Menuju konten utama

Matinya Toko Buku

Gulung tikar tak hanya dialami Aksara, tapi banyak toko buku lain. Simak pendapat pecinta buku dan seorang pengusaha yang pernah memiliki toko buku.

Interior Aksara toko buku di Kemang. Foto/aksara.com

tirto.id - “Penjualan buku ritel tidak pernah mudah di Jakarta, atau di belahan mana pun di dunia,” demikian terpacak pada akun Instagram Aksara Indonesia.

Mereka menutup dua jaringannya, di Cilandak Townsquare (6 April 2018), dan Pacific Place (15 April 2018). Setelah 17 tahun berkiprah dan sempat melebarkan jaringan penjualannya di sejumlah tempat, Aksara akhirnya harus “balik kandang” ke Kemang, toko tersisa yang merupakan tempat lahirnya mereka.

“Di saat kami mengucapkan selamat tinggal pada toko kami di mal, babak baru menunggu. Lokasi kami yang asli di Kemang, sekarang tengah diubah menjadi pusat kegiatan perayaan seni, fotografi, sinema, kedai kopi dan tentunya buku,” tulis akun Instagram Aksara Indonesia.

Sejumlah warganet di Instagram dan Twitter mengomentari hal tersebut. Mereka menyayangkan, menyatakan kesedihan, dan berucap terima kasih.

“Aksara tutup ya? Sayang sekali..” tulis @rakprats.

Sementara @mreihanf menulis, “Sedih Aksara tutup, makin sedih ga bisa dateng pas diskon besar.”

“Sedih banget Aksara Citos sudah mau tutup, mana kelewat lagi sale-nya,” tulis @Afterdinner7pm.

Keniscayaan Perubahan Zaman

Aldo Zirsov, pemilik ribuan buku yang beberapa bukunya tersebut sempat raib saat dikirim dari Amerika Serikat di Indonesia, mengatakan bahwa tutupnya beberapa gerai Aksara merupakan sesuatu yang sudah bisa diprediksi.

Menurutnya, penutupan toko fisik untuk produk-produk cetak termasuk musik dan film, memang sudah berlangsung lama di seluruh belahan dunia seiring makin berkembangnya teknologi dan informasi. Apalagi sejumlah perusahaan daring raksasa seperti misalnya Amazon, menjadi ancaman yang serius bagi eksistensi toko fisik.

“Aksara sebenarnya bisa bertahan sampai tahun 2018 ini sudah cukup bagus juga, saya tidak tahu pemiliknya sampai subsidi seberapa banyak supaya dia bisa terus eksis. Tapi itu [tutup] sebenarnya sudah bisa diprediksi,” ujarnya.

Selain itu, Aldo menyebut bahwa jaringan bisnis juga menjadi salah satu faktor yang menentukan kekuatan sebuah toko fisik. Ia membandingkan Aksara dengan Periplus dan Kinokuniya yang merupakan ritel yang jaringannya internasional. Sementara Aksara yang hanya punya toko di Jakarta, pasarnya akan sangat terbatas.

Dalam persaingan penjualan buku (impor) yang telah begitu ramai, Aldo melihat Aksara tidak mengoptimalkan kanal daring yang hari ini menjadi keniscayaan.

“Kalau hanya konsumennya terbatas di Jakarta atau Jawa secara umum, online juga tidak genjot, saya enggak heran dia [Aksara] tutup sebenarnya, dari sisi bisnis,” ujar Aldo.

Sebagai peminat dan pembeli buku, ia beberapa kali sempat belanja di Aksara dan toko buku impor lainnya di Indonesia. Namun tambahnya, hari ini konsumen punya banyak pilihan untuk mendapatkan buku, termasuk buku-buku impor. Pembeli bisa mendapatkan buku dengan harga yang jauh lebih murah dengan membeli secara online.

“Asal kita mau sedikit bersabar saja. Toh, hanya dengan menunggu paling tidak tiga minggu, buku itu juga sampai,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa beberapa penjual buku daring yang bukan penerbitnya langsung, biasanya juga punya buku-buku bekas yang ditawarkan kepada calon pembeli, yang harganya tentu lebih jauh murah. Sementara toko buku fisik kadang tidak bisa kompromi dengan harga.

Masa depan penjualan buku, menurut Aldo, adalah toko daring yang independen dalam artian dikelola oleh satu atau dua orang saja. Mungkin bisa pasangan suami istri, keluarga, atau siapa pun yang intinya bisa menekan biaya pegawai dan tidak perlu sewa tempat.

Aksara kini tengah mempersiapkan sebuah konsep baru di tempat lamanya di Kemang. Mereka menyebutnya sebagai “pusat kegiatan perayaan seni, fotografi, sinema, kedai kopi dan tentunya buku”.

Menurut Aldo, jika memang konsep barunya benar seperti itu, tidak akan terlalu membantu dalam meningkatkan pengunjung dan pembeli. Alasannya, tempat seperti itu sudah terlalu banyak saingannya di Jakarta dan pasar milenial tidak pernah loyal dengan tempat.

“’Oke gue experience, sekali tempat selesai, besok gue pindah tempat lain.’ Itu dilemanya anak milenial. Anak zaman now bilangnya gitu. Hehehe..” ujarnya.

Sulitnya Berjualan Buku Impor

Apa yang disampaikan Aldo tentang situasi penjualan buku impor kiwari yang ceruk pasarnya mayoritas sudah dikuasai penjual daring, sehingga mendesak sejumlah toko buku fisik untuk segera gulung tikar, diutarakan juga oleh Richard Oh, yang dulu memiliki toko buku Quality Buyers (QB) World Books yang telah tutup.

Ia tak merasa kaget dengan kondisi Aksara hari ini. Menurutnya, persoalan menjual buku impor di Indonesia adalah karena tidak ada peraturan dan kesepakatan yang bisa mengembalikan buku ke penerbit.

Kondisi ini berbeda dengan di luar negeri. Ada sejumlah toko buku yang jika dalam beberapa bulan bukunya tidak laku, bisa dikembalikan ke penerbit.

“Kita di Indonesia enggak mungkin, karena kalau kita sudah pesan atau bukunya udah kita taruh dan enggak terjual, ya kita akan kumpul terus buku akhirnya. Stok yang enggak bisa dijual akibatnya akan menumpuk di gudang. Kalo dia numpuk, ya jadi discount dan cash flow jadi enggak lancar,” ungkapnya.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/04/17/kematian-toko-buku--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik Kematian toko buku" /

Penjualan lesu yang berakibat pada ketersediaan dana yang terbatas membuat uang tidak bisa diputar lagi untuk membeli buku baru, akhirnya akan merugi.

QB World Books yang sempat dijalankan oleh Richard mulanya dilakukan sebagai hobi. Selain itu, ia juga melihat potensi pasar dari para ekspatriat yang waktu itu jumlahnya cukup banyak. Namun, penjual buku impor di Indonesia yang semula sedikit, mulai bertambah satu per satu. Hal ini kemudian mulai menekan QB World Books, selain pasarnya yang juga mengecil seiring jumlah ekspatriat berkurang. Begitulah perkiraan Richard.

“Dan saya pikir membeli buku pun bukan prioritas kebanyakan orang kali, ya,” tambahnya.

Setelah bertahan selama tujuh tahun, QB World Books akhirnya tutup untuk menghindari kerugian yang semakin besar.

Tutum Rahanta, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), mengaku tidak heran dengan ditutupnya Aksara di Pacific Place dan Cilandak Townsquare. Menurutnya, seperti dilansir CNN Indonesia, bisnis ritel sangat rentan terhadap kemajuan teknologi, termasuk toko buku.

Selain itu, ia menambahkan bahwa Aksara yang menjual buku-buku impor yang harganya relatif mahal, tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat yang daya belinya belum pulih. Penjualan yang rendah, sementara beban sewa dan pegawai tidak bisa diimbangi oleh angka penjualan.

“Keadaan ini memang sudah tidak bisa dilawan lagi,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait TOKO BUKU atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani