tirto.id - Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan catatan tentang rencana hilirisasi nikel di Indonesia dalam dokumen 'IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia'. Dalam dokumen tersebut, IMF menyampaikan kebijakan Indonesia seharusnya berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut.
Kebijakan juga harus mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain. Atas alasan itu, IMF meminta Indonesia mempertimbangkan kebijakan penghapusan bertahap terhadap pembatasan ekspor nikel. Bahkan tidak memperluas pembatasan ekspor ke komoditas lainnya.
“Kebijakan hilirisasi menimbulkan rambatan negatif bagi negara lain. Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini," kata IMF dalam laporannya.
Paparan IMF yang dituangkan dalam Article IV Consultation itu jelas bertentangan dengan sikap Pemerintah Indonesia yang tengah fokus terhadap hilirisasi. Dalam Sidang Kabinet Paripurna mengenai Laporan Semester I Pelaksanaan APBN Tahun 2023 di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (3/7/2023), Presiden Jokowi menegaskan kepada jajaranya agar tetap fokus pada kebijakan pemerintah, terutama hilirisasi.
Jokowi meminta kepada seluruh menterinya untuk mengkaji beberapa program hilirisasi industri, infrastruktur energi baru terbarukan hingga ekonomi hijau, yang belum bisa berjalan. Namun ia meminta kepada seluruh kabinet kerjanya tetap fokus pada program itu.
"Hilirisasi industri infrastruktur energi terbarukan hingga ekonomi hijau, jangan kehilangan fokus di bidang ini. Lihat dan kaji program yang ada dalam APBN belum berjalan apa penyebab dan bagaimana kelanjutannya," jelas Jokowi.
Dalam kesempatan lain, Jokowi juga mengingatkan kepada semua pihak agar tidak takut melakukan hilirisasi industri untuk mendapatkan nilai tambah. Sekalipun Indonesia akan dikucilkan oleh sejumlah negara yang menentang kebijakan RI.
“Meskipun kita sekarang ini pada proses banding digugat WTO, tetap akan terus, jangan sekali-kali kita belok, kita takut," tegasnya.
Pandangan Ngawur IMF
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, apa yang dilakukan oleh IMF jelas merupakan standar ganda. Di satu sisi, IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan nilai tambah hingga lapangan kerja.
Namun di sisi lain, IMF menentang kebijakan larangan ekspor. Hal ini karena menurut analisa untung ruginya IMF pertama akan menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara. Kedua, berdampak negatif terhadap negara lain.
“Saya ingin menjelaskan satu persatu sanggahan dari pemikiran IMF. Bahwa pemikiran dia ini adalah keliru besar," ujar Bahlil dalam Konferensi Pers Kebijakan dan Implementasi Hilirisasi sebagai Bentuk Kedaulatan Negara. https://www.youtube.com/live/x0P4YCq9ykw?feature=share
Bahlil menyebut pernyataan IMF yang mengatakan negara Indonesia rugi akibat kebijakan hilirisasi di luar nalar berpikirnya. Karena menurutnya dengan melakukan hilirisasi justru Indonesia dapat nilai tambah tinggi.
Sebagai contoh saja hilirisasi nikel, ekspor Indonesia di 2017-2018 saat itu hanya 3,3 miliar dolar AS. Begitu pemerintah menyetop ekspor nikel dan melakukan hilirisasi, ekspor nikel di 2022 hampir 30 miliar dolar AS atau naik 10 kali lipatnya.
Kemudian, pada 2016-2017 defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China saat itu 18 juta dolar AS. Setelah hilirisasi didorong, dalam hal ini ekspor tidak lagi berbentuk komoditas tapi berbentuk setengah jadi dan barang jadi, maka di 2022 defisit neraca perdagangan dengan China menurun hanya 1,5 juta dolar AS. Bahkan di kuartal pertama 2023 Indonesia sudah surplus 1 juta dolar AS.
Bahlil menambahkan dari hasil hilirisasi, neraca perdagangan Indonesia secara konsisten juga surplus selama 25 bulan berturut. Bahkan neraca pembayaran Indonesia juga mengalami perbaikan dan bahkan menjadi surplus akibat kebijakan hilirisasi.
“Jadi IMF jangan dia ngomongnya ngawur-ngawur," tegas Bahlil.
Mantan Ketua HIPMI itu juga menyanggah pandangan IMF yang menyebutkan bahwa hilirisasi membuat pendapatan atau nilai tambah negara berkurang. Buktinya pada 2021-2022 pendapatan negara tercapai terus.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara 2021 mencapai Rp2.111,3 triliun. Porsi realisasi pendapatan negara itu sebesar 115,35 persen atau tumbuh 22,6 persen (year on year/yoy) dibandingkan realisasi tahun 2020.
Selanjutnya pendapatan negara sepanjang 2022 mencapai Rp2.626,4 triliun. Angka ini mencapai 115,9 persen dari target yang ditetapkan Perpres 98/2022, yakni Rp2.266,2 triliun.
"Yang tahu pendapatan negara tercapai tambah atau tidak bukan IMF, tapi kita Pemerintah Republik Indonesia," jelasnya.
Sementara terkait dengan pandangan IMF yang menyebut hilirisasi bisa merugikan negara lain, Bahlil mengaku tidak menghiraukan sama sekali. Sebab, dia bilang ketika Indonesia rugi negara lain juga tidak memikirkan kita. “Emang saya tanya waktu negara kita rugi, negara lain memikirkan kita?" katanya mempertanyakan.
Hilirisasi Buat Ekonomi Daerah Tumbuh
Bahlil melanjutkan dari hilirisasi, Indonesia tidak hanya mendapatkan nilai tambah dari sisi pendapatan saja. Tetapi juga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Terutama di daerah-daerah penghasil dari komoditas bahan baku.
Ia mencontohkan, di Maluku Utara sebelum hilirisasi ada perusahaan Antam. Saat itu Antam mengambil bahan baku saja, tapi sekarang sudah membangun smelter di sana. Setelah adanya hilirisasi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut tumbuh di atas nasional mencapai 19 persen, bahkan di 2022 mencapai hingga 27 persen.
"Di Sulawesi Tengah, di Sulawesi Tenggara pertumbuhan ekonominya semua di atas pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen dan 9 persen. Jadi sangatlah tidak rasional bahkan saya mempertanyakan data IMF ini untuk kemudian mengatakan bahwa mengurangi pendapatan negara," ujar Bahlil.
Dalam konteks pajak ekspor komoditas, kata Bahlil, mungkin iya sedikit rugi. Tetapi yang harus dilihat adalah komoditas kita ketika mau membangun hilirisasi akan mendapatkan pendapatan PPH badan, PPN, dan PPh pasal 21 dan penciptaan lapangan kerja baru.
“Jadi kalau ada siapapun yang mencoba mengatakan hilirisasi itu adalah sebuah tindakan yang merugikan negara itu kita pertanyakan dan pemikiran ada apa di balik itu termasuk kita dalam negeri," katanya.
Bahlil sendiri merasa terganggu ketika ada sebuah kedaulatan negara digores oleh siapapun. Maka salah satu caranya adalah melawan dan mereka tidak lagi tempatkan di tempat yang baik di negara ini.
Campur Tangan IMF
Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai bahwa campur tangan IMF terhadap ekonomi Indonesia sebetulnya sudah berlangsung sejak lama. Indonesia, kata Fahmy, selalu patuh terhadap rekomendasi dari IMF yang kadang kala justru merugikan negara sendiri.
"Saya kira untuk hilirisasi tidak perlu diperhatikan. Jadi kalau Indonesia sudah melarang ekspor nikel kemudian diadukan di WTO berani dan sekarang IMF juga perlu (berani)," kata Fahmy saat dihubungi Tirto, Rabu (5/7/2023).
Fahmy mengingatkan bahwa tujuan ingin dicapai dari hilirisasi itu pertama adalah menaikkan nilai tambah. Kedua adalah membangun ekosistem dari hulu ke hilir. Kalau kemudian mengikuti rekomendasi IMF, maka tujuan daripada hilirisasi ini akan buyar alias tidak tercapai.
“Dan kalau sebelumnya Indonesia patuh dengan IMF itu masih wajar karena waktu itu kita punya utang dan tergantung dari IMF. Tapi sejak pemerintah SBY utang tadi sudah dilunasi dan kita tidak perlu hiraukan rekomendasi tadi apalagi itu bertentangan dengan tujuan ingin dicapai hilirisasi tadi," jelasnya.
Bahlil sendiri mengakui bahwa Indonesia punya sejarah panjang tentang IMF. Saat krisis keuangan 1997-1998, Indonesia terpaksa terpaksa meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF). Setidaknya saat itu Indonesia meminjam dana dari IMF sebanyak tiga kali.
Saat itu IMF menyetujui pemberian pinjaman untuk Indonesia sebesar 17,36 miliar Special Drawing Rights (SDR). Nilai itu setara dengan 23,53 miliar dolar AS atau sekitar Rp130 triliun. Namun, pada akhirnya besaran dana yang dicairkan oleh IMF hanya sebesar 11,1 miliar SDR atau sekitar 14,99 miliar dolar AS (Rp93,5 triliun).
“Kita pernah punya sejarah panjang tentang IMF. Tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi yang rekomendasikan resep untuk ekonomi kita kembali adalah IMF," kata Bahlil.
Saat itu, kata Bahlil, bahkan IMF merekomendasikan agar industri-industri kita ditutup. Kemudian bansos-bansos ditiadakan sehingga membuat daya beli masyarakat lemah. "Di situlah cikal bakal terjadi deindustrialisasi," imbuhnya.
Bahlil mengatakan, kala itu IMF juga merekomendasikan agar bunga kredit perbankan dinaikkan. Namun yang terjadi justru membuat hampir semua pengusaha kolaps dan membuat Indonesia justru lambat untuk mengejar pertumbuhan ekonominya.
“Jadi malah saya justru menanyakan apa maksud dari IMF menyampaikan ini? Dia ini mendiagnosa saja kepada negara-negara yang hari ini lagi susah. IMF tidak usah campur-campur urus Indonesia," jelasnya.
Menurut Bahlil, apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia sekarang itu sudah dalam jalan yang benar. Sehingga pemerintah sama sekali tidak terpengaruh dengan pandangan-pandangan mereka.
"Ketika ada satu pemikiran yang lahir dari mereka yang menurut pandangan kita tidak objektif dan tidak tahu arah tujuan negara. Yang tahu arah tujuan negara adalah kita sendiri Pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia bukan negara lain," tegasnya.
Negara Tidak Bisa Didikte
Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto minta pemerintah jangan mau didikte oleh IMF. Ia mengingatkan pemerintah untuk patuh pada konstitusi. Sebab, permintaan IMF yang disampaikan dalam “IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia” yang dikeluarkan sangat tidak logis.
"Pemerintah jangan mau diintervensi IMF karena Indonesia sebagai negara berdaulat berhak menentukan aturan terkait pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki," ujar Mulyanto.
Menurutnya saat ini Indonesia tidak punya kewajiban terhadap IMF. Sehingga permintaan tersebut sangat tidak relevan disampaikan sebuah lembaga kepada pemerintahan yang berdaulat.
Mulyanto juga minta pemerintah merespons permintaan itu dengan tegas, untuk menunjukan wibawa di hadapan lembaga-lembaga Internasional. Bila tidak, maka Indonesia akan dianggap lemah dan mudah dipermainkan bangsa atau negara lain.
"Sebaiknya IMF tidak mendikte Indonesia soal kebijakan domestik terkait hilirisasi mineral, termasuk kebijakan mana yang baik dan bermanfaat bagi Indonesia. Inikan soal national interest kita dan pilihan-pilihan kebijakan dari negara yang berdaulat," paparnya.
Politikus dari Fraksi PKS ini sebetulnya tidak setuju dengan hilirisasi yang terlalu memanjakan investor. Apalagi hilirisasi nikel setengah hati, yang mengekspor produk nikel setengah jadi berupa Nickel Pig Iron (NPI) dan Feronikel dengan kandungan nikel yang rendah.
Namun, tambah Mulyanto, jika sudah menyangkut masalah kedaulatan negara, ia minta pihak asing jangan coba-coba intervensi. Dijelaskannya, model hilirisasi yang berlaku di Indonesia saat ini tidak menghasilkan penerimaan negara yang memadai. Akibat terlalu sarat insentif yang diberikan baik berupa bebas pajak pertambahan nilai, pph badan maupun bea ekspor.
Termasuk penetapan harga bijih nikel domestik yang hampir setengah dari harga internasionalnya serta pelarangan ekspor bijih nikel. Oleh karenanya, ia menilai sebagai negara yang rasional negara kita wajib secara terus-menerus melakukan penyempurnaan terkait kebijakan hilirisasi yang dikembangkan.
"Tidak perlu didikte oleh negara lain termasuk IMF. Inikan mekanisme internal Indonesia dalam menjalankan roda pembangunannya," tegasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR, Rofik Hananto menilai rekomendasi yang dikeluarkan IMF untuk menghentikan pembatasan ekspor nikel Indonesia sebagai hal yang tidak tepat dan tidak solutif.
"Program hilirisasi nikel kita memang tidak memuaskan tetapi solusinya bukan dengan membuka ekspor kembali," ujar Rofik dalam keterangan tertulis.
Rofik mengatakan pelarangan ekspor merupakan syarat awal proses hilirisasi untuk memastikan proses nilai tambah berjalan di luar negeri. Kalau ekspor bijih nikel dibuka kembali, tidak ada mekanisme yang dapat menjamin pasokan bijih nikel untuk smelter dalam negeri.
“Hal ini akan memberikan sinyal yang lemah terhadap pemangku kepentingan industri akan arah dan visi hilirisasi yang kita cita-citakan," kata dia.
Rofik mengatakan, sebaiknya rekomendasi IMF ini dijadikan titik tolak untuk melakukan evaluasi serius serta menyeluruh untuk meningkatkan tata kelola program hilirisasi. Pasalnya, Rofik menekankan kebijakan hilirisasi nikel ini harus untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat juga, sehingga program ini perlu dilaksanakan dengan baik.
“Dengan cara memperbaiki harga bijih nikel di dalam negeri, mengurangi insentif kepada investor asing yang selama ini diobral tanpa pertimbangan ekonomi dan sosial, memperkuat kemampuan pengusaha nasional dalam membangun smelter, menyiapkan peta jalan pohon industri, dan mulai membangun industri hilir yang lengkap untuk menyerap lebih banyak lagi hasil produksi smelter," kata Rofik.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz