tirto.id - Sementara Eropa terpuruk di Abad Kegelapan, penduduk Baghdad sudah bisa membaca dan menulis. Ini adalah abad keemasan Dinasti Abbasiyah di bawah kekhalifahan Harun Al-Rasyid.
Para intelektual menjamur seiring hadirnya Baitul Hikmah, sebuah perpustakaan besar yang mengoleksi ribuan buku karya sastra, sains, dan filsafat. Termasuk koleksi buku kuno dan langka.
Perpustakaan juga menjadi ajang berdiskusi para cendekiawan. Mereka adalah orang-orang alim, penulis, sastrawan, alkemis, astronom, dan ilmuwan lainnya.
Sebagai lembaga penerjemahan, Baitul Hikmah setiap harinya memiliki ratusan manuskrip yang dikumpulkan dari berbagai wilayah dengan beragam bahasa, seperti Farsi, Syiria, Aram, Yunani, Ibrani, Sansekerta, Devnagari, dan bahasa lain untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dari sini lahir para pemikir ulung yang menguasai ilmu tafsir, hadits, maupun fikih. Juga ahli dari berbagai disiplin ilmu, seperti Al-Khawarizmi dalam ilmu matematika, Ar-Razi dalam ilmu kedokteran, Al-Fazari dalam ilmu astronomi, ada juga Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Al-Farabi dalam ilmu filsafat.
Dalam dunia sastra, lahir beberapa penyair dari berbagai kalangan. Mereka besar di jalan-jalan kota Baghdad. Ada juga yang beruntung menjadi penyair di istana kekhalifahan.
Di akhir pemerintahan Abbasiyah, lahir juga beberapa daerah kecil yang dikuasai oleh Imarah atau Emir.
Penyair Al-Mutanabbi muncul ke tengah khalayak dengan syair-syairnya yang menggugah. Ia berpengaruh dalam menciptakan berbagai diksi dan metafora dalam syair Arab yang mampu mengajak pendengar atau pembacanya untuk berimajinasi.
Selain diabadikan dalam karya-karyanya yang masih bisa dinikmati hingga sekarang, sebuah pasar buku di Baghdad menghormatinya sedemikian rupa sebagai wadah perkumpulan para kaum cendekia.
Dijuluki sebagai “Nabi”
Ia lahir dengan nama Abu Tayyib Ahmad bin Husain Al-Kindi pada tahun 915 di Kindah, Kuffah, Irak. Jika dirunut, keluarganya masih termasuk kalangan terpandang yang berasal dari keturunan Alawi Hasan, yakni keturunan yang nasabnya sampai kepada sahabat Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib.
Pernah dipenjara karena terlibat gerakan politik lokal, ia mulai menulis puisi-puisi awalnya dari penjara tersebut.
Setelah bebas, ia menjadi penyair pengembara ke berbagai wilayah, mulai dari Irak, Damaskus, Mesir, hingga Iran. Ia sempat menjadi penyair istananya Emir Syaif Al-Dawla di Suriah, Emir Abu Al-Misk Kafur di Mesir, dan Emir Adud Ad-Dawlah di Shiraz, Iran.
Di masa itu, percetakan buku juga berkembang pesat dengan hadirnya percetakan kertas dari rami yang diserap dari metode China.
Orang-orang mulai membaca karya dan mendengar orasinya.
Ia juga melantunkan qasidah--syair pujian dalam bahasa Arab yang memiliki struktur 20 hingga 100 bait-- dengan sangat baik. Dibalut dengan bahasa yang indah berpadukan resonansi yang dilantunkan, membuat orang-orang kagum ketika mendengarnya. Saat itulah ia mulai mendapat julukan “Al-Mutanabbi” yang kontroversial.
“Al-Mutanabbi” jika dimaknai adalah orang yang mengaku Nabi. Hal tersebut jelas melecehkan agama Islam. Tetapi akhirnya diterima banyak orang jika merujuk pada kemampuannya yang memikat ketika bersyair dan berorasi, layaknya sebuah wahyu yang diturunkan kepada para Nabi.
Dalam perjalanan kembali ke Irak, Al-Mutanabbi terbunuh dalam serangan yang dilakukan oleh para bandit.
Pasar Buku Al-Mutanabbi
Setelah rezim Saddam Husein runtuh, keamanan di Irak tidak lagi stabil. Milisi dan pemberontak banyak yang keluar dari sarangnya. Mereka mengincar kaum intelektual, termasuk yang berada di sekitar Pasar Buku Al-Mutanabbi.
Pada 2007, dikutip dari The Guardian, pasar sempat luluh lantak saat bom mobil meledak menewaskan 30 orang dan melukai 100 orang lainnya. Toko percetakan, lapak-lapak buku, kafe, dan kios-kios mengalami kerusakan parah.
Pemerintah Irak yang dibantu beberapa bank swasta kemudian merehabilitasinya beberapa bulan kemudian melalui Departemen Kebudayaan dengan biaya $100.000. Biaya tersebut termasuk kompensasi dan bantuan bagi para korban jiwa maupun yang terluka.
Banyak warga yang kemudian membangun solidaritas kepada pedagang buku. Mereka menyumbang buku-buku kepada pedagang yang tengah membangun kiosnya kembali.
Solidaritas juga datang dari penyair Beau Beausoleil yang membuat proyek The Al-Mutanabbi Street Coalition. Proyek ini menghubungkan berbagai seniman dan penulis dari berbagai negara. Mereka berbagi solidaritas dengan pedagang buku melalui karya yang dikumpulkan.
Setelah itu karya-karya tersebut disatukan menjadi buku yang disumbangkan ke Perpustakaan Nasional Irak di Baghdad.
Untuk alasan keamanan, akses ke pasar akhirnya hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki.
Perlahan, Pasar Buku Al-Mutanabbi bangkit dari keterpurukan.
Terletak di timur Sungai Tigris dan di tengah jalan kota Baghdad, Pasar Buku Al-Mutanabbi merupakan paru-paru budaya Irak. Kawasan ini sudah ada sejak Dinasti Abbasiyah sebagai wadah perkumpulan dialog lintas budaya.
Dinasti Utsmaniyah mengubahnya menjadi jalan modern pada tahun 1916 menjadikan area pasar sebagai kawasan pemerintahan, barak militer, kedai kopi, dan warung-warung makan.
Tahun 1932, Raja Faisal menamakannya sesuai nama penyair masyhur Irak, Al-Mutanabbi. Saat itu jalan sudah banyak dikelilingi restoran dan beberapa toko percetakan. Hanya sebagian kecil yang menjual buku yang letaknya masih di dalam gang gedung pinggir jalan.
Tahun 1950, beberapa penjual mulai menjajakan bukunya di pinggir jalan menjadikannya sebagai pasar buku terkenal sampai hari ini. Ditambah kehadiran para pedagang alat tulis, toko teh, dan tembakau membuat geliat ekonomi semakin hidup.
Di Pasar Al-Mutanabbi terdapat beberapa bangunan tua, salah satunya Kafe Shahbandar yang legendaris. Didirikan pada tahun 1917 oleh Abdel Madjid Al-Shahbandar, kafe ini dilanjutkan oleh generasi keturunannya sampai hari ini.
Para penulis, penyair, filsuf, politikus, pembangkang, turis, hingga komposer musik akan berkumpul dan berdiskusi di kafe ini sembari membaca koran, buku, atau majalah hasil buruan di pasar buku.
Dinding kafe dihiasi banyak foto berlatar Irak masa lampau. Pengunjung kerap mendiskusikannya untuk berbagi pandangan dan membedahnya dengan kondisi Irak kontemporer. Tak lupa mereka memesan teh hangat dan kopi sambil mengisap hookah.
Pertengahan tahun 1960-an, pemilik kafe melarang segala permainan domino atau kartu lainnya di dalam kafe.
Dikemas dengan kultur Irak dan Islam, tempat tersebut murni sebagai wadah pertemuan budaya sebagaimana kantung-kantung literasi yang bertebaran di masa Dinasti Abbasiyah.
Selain menggeliatnya budaya di Kafe Shahbandar, festival seni juga kerap digelar di Pasar Buku Al-Mutanabbi. Biasanya digelar malam hari menampilkan berbagai pagelaran seni, mulai dari pemutaran film, lomba syair, pameran lukis, hingga pagelaran musik. Sebagian besar mengangkat tema tentang kejayaan Irak masa lampau.
Festival tersebut memaksa para pedagang buku dan sejumlah kafe buka hingga larut malam. Uniknya, ketika pasar buku tutup, buku-buku akan dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan di malam hari. Para pedagang tak pernah merasa khawatir soal dagangannya, sebab di Irak ada ungkapan, “Pembaca buku tidak mencuri dan pencuri tidak membaca buku”.
Maraknya aktivitas di Jalan Al-Mutanabbi dengan pasar bukunya menandakan kembalinya kebangkitan budaya Irak.
Buku-buku langka, buku baru maupun bekas, hingga aneka majalah mudah ditemukan di Pasar Buku Al-Mutanabbi. Dari bahasa Arab, Inggris, Prancis, Kurdi, Persia, dan lainnya.
Budaya membaca masyarakat Irak memang terkenal seantero Arab sejak dulu. Sejak bernama Mesopotamia hingga Dinasti Abbasiyah. Sejak gempuran bangsa Mongol hingga dominasi Inggris. Sejak kediktatoran Saddam Husein hingga invasi AS, orang Irak tak berubah sebagai bangsa yang gemar membaca.
Maka tak heran ada pepatah Arab yang berbunyi:
“Mesir menulis, Lebanon menerbitkan, Irak membaca.”
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi