Menuju konten utama

Merindukan Polisi Penjaga Toleransi Beragama

Peringatan Asyura 2016 masih diwarnai tindakan diskriminatif, bahkan di Kendari dibubarkan. Padahal seharusnya mereka melindungi kelompok minoritas dalam menjalankan aktivitas keagamaan dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Publik merindukan polisi penjaga toleransi beragama.

Merindukan Polisi Penjaga Toleransi Beragama
Perwakilan lembaga dan ormas Islam, organisasi kepemudaan, serta pengurus masjid memperlihatkan petisi penolakan terhadap perayaan Asyura (10 Muharram) Syiah, di Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA FOT/ Dewi Fajriani

tirto.id - Peringatan Asyura oleh warga Syi'ah di Semarang, Jawa Tengah pada Selasa (11/10/2016) nyaris ricuh. Ratusan orang dari berbagai ormas Islam berusaha membubarkan peringatan haul Sayyidina Husain Bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW.

Massa nyaris bentrok dengan kepolisian yang bertugas menjaga keamanan di area peringatan Asyura yang digelar di Masjid Yayasan Nuruts Tsaqalain, Semarang Utara. Beruntung kericuhan tidak terjadi setelah massa akhirnya membubarkan diri setelah berorasi cukup panjang.

Terselenggaranya peringatan Asyura dan terhindarnya bentrok antara ormas dan pengikut Syi'ah ini tidak lepas dari peran serta aparat keamanan Polrestabes Semarang. Polisi berjaga dengan kekuatan penuh serta dilengkapi dengan senjata yang memadai.

Kapolrestabes Semarang, Komisaris Besar (Kombes) Polisi Abiyoso Seno Aji memastikan, perayaan Asyura berlangsung aman. Tidak akan terjadi bentrok meskipun ormas yang keberatan adanya peringatan Asyura itu juga berada di lokasi.

Komitmen penjagaan keamanan yang dijanjikan Abiyoso terbukti. Tak ada kekerasan di lapangan dan peringatan Asyura berjalan lancar, meskipun sempat pindah lokasi. Wakil Ketua Panitia Peringatan Asyura, Husein Ridho mengatakan, rencananya peringatan Asyura akan digelar di Gedung Pusat Kesenian, namun atas alasan keamanan, akhirnya dipindahkan.

“Izin sudah masuk ke Polres serta Polda, acara akan tetap jalan,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Namun, komitmen aparat kepolisian dalam melindungi kelompok minoritas untuk melaksanakan aktivitas keagamaannya tidak terlihat di tempat lain. Misalnya, peringatan Asyura di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dibubarkan warga. Tindakan pembubaran itu tidak mendapatkan halangan dari aparat kepolisian.

Dalam laporan kompas.com, Selasa (11/10/2016), saat terjadi perselisihan antara pengikut Syi'ah dan warga yang mengeruduk lokasi perayaan hari Asyura, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kendari, AKBP Sigit Hariadi berada di lokasi dan memediasi kedua belah pihak.

Sayangnya, ia tak bisa berbuat banyak. Sigit beralasan pihaknya hanya mempertemukan kedua pihak dan tidak bisa terlalu dalam masuk pada persoalan pertikaian keyakinan mereka. Akibatnya, perayaan Asyura di Kendari akhirnya dibubarkan.

Merujuk pada regulasi yang berlaku, sudah sepantasnya aparat keamanan wajib melindungi warga negara dalam menjalankan ritual keyakinan beragama dan berkeyakinan (KBB). Misalnya, UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) tegas berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Kebebasan menjalankan aktivitas KBB juga diatur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Sementara ayat (2) nya berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.”

Tindakan Diskriminasi Masif

Tindakan diskriminatif bagi penganut Syi'ah dan kelompok minoritas lainnya tidak hanya terjadi pada peringatan Asyura tahun ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi dan intoleran juga terjadi, sebagaimana data yang dilansir The Wahid Institute dalam laporan akhir tahun tentang kebebasan beragama dan kepercayaan serta toleransi tahun 2014.

Hasil pemantauan yang mencakup 18 wilayah, yang terdiri dari: Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Yoyakarta, Jawa Timur, Maluku Utara, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, NTB, NTT, Kepulauan Riau dan Papua ini menemukan banyak sekali pelanggaran terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Sepanjang tahun 2014, The Wahid Institute mencatat ada 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 80 peristiwa melibatkan 98 aktor negara, sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor non-negara.

Dibandingkan tahun 2013, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2014 memang turun sebanyak 42 persen. Pada 2013, The Wahid Institute mencatat jumlah pelanggaran sebanyak 245 peristiwa.

Namun, turunnya angka tersebut bukan berarti kabar baik dalam konteks perlindungan negara bagi kelompok minoritas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya. Karena data The Wahid Institute menunjukkan aktor intoleransi justru didominasi oleh negara, seperti kepolisian dan pemerintah.

Dari 80 peristiwa yang melibatkan 98 aktor negara, paling banyak yang melakukan pelanggaran adalah kepolisian. Institusi ini menyumbang 25 pelaku sebagai aktor negara yang melakukan tindakan intoleransi. Di urutan kedua, pemerintah kabupaten dengan jumlah 18 pelaku. Sementara, aparat desa/kelurahan serta pengadilan masing-masing 8 pelaku. Aparat kecamatan (6 pelaku), pengelola sekolah negeri dan Satpol PP masing-masing (4 pelaku), Kesbangpol dan aparat kantor Kemenag masing-masing (3 pelaku). Selebihnya pelaku intoleransi dari institusi lain seperti Dinas Dukcapil dan DPR/DPRD.

Bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan berbeda-beda. Dalam laporan itu, setidaknya The Wahid Institute mengelompokkan menjadi sembilan kategori, yaitu: menghambat/melarang/menyegel rumah ibadah, kriminalisasi atas dasar agama, diskriminasi atas dasar agama, melarang atau menghentikan kegiatan keagamaan, pembiaran pelanggaran, pemaksaan keyakinan, melarang aliran yang diduga sesat, membatasi kebebasan berekspresi, serta intimidasi terhadap kelompok agama tertentu.

Sementara korban pelanggaran dan intoleransi yang melibatkan aktor negara, dibagi menjadi dua kategori, yaitu korban kelompok atau grup, dan korban individu. Dari kategori korban kelompok, paling banyak dialami jemaat atau bangunan gereja Kristen dan Katholik, dengan 21 korban. Tren ini sama dengan tahun 2013 di mana gereja juga menjadi korban tertinggi. Korban berikutnya yang juga tinggi adalah pimpinan atau anggota JAI dengan 13 korban.

Sedangkan jumlah korban dari kategori individu paling banyak dialami pimpinan dan anggota Syi'ah dengan 235 korban, di urutan kedua adalah pimpinan atau anggota aliran yang dituduh sesat dengan 42 korban.

Mencari Polisi Bermental Polisi

Salah satu kategori aktor negara yang menjadi pelaku intoleransi dan mendapat sorotan publik adalah institusi kepolisian. Lembaga ini terkesan sering melakukan pembiaran terjadinya tindakan intoleran yang dilakukan oleh ormas tertentu.

Padahal sebagai aparat negara yang berkewajiban menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat, sudah sepantasnya polisi melindungi kelompok minoritas sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang HAM.

Namun, fakta di lapangan masih sering ditemukan ketidaktegasan polisi dalam menindak kelompok yang melakukan tindakan anarkis dan menghalang-halangi umat beragama menjalankan aktivitas agama dan kepercayaannya tersebut. Salah satunya seperti peringatan hari Asyura oleh warga negara yang menganut paham Syi'ah.

Dalam konteks ini, sikap Kapolrestabes Semarang, Kombes Abiyoso Seno Aji patut diteladani. Ia telah memerankan peran signifikan dalam menjamin perlindungan terhadap pengikut minoritas agama di wilayah komandonya.

Abiyoso menyadari, jika ikut menolak dan tidak menjamin keamanan saat perayaan keagamaan oleh kelompok minoritas, maka ia pun akan dikategorikan sebagai aktor intoleransi. Atas dasar itu, ia memenuhi tanggung jawabnya menjaga keamanan terselenggaranya peringatan hari Asyura.

“Kegiatan ini dilindungi undang-undang, kalau dilarang malah jadi intoleransi. Kami bertanggung jawab mengamankan Syi'ah, juga masyarakat di sini. Kegiatan sudah ada izin,” ujarnya.

Ia pun menurunkan personel kepolisian lebih banyak untuk menjaga keamanan terselenggaranya peringatan Asyura, di Semarang. Sebanyak 780 personel kepolisian diturunkan untuk menghindari terjadinya potensi bentrok antara warga yang merayakan hari Asyura dengan kelompok-kelompok yang menolaknya.

Komitmen Abiyoso menjaga keamanan ini mengingatkan publik pada peristiwa yang terjadi pada Oktober 2014 silam. Ketika itu, Irjen Unggung Cahyono [saat menjabat kapolda metro jaya] menindak tegas aksi anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI). Saat itu, ia turun langsung menangani kasus tersebut. Tak tanggung-tanggung, Unggung menyambangi markas FPI di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Peran yang dilakukan Abiyoso dan Unggung hanyalah contoh kecil bagaimana seorang polisi sebagai aktor negara menjalankan tugasnya untuk menjaga keamanan dan bersikap tegas pada ormas yang melakukan aksi anarkis. Abiyoso dan Unggung adalah contoh polisi yang bermental “polisi.”

Dalam konteks ini, sudah seharusnya mental-mental seperti itu ditularkan ke seluruh personel polisi di tanah air. Apalagi Kapolri, Jendral Polisi Tito Karnavian memahami betul soal masalah intoleransi ini. Dalam suatu kesempatan, Tito pun berkomitmen akan menangani dan menyelesaikan permasalahan kebebasan beribadah dan beragama yang sering terjadi di sejumlah daerah.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti