Menuju konten utama

Memburu Label Best Seller

Sematan "best seller" memang keren. "Harga" penulis pun semakin mahal. Sayangnya, tak semua label best seller benar-benar diperoleh dengan jalan yang benar. Ini karena belum adanya standardisasi best seller di Indonesia.

Memburu Label Best Seller
Area penjualan buku bestseller [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Label best seller memang memberikan nilai plus. Konsumen otomatis tertarik manakala ada sebuah buku ada embel-embel best seller. Dalam pikiran konsumen, buku itu laris manis, sehingga ia tak boleh ketinggalan untuk membacanya. Buku pasti menarik manakala ada “best seller” yang disematkan. Benarkah demikian?

Buku best seller ternyata tidak selalu murni benar-benar meraih angka penjualan terbaik ataupun karena kualitasnya menjadi favorit pembaca. Ada hal-hal lain yang menyebabkan dia dinobatkan sebagai best seller. Salah satunya karena aksi borong oleh si penulis. Ada alasan prestise dan investasi di balik upaya tersebut.

Buku-buku best seller saat ini banyak didominasi oleh buku-buku motivasi. Salah satunya yang cukup populer adalah "Mimpi Sejuta Dolar" karya Merry Riana. Buku tersebut sudah dicetak hingga beberapa kali, dan dibuat dalam beragam edisi. Buku motivasi ini bahkan sudah difilmkan, sementara sang penulis Merry Riana laris manis sebagai pembicara motivasi yang wara-wiri di televisi.

Karya lain yang cukup terkenal sebagai best seller adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menembus angka lebih dari lima juta eksemplar di seluruh dunia. Ada novel cinta-cintaan berbau agama seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang menembus angka tertinggi hingga 400.000 eksemplar.

Dari kacamata penggemar novel, mungkin dua karya tersebut memang bagus sehingga banyak yang berminat. Namun, ada beberapa karya best seller yang penjualannya tidak berbanding lurus dengan kualitas isinya. Satrawan ternama, Putu Wijaya pernah menyinggung masalah ini. Posisi buku-buku fiksi di dunia hiburan yang menyenangkan atau dapat memenuhi pangsa pasarlah yang akan dibeli, sehingga disadari atau tidak, kecenderungan penulis era ini adalah menulis mengikuti tren pasar. Kualitas tidak lagi menjadi hal yang prioritas.

“Itu yang bikin best seller, sementara buku yang penting itu tersisih, tiga bulan tidak melewati seribu ya sudah buang saja,” ujar Putu saat berbincang dengan tirto.id.

Sastrawan dan budayawan yang terkenal lewat karya yang meneror mental ini mengritisi para pembeli buku di Indonesia yang masih berada di taraf hiburan. Buku-buku pop yang hanya menjual mimpi, nyatanya laris. Buku yang enak dibaca, membawa pesan dan amanah malah tersingkir. Soal tata bahasa, bukan lagi hal yang penting. Tentu saja ini bukan semata salah si penulis semata, tapi karena memang pasar menginginkannya.

Sembari tergelak, Putu berkata sinis, bahwa untuk menjadi pengarang populer tidak perlu menulis memakai EYD dan bahasa Indonesia yang benar. Cukup kata “elo-gue” dan berbagai macam bahasa gaul lainnya maka persaingan pasar akan dengan mudah ditembus.

“Buku banyak yang ruwet sekali tapi ngawur eksperimennya. Dibuat-buat saja asal imajinatif, tak ada bobotnya dan itu banyak sekarang,” ujarnya.

“Kamu tak perlu banyak baca, cukup berimajinasi dan jadilah Best seller,” kata Putu Wijaya lagi.

Investasi demi Best Seller

Best seller memang membuat bangga penulis dan juga penerbit. Namun, untuk mendapatkan sematan best seller pada sebuah buku di Indonesia sungguh tak memiliki dasar pasti. Bambang Trim, seorang penulis dan anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menyatakan, Indonesia tak memiliki asosiasi khusus untuk membuat standar best seller dari sebuah buku, sehingga aturan best seller dapat dibuat dengan standar masing-masing penerbit.

Hal ini berbeda dengan kondisi di beberapa negara maju. Inggris misalnya, memiliki asosiasi marketing yang sengaja menyurvei penjualan di jaringan toko buku terpercaya untuk mendapatkan standar best seller. Jika ada seorang penulis yang memanipulasi pembelian, misal dengan membeli sendiri karyanya di beberapa toko buku, maka sematan best seller-nya akan didiskualifikasi. Rebecca Wigood dalam bukunya "What Does It Take to be a Best Seller" (2007) menuliskan, para penerbit di Inggris menetapkan angka best seller untuk buku hard cover dengan angka 4.000 sampai 25.000 eksemplar per minggu.

Inggris memiliki daftar yang dikeluarkan majalah perbukuan bergengsi seperti Publisher Weekly untuk pelabelan best seller. Sementara Amerika Serikat, memiliki The New York Times Best seller List sebagai daftar terpercaya penyematan label Best seller. Contoh fakta ranking best seller yang dikeluarkanThe New York Times adalah biografi Steve Jobs yang menembus angka penjualan lebih dari 50.000 eksemplar. Atau Novel terkenal besutan J.K Rowling, Harry Poter yang tembus 1 juta eksemplar per tahun.

Aksi memanipulasi best seller seperti di atas tercatat pernah dilakukan oleh penulis buku The Discipline of Market Leaders di tahun 1955 yang membeli sendiri bukunya sebanyak 10.000 eksemplar di beberapa toko buku dan penjualannya dicatat oleh Bookscan. Aksi serupa lebih rentan terjadi di Indonesia karena tak ada standarisasinya.

“Indonesia tidak punya standar best seller, jadi orang bisa memanipulasi dengan mudah. Membeli sendiri bukunya di beberapa toko buku dan akhirnya buku tersebut naik tingkat ke rak best seller,” kata Bambang kepada tirto.id.

Penulis banyak uang “berinvestasi” membeli buku pada terbitan pertama sehingga langsung bisa menggondol best seller di cover depan buku. Walau mungkin bisa saja buku tersebut sudah menjadi best seller sebelumnya lewat self publishing, tetapi agaknya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Penerbit juga harus membuktikan lewat data penjualan sebelumnya yang tak diketahui publik.

Dalam tulisan pada blog pribadinya, Bambang menyindir penerbit seperti ini dengan mengatakan “Jika dibilang bercanda, mungkin penerbitnya berprasangka baik dan sudah berniat bahwa bukunya akan best seller sehingga dilabeli best seller. Namun, jelas ini adalah kebohongan kepada publik.”

Putu Wijaya, juga tak menampik praktik tawar menawar harga untu promosi penerbitan sudah lazim dilakukan oleh penerbit dan penulis. Istilahnya, penerbit memposisikan diri sebagai penolong dari para penulis, karena penerbit tidak yakin buku tersebut laku keras dan tak ingin menanggung risiko terlalu besar, maka terjadilah transaksi investasi rupiah kepada penerbit.

Tak tanggung-tanggung, jumlah “share duit” ini bisa mencapai puluhan juta rupiah dan dilakukan juga oleh penerbit-penerbit ternama. “Saya pernah ditawari tapi belum pernah terlibat,” ujarnya.

Para penulis biasanya terdorong melakukan segala cara agar mendapatkan gelar best seller karena prestise. Bagi mereka, mengeluarkan uang untuk membeli bukunya sendiri atau membeli cap best seller di cetakan pertama merupakan sebuah investasi. Sebab, kabarnya, jika sudah tercatat sebagai penulis buku best seller maka nama penulis akan cepat membumbung diikuti dengan serentetan undangan sebagai di beragam acara. Belum lagi dia akan ditunjuk untuk menjadi mentor ini dan itu. Ibaratnya, harga si penulis bisa menjadi semakin “mahal”.

Namun, dalam banyak kasus, penulis membeli pada cetakan pertama karena digunakan untuk kepentingan pribadi. Mereka ingin memberikannya kepada keluarga, kawan, para pemangku kepentingan, ataupun klien. Di satu sisi, pembelian buku oleh penulis merupakan sebuah jalan untuk membantu penerbit agar terhindar dari risiko tidak laku. Penerbit untung, penulis untung.

Sebagai penerbit ternama, Gramedia juga membenarkan adanya praktik pembelian buku oleh penulis sendiri. Dionisius Wisnu selaku Public Relation Gramedia pembelian itu tetap tercatat sebagai pembelian real.

“Misal penulisnya memang butuh 300 eksemplar, ya itu kondisi, bukan diakali. Sangat mungkin terjadi ada penulis yang butuh buku itu, hanya kadang, tidak banyak. Tidak bisa diprediksi dan digeneralisasi,” katanya kepada tirto.id.

Ia menampik adanya transaksi pembelian demi label best seller di Gramedia. Wisnu menyatakan terdapat kebijakan ketika penulis meminta promosi penempatan buku di wilayah di tengah toko atau tempat yang stategis maka akan dikenakan charge khusus untuk biaya promosi.

Gramedia sendiri menyatakan angka best seller berdasarkan jumlah penjualan, pada cetakan pertama jika dalam jangka waktu tiga bulan cetak ulang, minimal 3000 eksemplar maka dapat dikategorikan best seller.

Gramedia mungkin memiliki standar best seller. Lain lagi penerbit lainnya. Dengan tidak adanya standardisasi, maka penerbit sah-sah saja menyematkan best seller pada buku cetakannya. Itulah mengapa best seller merupakan hal yang mudah ditemui di buku-buku cetakan lokal. Beda dengan negara-negara yang sudah memiliki standar best seller, mungkin angkanya lebih ketat. Di negeri Paman Sam saja, dari sekitar 200.000 judul buku baru yang terbit setiap tahun, kurang dari 1 persen yang menjadi buku best seller.

Bagi penulis sejati, embel-embel best seller sebenarnya hanya “bonus”. Imbalan sesungguhnya adalah ketika karya dinikmati, diapresiasi, dan tentu saja…. tidak dibajak. Sungguh, itu sudah lebih dari cukup.

Baca juga artikel terkait PENERBIT BUKU atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti