik

Mohammed Aziz, Mercusuar Literasi dan Ketahanan di Jantung Rabat

Puluhan tahun lalu, Mohammed Aziz putus sekolah. Ketekunannya membaca dan berdagang buku adalah caranya membalas dendam pada masa kecilnya yang suram.

Mohammed Aziz, Mercusuar Literasi dan Ketahanan di Jantung Rabat
HEADER MOZAIK Mercusuar Literasi di Jantung Rabat. tirto.id/Tino

tirto.id - Di tengah teriknya Rabat yang mulai menyengat, pria tua di bilik kusen pintu toko itu asik membaca buku, sementara ribuan tumpukan buku mengitarinya di toko berukuran dua setengah meter persegi.

Ratusan buku lainnya berserakan di sekitar tangga toko, sebagian lagi bahkan memakan jalan jantung kota tua. Ia akan berhenti membaca hanya saat makan, merokok, salat, dan melayani pelanggan.

Pemandangan ia membaca di bilik kusen pintu merupakan tengara Mohammed V Avenue dalam empat dekade terakhir. Lebih 4000-an buku yang menjadi koleksinya dalam berbagai bahasa dan tentu saja ia sudah melahap semuanya.

Mohammed Aziz, pria tua berusia 76 tahun itu mendedikasikan umurnya untuk menyebarkan pengetahuan. Kecintaannya terhadap literatur membuatnya jadi inspirasi bagi banyak orang.

Terinspirasi oleh perjalanan pribadinya, toko buku Mohammed Aziz berfungsi sebagai mercusuar literasi dan ketahanan di Rabat, yang mewujudkan dedikasi seumur hidupnya terhadap membaca.

Dilatari Kegagalan di Masa Kecil

Kondisi pendidikan di Maroko telah mengalami peningkatan dalam 55 tahun terakhir. Tingkat buta huruf menurun dari 87 persen pada tahun 1960 menjadi 32 persen pada tahun 2014. Masalah utama dalam pendidikan di Maroko adalah persentase siswa yang tidak menyelesaikan sekolah.

"Biaya sekolah memengaruhi keluarga, terutama karena keluarga miskin menjadi bagian dari perekonomian konsumen," tulis Daniel A. Wagner dalam buku Literacy, Culture and Development– Becoming Literate in Morocco (1993:59).

Setiap tahun biaya kian mahal. Tingkat kelas yang lebih tinggi membutuhkan buku lama, maka itu lebih mahal. Sebab lebih banyak buku, sehingga jumlah dan variasi mata pelajaran yang dipelajari lebih banyak.

"Jika memungkinkan, keluarga melestarikan dan mewariskan buku dari kakak ke adik, dan teman sekelas terkadang mengumpulkan sumber daya mereka dan membeli buku bersama," sambungnya.

Seturut USAID, hanya 53 persen siswa yang terdaftar di sekolah menengah melanjutkan ke sekolah menengah atas. Masalah ini telah dialami oleh Aziz 50 tahun yang lalu dan masih terjadi hingga sekarang.

Saat usia enam tahun, Aziz sudah yatim piatu dan harus bertahan hidup dengan menjual ikan, hasil tangkapannya dari memancing. Setelah lulus SMP, ia gagal menyelesaikan SMA karena menyadari semakin hari buku pelajaran makin mahal.

Warsa 1963, ia mulai menjual buku bermodalkan permadani dan sembilan buah buku di bawah naungan sebuah pohon.

"Ini adalah bagaimana saya membalas dendam pada masa kecil saya, situasi saya, dan kemiskinan saya," ujarnya dalam wawancara dengan Morroco World News.

Aziz memulai kisahnya di Medina, Rabat, pada tahun 1967 di bangunan permanen. Dengan tekad kuat, dia membuka toko buku kecil di sudut jalan kota tua. Meskipun awalnya menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan, ia tidak menyerah.

Dalam perjalanannya sebagai penjual buku, Aziz tidak hanya menjual buku-buku biasa. Dia juga aktif mengumpulkan buku-buku langka dan koleksi klasik yang sulit didapatkan oleh pembaca. Hal tersebut membuat toko bukunya menjadi tempat yang dicari oleh para pecinta buku yang haus akan pengetahuan.

Di tokonya, pelanggan dapat menemukan beragam koleksi buku, dari yang langka hingga buku modern, termasuk majalah, tabloid, hingga teks matematika, sains, agama, dan kedokteran.

Keberhasilan Aziz sebagai penjual buku tidak lepas dari keuletannya dalam menjalani bisnis ini.

Meskipun menghadapi persaingan yang ketat dari industri modern seperti e-book dan toko buku besar, ia tetap setia dengan prinsipnya untuk menyediakan buku-buku berkualitas dan memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggannya, sehingga membuatnya berhasil bertahan dan tetap eksis dalam dunia bisnis buku selama puluhan tahun.

Keberadaannya tidak hanya dikenal sebagai seorang penjual buku, tetapi juga sebagai seorang tokoh yang peduli terhadap perkembangan sosial dan budaya di Rabat.

"Hingga Semua Orang Dapat Membaca"

Meskipun usianya sudah tidak lagi muda, semangat Mohammed Aziz dalam menjalani profesi sebagai penjual buku tidak pernah surut. Ia tetap aktif mencari buku-buku baru, berkeliling, membaca, dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi agar toko bukunya tetap relevan dan mampu bersaing.

Aziz tak tinggal diam. Selain toko buku fisiknya, ia juga menjualnya di secara daring di Facebook dan Tik Tok, terhubung dengan khalayak yang lebih luas dan memberikan informasi tentang buku-buku yang tersedia, buku baru, dan penawaran khusus.

Semangatnya dalam menyebarkan pengetahuan dan kecintaannya terhadap literatur telah menjadikan dunia penjualan buku menjadi lebih berwarna, serta memberikan manfaat yang besar bagi generasi muda Maroko dalam memperluas wawasan dan pengetahuan.

Aziz mengungkapkan rasa frustrasinya atas tingginya angka buta huruf di Maroko. Alih-alih melihat anak-anak sekolah atau membaca, kesehariannya banyak dipertontonkan mereka sedang bekerja di toko atau sedang bermain dalam gang-gang di Medina.

Karena itu ia akan tetap berkomitmen untuk menjaga tokonya tetap buka dan menerima siapapun yang ingin belajar.

"Saya akan berada di sini sampai semua orang dapat membaca," tukasnya.

INFOGRAFIK MOZAIK Mercusuar Literasi di Jantung Rabat

INFOGRAFIK MOZAIK Mercusuar Literasi di Jantung Rabat. tirto.id/Tino

Dia juga dikenal gigih dalam mempromosikan membaca dan sastra di lingkup sekitarnya, mengadakan acara dan diskusi buku di tokonya sebagai wadah dalam menumbuhkan kecintaan terhadap membaca dan sastra, terbuka untuk berbagai kalangan.

Menjelang azan berkumandang dari masjid terdekat, ia kerap membaca Al-Quran berwarna merah kesayangannya. Ia berpendapat bahwa bacaan adalah hadiah dari Tuhan dan itu merupakan sebuah perintah sebagaimana rujukannya pada surat Al-Alaq.

Begitu azan berkumandang, ia melangkah menunaikan kewajiban, sementara buku-bukunya di kios dibiarkan begitu saja. Ia meyakini tidak akan ada pembaca buku yang mencuri dan pencuri biasanya tidak membaca buku.

Toko Aziz telah menjadi pusat bagi orang-orang dari berbagai latar belakang, memungkinkannya untuk belajar bahasa secara mandiri. Kini ia menguasai beberapa bahasa seperti bahasa Arab standar, Prancis, dan Spanyol.

Sebagai penjual buku tertua di Rabat, Mohamed Aziz terus menerangi jalan bagi generasi pembaca masa depan, mewujudkan kekuatan semangat dan dedikasi dalam melestarikan kecintaan terhadap jendela pengetahuan.

Meski terkenal dengan ketenangannya dalam melayani pelanggan, hanya ada dua hal yang akan membuatnya marah: melihat anak-anak bekerja daripada sekolah dan buku halaman yang hilang.

Baca juga artikel terkait LITERASI atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi