tirto.id - Ada sebuah ruang yang tak tampak di balik layar biru yang menyinari mata kita sehari-hari. Bukan sebuah ruang yang terisi dari dinding, rak, dan buku-buku. Tetapi ruang yang tercipta dari kebisuan, kekosongan, dan jutaan data lewat ketukan jari kita di layar sentuh.
Begitulah gambaran kemudahan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) memberi kita berbagai informasi hari ini. Seperti jin botol modern, AI bisa kita minta melakukan tugas apa saja dengan hanya menuliskan kalimat perintah atau disebut prompt.
Kiwari, platform AI semakin beragam dan mudah digunakan. Gratis atau berbayar, asal pilih sesuai kebutuhan. Platform AI sendiri sudah banyak variannya: Meta AI, ChatGPT, Gemini, Claude, Jasper, Chatsonic dan banyak lagi. Kemampuannya pun kian rupa-rupa: menjawab pertanyaan, menggambar, membuat laporan keuangan, mengolah data, menerjemahkan, bahkan merangkum isi sebuah buku. Atau coba saja perintahkan AI menulis puisi: lumayan juga.
Teknologi AI tentu hadir untuk menjanjikan kemudahan bagi manusia dalam menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Namun, bukan berarti kemudahan itu datang tanpa kegamangan. AI, turut menggandeng kekhawatiran yang mampu mengubah kebiasaan manusia dalam mencari dan mencerna informasi. Terutama terkait tingkat literasi dan pemahaman masyarakat yang berpotensi ikut tergoncang oleh gelombang besar teknologi AI.
Rasa khawatir ini misalnya tercermin dari para pembaca buku dan pegiat literasi. Kehadiran AI yang tidak diiringi kebajikan bersikap, ditakutkan melahirkan jalan pintas. Informasi hanya didapat dari mesin pembelajar AI, sebab mencari sesuatu yang praktis, cepat, dan gratis. Hal ini membuat kegiatan membaca buku atau aktivitas literasi tradisional, menemui tantangan.
Seno GP, pendiri klub buku bernama Baca Buku Sejarah Bareng (BBSB), merasa sebagai perkembangan teknologi, kehadiran AI tentu tidak bisa kita ditolak. Seperti perkembangan teknologi lainnya, kata dia, semakin menolaknya, maka akan semakin tergilas oleh teknologi itu sendiri. Tentu saja, Seno mengungkap, ada kekhawatiran soal aktivitas literasi, terutama soal keinginan dan daya tahan masyarakat dalam membaca buku.
Menurut Seno, membaca buku memang membutuhkan waktu dan usaha. Semakin ke sini, yang tidak tahan membaca buku berubah mengkonsumsi konten-konten pendek gratis yang ada di media sosial. Ia menilai, harus ada batas-batas peraturan yang dibuat agar AI tidak serta-merta menguasai berbagai lini, bahkan menggantikan lapangan pekerjaan contohnya.
Namun, dia hakulyakin kegiatan membaca buku akan bertahan dan berkembang. Karena AI dinilai tidak akan mampu menggantikan sepenuhnya buku-buku.
“AI belum bisa menggantikan pikiran dan jiwa penulis. AI hanya memberikan apa yang sudah ada di mesin pencarian dan menggabungkannya,” ungkap Seno.
Pegiat literasi lainnya dari KUMMI (Kolektif untuk Menerjemahkan dan Menerbitkan dalam Bahasa Indonesia), Erika Rizqi, memandang, budaya membaca buku terbentuk dari berbagai faktor, tetapi utamanya yakni akses dan ekosistem yang mendukung. Sayangnya, kata dia, di Indonesia dua pilar yang menyangga budaya membaca buku itu tidak tersedia merata di semua daerah.
Maka dapat dibayangkan, ketika belum banyak masyarakat punya saluran mengakses buku, akses masyarakat kepada platform AI justru jauh lebih mudah. Mereka dapat mengaksesnya hanya lewat gawai di genggaman tangan. Tentu, hal itu menjadi kontradiktif dengan upaya meningkatkan literasi dan budaya membaca buku di masyarakat.
Erika menilai, AI sendiri menyediakan fitur untuk merangkum hal-hal yang dinilai algoritma sebagai sesuatu yang penting. Misalnya merangkum sebuah buku. Namun, hal ini membuat kontrol informasi yang ingin didapat tidak datang dari pembaca.
Padahal, saat kita membaca, otak kita dituntut untuk fokus. Tidak ada jalan pintas dalam membaca buku. Erika menegaskan, untuk paham isi buku, maka pembaca harus membuka lembar demi lembar halaman muka sampai ke sampul belakang.
Maka membaca dalam hal ini, tidak lagi menjadi sebuah perjalanan, melainkan kesimpulan yang sudah ditemukan sebelum pembaca melangkah. Di dalam dunia yang dikuasai oleh kecerdasan buatan, pertanyaan besar yang selalu ada dalam setiap bacaan jadi sekadar diselimuti suara yang tegas dan kaku — suara algoritma semata.
Membaca adalah Melawan
Dulu, membaca buku adalah bentuk kebebasan. Bebas untuk meraba labirin pikiran orang lain, bebas untuk mengacak-acak pemahaman kita sendiri, kebebasan untuk larut dalam pesona kata-kata. Namun AI, lewat ketelitian dan daya efisiensinya, menawarkan sebuah kenyamanan membaca yang baru. Menghapus semua lelah dalam pencarian ketika orang membaca buku. Merangkainya, menjadi hasil yang ringkas dan tanpa rasa.
Dosen Hukum dan Teknologi Digital, Sekolah Hukum, dan Studi Internasional Universitas Prasetiya Mulya, Fachry Hasani Habib, memandang, penggunaan AI di masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Mau tidak mau atau suka tidak suka, AI akan seperti teknologi disruptif sebelumnya, yang semakin massif dan berkembang.
Secara umum, Fachry menilai, banyak yang sudah menulis dan melakukan riset mengenai perkembangan teknologi digital terhadap kemampuan kognitif hingga kemampuan sosial manusia. Sebagai contoh, media sosial sangat mengubah bagaimana cara kita berinteraksi. Fachry yakin, sedikit atau banyak, perkembangan AI di dunia digital juga akan berpengaruh terhadap cara-cara manusia modern bermasyarakat.
Pengamatan pendidikan, Iman Zanatul Haeri, agaknya pesimistis dengan budaya membaca buku generasi muda saat ini. Ia menilai, perlu peran serius negara jika ingin budaya literasi masyarakat bisa terus berkembang di tengah gempuran teknologi AI. Misalnya, meregulasi AI dalam bidang pendidikan dengan bijak dan kajian yang mendalam.
“Pemerintah tidak bisa mengadakan kebijakan yang rutin atau moderat, kita harus ambil kebijakan yang sangat ekstrim,” kata Iman kepada reporter Tirto.
Iman menilai, derasnya arus informasi dan teknologi AI, orang-orang kini bisa menyebarkan informasi secara tidak utuh. Informasi dengan mudah didapat tanpa harus membaca buku. Ini merupakan suatu keadaan berbahaya yang dapat menyebabkan efek domino besar. AI, kata Iman, tidak bisa ditolak dan bukan ancaman masa depan. Maka, perlu hadir regulasi yang bisa membatasi penggunaan AI di masyarakat agar tidak disalahgunakan.
“Harus membatasi penggunaannya untuk generasi yang lebih muda. Saya mengatakan semakin ke bawah itu harus semakin dibatasi,” ucap Iman.
Penulis konten dan pegiat literasi, Khesedtov Bana, menilai, perkembangan AI sebetulnya bisa sangat membantu dalam pekerjaan sehari-hari. Namun, Bana melihat penggunaan AI kiwari, justru berlebih dan mengaburkan batasannya sebagai alat bantu. Ia sendiri lumayan khawatir dengan gelombang AI yang menerjang budaya literasi dan membaca buku.
Bana berharap budaya membaca buku dapat berkembang dan tidak tergerus teknologi. Ia menilai kebiasaan membaca memang tidak tumbuh dalam satu malam, tetapi bisa dipupuk. Membaca buku, kata Bana, punya banyak manfaat. Salah satunya yang sederhana namun amat penting adalah melatih fokus.
“Orang yang gemar membaca pasti punya attentionspan yang baik. Tidak mudah bosan, bahkan bisa menjadi pendengar yang aktif,” ungka Bana kepada reporter Tirto.
Begitulah, di dunia yang semakin penuh dengan informasi, manusia terjerat dalam pelukan data dan algoritma yang tak pernah memberi ruang untuk pertanyaan dan perhatian. Buku, yang dahulu merupakan jendela dunia, kini bisa menjadi sebatas objek yang dirangkum oleh algoritma.
Di zaman seperti ini, membaca buku adalah menantang waktu. Menantang algoritma yang ingin manusia cepat selesai, sedikit mengerti, mudah lupa. Mungkin pula, di era hegemoni AI, membaca adalah dialog dengan diri kita yang hampir hilang — diri yang lama digantikan citra dan kecepatan. Di luar sana, mesin terus bekerja. Mereka menyaring berita, menulis cerita, mempelajari data, hingga memproduksi maknanya sendiri.
Tetapi di sini, di tengah halaman buku yang sunyi, manusia akan tetap bertahan. Membaca serupa bentuk perlawanan, tak untuk menang, namun untuk menjadi manusia seutuhnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz