tirto.id - Suara Kamijan (64) terdengar lirih saat mengenang sanggar tempatnya beribadah dibakar massa. Ia masih ingat betul saat rombongan massa datang membakar sanggar tempat ibadah penganut kepercayaan Kejawen Urip Sejati. Pembakaran itu terjadi pada 1994 yang mengharuskan Kamijan bolak-balik Magelang-Yogyakarta untuk mencari perlindungan.
“Harusnya mereka (pembakar sanggar) bisa merenungkan, kalau ibadahnya seorang penghayat kepercayaan itu menjaga dan melestarikan adat dan budaya leluhur sendiri,” ungkap Kamijan pada Sabtu (27/5/2023).
Kamijan adalah sesepuh penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara (PPN) Kejawen Urip Sejati, satu dari 12 aliran kepercayaan di Magelang. Di Dusun Onggosoro, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kamijan dan sekitar 100 orang penghayat kepercayaan Kejawen Urip Sejati lainnya, memegang teguh budaya dan tradisi Jawa.
Kejawen Urip Sejati merupakan ajaran Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryodiningrat, putra Sri Sultan Hamengku Buwana VII. Pada Juni 1930, Pangeran Suryodiningrat mendirikan Pakempalan Kawula Ngayogyakarta (PKN). Menurut MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, karena keberpihakan PKN pada petani dan masyarakat kecil, serta daya tarik seorang pemimpin kharismatik itulah yang membuat banyak petani tertarik bergabung dan menganggap Pangeran Suryodiningrat sebagai Ratu Adil.
Setelah 1934, karena tekanan pemerintah kolonial memaksa Pangeran Suryodiningrat membatasi kegiatan PKN hanya pada sosial dan ekonomi, khususnya dalam memajukan koperasi-koperasi pedesaan. Hingga pada pendudukan Jepang, seperti organisasi-organisasi lainnya, PKN resmi dibubarkan.
Pada 1951, masih di bawah kepemimpinan Pangeran Suryodiningrat, PKN bangkit lagi sebagai partai politik lokal di Yogyakarta dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia. Meski tak memiliki ideologi tertentu, massa partai ini banyak berasal dari kelompok-kelompok yang kurang begitu berpendidikan, terutama kaum tani yang buta huruf dan berorientasi pada tradisi Jawa.
Setelah wafatnya Pangeran Suryodiningrat, ajaran Kejawen Urip Sejati kemudian dilanjutkan oleh putranya, Wisnoe Wardhana Suryodiningrat. Sepeninggalan ayahnya, Wisnoe Wardhana lebih memfokuskan gerakannya pada pendidikan dan kebudayaan. Dan pada 9 September 2002, Kejawen Urip Sejati terhimpun dalam organisasi Palang Putih Nusantara, sebuah organisasi bentukan Wisnoe Wardhana Suryodiningrat.
Kamijan mengungkapkan, melalui ajaran Pangeran Suryodiningrat dan Romo Wisnoe Wardhana yang tertuang dalam sembilan bidang budaya para penghayat menjalani hidup. Sembilan pegangan hidup itu ialah; bidang budaya pribadi, sosial, ekonomi, politik, kesenian, pengetahun, ketuhananan, filsafat, dan bidang budaya mistik.
“Semuanya itu tidak pisah, saling berkaitan tapi tidak bergesekan. Dan itulah yang kita pegang awit lahir tekan mboten enten [dari lahir hingga meninggal],” kata Kamijan.
Selain itu, Kamijan menerangkan bahwa tugas hidup manusia sesungguhnya adalah Memayu hayuning bawana. Menurutnya, dengan menjaga dan memperindah dunia, menjalin hubungan baik dengan manusia dan Tuhan manusia akan sampai pada suasana tata-titi-tentrem (damai). Namun Kamijan menyanyangkan masih banyaknya pelarangan ibadah dan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan.
“Kita dianggap kaum minoritas, padahal kita asli pribumi Jawa yang mengamalkan ajaran Jawa. Kemerdekaan sejati itu belum kita dapatkan secara keseluruhan,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Ki Sogol, salah satu penghayat kepercayaan Kejawen Urip Sejati, sejauh ini para penghayat hanya diperlakukan sama seperti warga negara lain ketika pemilu saja. Namun aspirasi dan harapan penghayat tak pernah terwadahi sepenuhnya. Ia merasa penghayat bukanlah bagian dari golongan yang diperjuangkan oleh politikus.
“Sayangnya kita tidak pernah bisa ketemu secara langsung individu yang mau nyalon untuk menyampaikan aspirasi. Unek-unek kami setelah nanti mereka jadi. Kami minta sebuah kebijakan yang mengayomi penghayat kepercayaan,” kata Ki Sogol pada wartawan di Onggosoro, Borobudur, Sabtu (27/5/2023).
Perjuangan penghayat, lanjut Ki Sogol, setelah Romo Wisnoe Wardhana meninggal, ia merasa tak ada lagi tokoh yang memperjuangkan penghayat kepercayaan Kejawen Urip Sejati. “Selain kita kehilangan sosok panutan, kita memperjuangkan hak-hak kita secara mandiri,” imbuhnya.
Peneliti Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM Yogyakarta dan Pendamping Desa Budaya Magelang, Asep Salik mengungkapkan, deskriminasi yang dialami Kejawen Urip Sejati adalah gejala umum bagi penghayat. Di banyak tempat mereka sulit untuk mendapatkan hak sipil. Asep merujuk pada pendidikan penghayat, pencatatan pernikahan, dan trauma politik.
Asep menerangkan, pendidikan bagi penghayat menjadi hal paling penting karena berhubungan dengan regenerasi mereka. Meski Peraturan Menteri (Permen) sudah ada sejak 2016, namun menurut Asep masih kurangnya jumlah penyuluh penghayat masih menjadi kendala.
“Jadi kalau di sekolah itu guru dan mata pelajaran untuk kejawen belum ada, ya dimasukkan ke pelajaran agama lain,” ungkapnya.
Asep menambahkan, “Solusinya sebenarnya sekolah melimpahkan hal itu kepada ketua adat masing-masing, sekolah menerima nilai dari ketua adatnya.”
Adanya trauma lintas generasi karena diskriminasi berpuluh tahun juga diakui oleh Asep. Menurutnya ada banyak penghayat yang sudah diperbolehkan mengganti kolom KTP dengan penghayat kepercayaan namun ketakutan misal suatu saat akan dipersoalkan baik dalam birokrasi maupun lingkungannya.
“Terutama pasca-65, dulu ketika negara hanya mengakui enam agama, lalu tak bisa mencantumkan agamanya dan dikosongin. Karena tragedi 65 itu mereka dituduh PKI. Nah, penyerangan-penyerangan itu banyak sekali karena mereka dianggap tidak beragama,” jelas Asep.
Hal itu, kata Asep, menjadi repot misal terdapat sentimen dinas setempat terhadap penghayat. Karena ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengakui penghayat, banyak agama yang kehilangan umat.
Asep memberi contoh di Sumba, gereja menjadi sepi karena banyak yang kembali ke kepercayaan lokal Marapu atau di Batak kembali ke agama tradisional Parmali. “Hal macam itu terjadi. Kalau relasi mereka baik-baik saja umumnya clear sih,” terangnya.
Menurut Asep, yang penting adalah bagaimana negara melakukan sosialisasi dengan baik sampai tingkat bawah dan lalu juga menyediakan sistem yang menjamin hak-hak penghayat kepercayaan.
Adanya diskriminasi pada penghayat kepercayaan ini diamini oleh Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa (MLKI), Engkus Ruswana. Ia mengungkapkan, meski sebenarnya dalam sisi peraturan perundangan relatif banyak kemajuan dan sudah cukup akomodatif.
Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang perubahan administrasi kependudukan dan Permendikbud No.27/2016 adalah contoh akomodatifnya pemerintah pusat yang dimaksud Engkus. Namun dalam praktiknya masih banyak informasi dari pusat yang tidak tersampaikan ke daerah.
“Kalau yang sudah tersosialisasikan perkembangan peraturan ke daerah umumnya lancar,” kata Engkus ketika dihubungi kontributor Tirto, Rabu (7/6/2023).
Kondisi tersebut, menurut Engkus, juga dipengaruhi faktor keaktifan pengurus paguyuban penghayat kepercayaan di daerah-daerah. Selama ini, MLKI selalu mensosialisasikan setiap perkembangan baru terkait kebijakan yang berhubungan dengan penghayat.
Sayangnya, Engkus menyebut masih ada beberapa peraturan perundangan yang belum menaungi penghayat secara tegas. Ia memberi contoh dalam Permendikbud No.27/2016 tentang layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Dalam implementasinya, Engkus menyebut peraturan itu lebih mengatur operasional, tidak mempertimbangkan hal lainnya. “Jadi problemnya biasanya pada anggaran, kadang di beberapa daerah masih ada kendala pada honor penyuluh atau guru, karena belum bisa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Selain itu juga pada rapor dan Data Pokok Pendidikan (Dapodik),” jelasnya.
Layanan pendidikan penghayat, lanjut Engkus, harusnya tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “Soalnya kalau nggak dinaungi di UU Sisdiknas, yang sudah berjalan selama ini bisa hancur lagi, karena payung hukumnya hilang,” terangnya.
Selain itu, Engkus juga menyoroti belum dilibatkannya penghayat kepercayaan dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Menurutnya, sampai sekarang penghayat kepercayaan belum dilibatkan karena dianggap bukan agama.
“Paling tidak, yang namanya forum untuk kemaslahatan tidak boleh mengeksklusi yang lain. Harusnyakan FKUB inklusif, melibatkan semua unsur termasuk penghayat kepercayaan. Kita juga juga punya potensi besar untuk menjaga kerukunan kok,” ungkapnya.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga akhir 2022 terdapat 117.442 penganut aliran kepercayaan di Indonesia. Atau setara dengan 0,4% dari jumlah penduduk Indonesia, sebanyak 277,75 juta jiwa.
Berdasarkan wilayahnya, penghayat kepercayaan paling banyak berada di Nusa Tenggara Timur, yakni sebanyak 34,251 jiwa. Disusul Sulawesi Selatan sebanyak 18.714 jiwa dan Kalimantan Selatan sebanyak 8.986 jiwa, kemudian Maluku sebanyak 8.639 penghayat kepercayaan.
Selain itu, di Banten terdapat 8.191 penduduk yang menganut aliran kepercayaan, di Jawa Tengah sebanyak 6.128 jiwa. Sulawesi Selatan sebanyak 5.456 dan Sumatera Utara sebanyak 4.977 jiwa. Sisanya, 38 penghayat kepercayaan tersebar di Papua Selatan, Gorontalo dan Maluku Utara.
Soal pelibatan penghayat kepercayaan dalam bermasyarakat dan bernegara, Engkus berharap para pejabat dan politisi untuk tidak bertindak diskriminatif terhadap penghayat. Karena menurutnya, masih banyak lembaga pemerintahan yang belum memberi kesempatan bagi penghayat untuk mendaftar.
“Selama ini penghayat masih ditempatkan di luar rumah. Oleh karena itu, dalam memilih calon di pemilu mendatang, tentu kita akan melihat apakah ia menjunjung tinggi nilai demokrasi atau sebaliknya,” ucap Engkus.
Menjelang pemilu, Engkus menilai, kelompok minoritas semakin lebih rentan dan harus menanggung beban diskriminasi lebih berat dari publik. Karena biasanya, ketika kampanye para politikus menggunakan isu minoritas untuk mencari popularitas demi mendulang suara.
“Kami sih berharap lebih damai dan jangan sampai ada keretakan masyarakat, jangan ada hoaks,” harap Engkus.
Denta Julian Sukma, Wakil Sekretaris Partai Buruh DIY mengungkapkan, isu terkait penghayat kepercayaan memang dinilai kurang populer bagi masyarakat, untuk itu banyak partai yang tidak mengkampenyekan hal tersebut.
Partai Buruh sendiri, lanjut Denta, memang tidak hanya memperjuangkan kelas pekerja, tapi masyarakat secara umum. “Namun landasan konstituennya basisnya sektoral, bukan kelompok sosial atau identitas sosial,” terang Denta.
Denta yang juga sebagai calon Anggota Legislatif (Caleg) dari Partai Buruh DIY menerangkan, miskipun penghayat kepercayaan tidak termasuk dalam 13 platform perjuangan Partai Buruh, tapi mereka menjunjung tinggi kesetaraan kesempatan dalam hak-hak sipil.
“Mungkin lewat sana nanti kami memperjuangkan penghayat kepercayaan. Kami tak pernah menutup mata kok,” kata Denta.
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz