tirto.id - Pada malam musim panas Agustus 1913, dentingan chip menggema di seantero Kasino Monte Carlo, Monako. Di setiap taruhan, terselip semacam doa, entah kepada siapa.
Di meja rolet, para petaruh berkerumun menatap sebutir bola putih yang mungkin saja akan mengubah nasib mereka. Namun, bola putih itu menolak untuk tunduk pada keinginan para petaruh. Seakan memiliki kesadaran layaknya manusia, bola kecil itu memutuskan untuk memberi mereka semua pelajaran.
Mulanya ia mendarat di kotak angka berwarna hitam. Berikutnya, hitam lagi. Lalu, hitam lagi. Selanjutnya, hitam lagi. Pada putaran kelima belas, bisik-bisik mulai menyebar ke seantero lantai. Pada putaran kedua puluh, degup jantung para petaruh makin kencang. Mereka tertawa canggung, dengan peluh dingin menetes di pelipis dan tangan yang makin erat menggenggam gepokan franc.
Hitam, hitam, hitam, dan hitam. Seakan ada magnet tersembunyi yang membuatnya hanya sudi berlabuh di kotak angka berwarna hitam. Di sekeliling meja, kerumunan kian ramai. Kabar burung itu benar. Ada bola mbalelo di meja rolet.
Di tengah ketegangan itu, nilai taruhan untuk warna merah makin meningkat. Dan tentu saja, hasrat untuk mereguk kemenangan itu makin meluap. Tumpukan franc yang dipertaruhkan kian tinggi. Setiap putaran disambut oleh napas yang tercekat dan harapan yang, anehnya, justru makin besar.
Namun, bola putih itu punya agenda lain. Malam itu bukan malam untuk kemenangan. Malam itu adalah malam untuk sebuah pelajaran yang, celakanya, lebih sering diabaikan, bahkan setelah satu abad lewat. Dua puluh enam kali berturut-turut bola putih itu hanya mendarat di kotak angka berwarna hitam. Jutaan franc melayang dari kantong dan dompet para petaruh. Mereka kalah sekalah-kalahnya; bukan kepada bandar, bukan karena kecurangan, tetapi karena pikiran mereka sendiri.
Malam itu, di Monte Carlo, terjadilah sebuah demonstrasi dari salah satu kegagalan kognitif kolektif paling masyhur sepanjang sejarah. Sebuah kegagalan monumental yang akhirnya diabadikan menjadi nama sebuah fallacy: The Gambler's Fallacy, dikenal juga dengan istilah The Monte Carlo Fallacy.
Sesat pikir jenis ini secara sederhana bisa digambarkan seperti demikian: jika sesuatu terjadi lebih sering daripada yang seharusnya—dalam kasus ini, bola rolet jatuh ke kotak angka hitam—hal tersebut akan lebih jarang terjadi di masa depan. Begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, setelah rentetan kegagalan menimpa secara beruntun, hasil sebaliknya tidak cuma mungkin terjadi, tetapi pasti terjadi dan tinggal menunggu waktu saja.
Fallacy ini adalah sebuah kebohongan yang diucapkan otak kepada manusia dan kita semua pernah memercayainya.
Manusia yang Terbuai Harapan
Rentetan keberuntungan—atau kemalangan—memang menggoda. Ada semacam cerita yang menarik kita masuk ke dalam rentetan tersebut. Lewat rentetan, atau streak, hal yang mestinya abstrak tiba-tiba saja menjadi lebih solid dan mudah digenggam, bahkan dicerna.
Dalam olahraga bola basket, misalnya, komentator-komentator lokal Indonesia punya satu istilah untuk menggambarkan streak semacam itu. Apabila seorang pemain mampu melesakkan bola terus-menerus dalam sebuah kurun waktu, para komentator akan menyebut tangan si pemain itu "lagi wangi". Sebaliknya, jika seorang pemain terus-terusan gagal, tangan sang pemain dicap "lagi bau."
Bola basket memang tidak sama dengan judi. Jelas, kualitas seorang pemain memegang peranan penting di balik masuk tidaknya bola ke dalam ring. Pemain andal seperti Steph Curry, tentunya, memiliki kans untuk "wangi" lebih besar ketimbang—tanpa mengurangi rasa hormat—pemain seperti Andakara Prastawa dalam urusan tembakan tiga angka. Namun, ketika tangan Prastawa "lagi wangi", ada kepercayaan bahwa dia bisa melakukan apa yang biasa dilakukan Curry.
Keyakinan itu juga merupakan sebuah fallacy. Hot Hands Fallacy. Sesat pikir tersebut pun berlaku di perjudian, berjalan beriringan dengan Monte Carlo Fallacy. Di satu sisi, petaruh yang sedang on fire meyakini dirinya bakal terus menang karena "hokinya lagi tinggi". Di sisi lain, orang lain yakin bahwa keberuntungan si petaruh bakal segera berakhir karena "gak mungkin ada orang yang bisa hoki terus-terusan".
Lagi-lagi, ini semua cuma ilusi; cuma kebohongan. Sebab, kejadian acak, seperti di mana bola rolet akan mendarat, tidak pernah mengenal masa lalu.
Lantas, mengapa sesat pikir macam itu bisa muncul? Jawabannya, karena kita manusia. Manusia adalah spesies yang tidak dirancang untuk mencerna hal yang acak.
Manusia dirancang untuk melihat pola, bahkan meski di depan matanya tidak terlihat pola apa pun. Riset National Library of Medicine menyebut ini sebagai ekses dari proses evolusi. Para leluhur kita bertahan hidup karena bisa mengidentifikasi kaos di alam liar. Ketika ada gerakan di semak-semak, berarti ada pemangsa. Ketika langit mulai kelabu, berarti hujan akan turun. Pembacaan pola seperti inilah yang, pada akhirnya, membuat Homo sapiens bertahan hingga kini.
Sialnya, pembacaan pola seperti itu tidak selamanya diaplikasikan dengan bijak. Di meja kasino atau di depan layar ponsel, tempat sosok Zeus digambarkan dalam wujud kartun, pembacaan pola acak justru menghadirkan bencana.
Padahal Hidup Hanya Menunda Kekalahan
Manusia memang spesies cerdas, tetapi di sisi lain juga keras kepala dan nekat. Apa yang terjadi di Monte Carlo pada 1913 seharusnya sudah menjadi peringatan keras bahwa berjudi berarti menggantungkan nasib pada peristiwa acak dan bukan sesuatu yang bisa dikontrol. Namun, peringatan itu acap tak diacuhkan.
Hingga kini bola rolet masih bergulir di meja-meja kasino. Dadu-dadu masih dilemparkan di arena crap. Tuas di mesin slot pun masih terus ditarik oleh orang-orang yang berpikir bahwa keberuntungan adalah hak setiap insan. Yang lebih mengerikan, semua itu kini bisa diakses nyaris semua orang; bukan cuma para hartawan kurang kerjaan seperti di Makau dan Monte Carlo.
Dengan berkembangnya teknologi, judi online menghadirkan sensasi serupa bagi manusia-manusia putus asa. Di tangan mereka, judi bukan lagi aktivitas menghambur-hamburkan uang, melainkan sebuah upaya semu untuk mengubah garis hidup.
Pada 23 Maret 2025, seorang pengguna X ber-handle@hendratno64 mengunggah sebuah data yang mencengangkan, tetapi juga tidak mengherankan di saat yang bersamaan. "Ramadhan 1446 H di Indonesia diwarnai dengan meroketnya pencarian keyword terkait judol [judi online] di internet, belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. (Sumber: Google Trends, 23/3/2025)," tulis @hendratno64.
Bukan rahasia lagi bahwa, setidaknya di Indonesia, Ramadan adalah periode ketika pengeluaran individu maupun keluarga meningkat secara signifikan. Di bulan yang sebenarnya mulia dan dianjurkan untuk menahan diri (menurut kalangan tertentu), pengeluaran justru meroket.
Ada banyak sebabnya. Salah satunya adalah keinginan untuk sahur dan berbuka puasa dengan menu spesial. Tak cuma itu, kehadiran Idulfitri alias Lebaran, yang secara sosial menuntut orang untuk mudik dan pamer pencapaian di kampung halaman, membuat proyeksi pengeluaran kian tak terkendali.
Maka, tidak mengherankan apabila judi online jadi jalan pintas. Di tengah situasi ekonomi yang serba sulit, makin maraknya PHK, dan kian sulitnya mencari pekerjaan bergaji layak, judol disikapi layaknya lemparan Hail Mary dalam permainan sepak bola Amerika.
Yang kemudian terjadi adalah repetisi Monte Carlo Fallacy. Lagi, lagi, dan lagi, secara eksponensial.
“Baru kalah 3 kali, pasti habis ini menang.”
“Kemarin hoki terus, sekarang pasti hoki lagi.”
Ceritanya tak pernah berubah. Ini adalah kepercayaan sesat yang dibentuk oleh rentetan keberuntungan serta kemalangan yang dituntun oleh ilusi.
Selalu lebih mudah untuk menyalahkan individu dalam epidemi judi online. Akan tetapi, musuh sesungguhnya bukanlah para pejudi, melainkan orang-orang yang mengeksploitasi kerentanan para pejudi—baik dalam perkara sosio-ekonomi maupun dalam soal melepaskan diri dari jerat fallacy. Para perancang pelantar judi tahu persis apa yang membuat orang-orang ini terus berjudi. Mereka memupuk rasa penasaran, menjaga asa tetap hidup, dan memelihara kepercayaan bahwa keberuntungan akan segera berpihak.
Akan tetapi, dalam judi, the house always wins 'bandar akan selalu menang'. Semua sudah diatur supaya para petaruh bakal kehilangan uangnya. Mungkin saja, jauh di lubuk hati, para petaruh tahu akan hal ini. Akan tetapi, mereka sudah terlalu jauh terjebak dalam labirin dopamin yang membuatnya terus-menerus mengikuti fallacy berpikirnya. Ketika mereka sadar, mereka sudah kehilangan segalanya.
Ladang Investasi Juga Tak Luput dari Fallacy
Judi bukan satu-satunya ladang tempat fallacy bersemi. Di dunia finansial pun hal seperti ini tak hanya terjadi sekali dua kali.
Sebuah studi dari Universitas Ma Chung di Malang mengungkapkan, para investor muda di Indonesia sering kali bertindak irasional dan bergantung kepada insting alih-alih data.
Para partisipan dalam studi tersebut menunjukkan bias perilaku klasik, termasuk The Gambler's Fallacy. Misal, ketika sebuah saham harganya turun terus-menerus dalam beberapa hari, mereka berasumsi bahwa harga saham tersebut bakal segera naik.
Temuan bahwa investor pun berlaku laiknya pejudi menjadi sinyal bahaya yang harus segera direspons. Edukasi adalah kunci. Literasi finansial dan digital bukan lagi kemewahan intelektual, tetapi kebutuhan dasar di era algoritma yang dirancang untuk merangsang dopamin.
Berseminya fallacy di segala sendi membawa kita pada posisi genting. Sesuatu yang bermula dari cara untuk bertahan hidup, kini justru menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup. Entah ironi apa lagi yang lebih menggetirkan dibanding ini.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin