tirto.id - Ini kali ketiga ia ke sana. Pada kesempatan kedua, bersama rombongan kantornya, ia mendapati buku-buku yang tak dilihatnya di kesempatan pertama. Bukan, bukan terlewatkan olehnya. Ia telah mengelilingi semua tumpukan sejak pertama, dan sudah cukup hafal ada buku apa saja di tumpukan mana saja di seluruh pameran itu. Buku-buku yang baru dilihatnya di kesempatan kedua itu memang belum dikeluarkan penyelenggara dari kardusnya ketika pertama kali ia datang.
Ia berharap mendapatkan buku-buku lain di kali ketiga ini yang jauh lebih menarik daripada dua kesempatan sebelumnya untuk dibawanya pulang. Minimal, ia menemukan buku penting apa saja yang boleh jadi ia lewatkan.
Pukul 1.07 dinihari, taksi Uber yang mengantarnya dari Kemang tiba di lokasi. Ia segera turun, mendapati pemandangan yang tidak jauh berbeda dari kesempatan sebelumnya: masih ramai orang lalu-lalang, bahkan cukup banyak anak kecil, keluar-masuk tempat pameran.
"Masih rame aja," katanya kepada temannya.
Mereka masuk, mengambil troli, menyebar ke jurusan berbeda. Temannya ke tumpukan buku referensi, ia bergegas ke tumpukan sastra.
Tapi tak banyak yang menggugah minatnya. Tak ada buku-buku baru seperti yang diharapkannya. Ia melangkah gontai menelusuri nama-nama, judul-judul, yang tak mengundang seleranya. Ia baca-baca saja sekenanya paragraf pertama dan sampul belakang buku yang mungkin saja menarik, tapi tak seberapa yang ditaruhnya di keranjang—kebanyakan nama-nama baru baginya, dengan harapan itu cukup bagus dibaca.
Atau kunjungan ketiga ini akan sia-sia belaka, pikirnya.
Kunjungan pertamanya lebih mirip kekalapan. Menghabiskan uang sampai Rp4.200.000, hampir setengahnya adalah buku-buku yang pernah ia baca dalam versi e-book atau terjemahan bahasa Indonesia. Ia beli hanya karena harganya yang keterlaluan murahnya, Rp45.000, paling mahal Rp80.000. Total ia menggondol 68 buku, dua kardus, cukup untuk membuatnya menertawakan diri sendiri sambil berkata kepada teman-temannya, "Yang penting belanjanya dulu, bacanya urusan belakangan."
Setelah pembelian panik itu, ia sempat berpikir untuk tidak belanja buku lagi selama setahun ke depan. Sampai Big Bad Wolf Jakarta diadakan lagi. Tapi ia tak cukup kuat menahan godaan ketika rekan-rekan sekantornya berencana ke sana di hari keempat pameran. Kunjungan keduanya tidak jauh dari kekalapan gara-gara stok buku-buku yang baru dikeluakan panitia dari gudang, ia kembali merogoh kocek dalam-dalam. Membuatnya ingin berkunjung lagi ketika pameran dilaksanakan 24 jam di hari-hari terakhir.
"Kepalang tanggung, sekalian," katanya. "Siapa tahu buku-buku paling keren memang keluarnya di akhir, kayak polisi di film India.
Di sinilah ia sekarang, di tengah lautan buku dan manusia, dengan perasaan sedikit kecewa. Dinding triplek yang sebelumnya membatasi gudang dan tumpukan buku yang dipajang kini dihilangkan, pengunjung bahkan bisa mengakses langsung kardus-kardus yang teronggok. Hampir pukul dua pagi dan tempat itu masih sesak. Kalau berpapasan dengan sesama pembawa troli, salah satu harus mengalah agar tidak macet.
Seseorang menepuk bahunya. Aditia Purnomo, editor minumkopi.com menyapanya. Mereka lalu bercakap-cakap, tentang buku-buku yang mereka dapat.
"Tadi sebenarnya udah pengen balik," kata Aditia. "Tapi Antreannya panjang bener. Jiper saya." Ia melayangkan pandang ke arah antrean, benar saja, antrean itu mengular sampai ke sisi paling kiri gudang. Kira-kira dua ratusan manusia. Ia kelihangan nafsu untuk membayar. Aditia mengajaknya keluar untuk mengisap kretek.
Ia tak mau identitasnya dibuka di artikel ini.
Antusiasme Warga
Adalah pasangan suami-istri Andrew Yap dan Jacqueline Ng yang memiliki gagasan untuk menyelenggarakan Big Bad Wolf pada awal 2009 di Dataran Hamodal, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia. Berawal dari keprihatinan Andrew akan minat baca masyarakat Malaysia yang rendah, dan harga buku yang relatif mahal. Hal ini diinsafinya setelah tiga tahun mengelola toko buku kecil, Book Xcess.
Suatu hari, sepulang dari perjalanan luar negeri, ia menyampaikan gagasannya kepada sang istri untuk membeli buku-buku sisa yang biasanya menumpuk di gudang penerbit asing. Buku-buku yang harganya sudah jatuh itu kemudian dijual lagi di Malaysia dengan diskon hingga 80 persen dari harga asli. Setelah dua bulan berjualan cara ini, akhirnya tercetuslah ide "Big Bad Wolf" sebagai pameran untuk mengobral buku murah.
Ketika pertama kali menggelar obral buku ini, mereka masih meraba pasar. Jumlah buku yang diobral masih ratusan ribu. "Saya mempekerjakan 50 staf. Dari jumlah itu, hanya dua yang membaca buku. Kami menggelar dua kali pameran, Mei dan November. Buku (yang dijual) 120 ribu (eksemplar)," kata Jacqueline.
Sambutan publik Malaysia ternyata cukup meriah. Tiga tahun kemudian, jumlah buku yang ditawarkan melonjak hingga tiga juta eksemplar. Guinness Book of Records bahkan pada 2011 menetapkan Big Bad Wolf sebagai pameran buku terbesar di dunia. Para pembeli pun berdatangan dari Thailand dan Singapura.
Mei 20016, pameran itu diselenggarakan juga di ICE, BSD City, Indonesia. "Kami sebenarnya juga diundang ke Singapura. Tapi mereka sebetulnya tidak butuh kami, karena sistem pendidikan di sana cukup baik. Di Indonesia, buku masih seperti barang mewah. Akan lebih berguna jika kami datang ke Indonesia," kata Andrew.
Sambutan publik Jakarta pun tak kalah meriah. Menurut Uli Silalahi, Presiden Direktur PT Jaya Ritel, penyelenggara Big Bad Wolf Indonesia, selama 10 hari pameran, total pengunjung lebih dari 200 ribu orang. Itu artinya, rata-rata 20 ribu kunjungan per hari. Jumlah kunjungan yang luar biasa untuk ukuran pameran buku. Pada Jumat, 6 Mei, pengunjung bahkan harus antre sejak pintu masuk saking padatnya.
“Untuk mengangkut 1.800.000 buku dan sejumlah peralatan, kami memakai 47 kontainer,” kata Uli. “Setelah pameran berakhir, lebih dari 1.400.000 buku yang terjual. Tinggal 20 persen dari jumlah semula yang harus kami angkut.”
Angka kunjungan dan penjualan yang tinggi itu menunjukkan antusiasme yang luar biasa dari warga Jakarta. Uli pun merasa puas, dan optimistis untuk mengadakan pameran serupa tahun depan dengan jumlah buku yang lebih besar dan diskon yang lebih tinggi. “Di Malaysia, diskonnya 75 sampai 95 persen. Harganya lebih murah lagi. Di sini, diskonnya 60 sampai 80 persen. Kami belum bisa memberi diskon seperti di Malaysia. Tapi kalau pameran berikutnya ada keringanan bea masuk, mungkin diskon bisa lebih tinggi lagi,” kata Uli.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan diadakannya Big Bad Wolf di kota-kota besar lain di Indonesia, Uli masih belum yakin. Pihaknya masih menggodok kemungkinan itu. “Kami lihat dulu populasinya, potensi tingkat pembeliannya. Bandung dan Yogyakarta sepertinya belum bisa. Tapi kalau Surabaya, kami usahakan Oktober ini,” katanya.
Apakah antusiasme di Big Bad Wolf ini menunjukkan tingginya minat baca warga Jakarta? “Belum tentu, ya. Ini kan pasarnya kelas menengah, karena buku-buku yang dijual sebagian besar berbahasa asing. Tapi setidaknya kami turut mendukung program Kemendiknas, yaitu wajib membaca 15 menit setiap hari bagi siswa sekolah,” kata Uli.
Seperti yang disinggung Tokoh Kita di muka, “Yang penting belanjanya dulu, bacanya urusan belakangan.”
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti