Menuju konten utama
Wawancara Kanal Pemilu

Gede Pasek & Upaya PKN Galang Kesadaran Politik Gen Z - Milenial

Gede Pasek Suardika menceritakan pengalamannya membangun PKN hingga mengurai strategi menggalang pemilih muda Gen Z di Pemilu 2024.

Gede Pasek & Upaya PKN Galang Kesadaran Politik Gen Z - Milenial
Header Wansus I Gede Pasek Suardika. tirto.id/Tino.

tirto.id - Politikus senior I Gede Pasek Suardika berhasil membawa Partai Kebangkitan Nusantara [PKN] menjadi peserta Pemilu 2024. Berkat tangan dinginnya itu, partai berlogo Garuda berbulu merah ini bisa lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). PKN resmi mendapatkan nomor urut sembilan untuk berlaga di pesta demokrasi tahun depan.

Dilihat dari aspek sejarah, PKN sebelumnya bernama Partai Karya Perjuangan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.HH-23.AH.11.01 tahun 2008. Lalu para pegiatnya mendeklarasikan ulang dengan nama PKN di Jakarta pada 28 Oktober 2021.

Pasek mengatakan nomor urut sembilan sangat bermakna bagi PKN. Angka itu berkesesuaian dengan aspek filosofis partainya. Dalam wawancara khusus ini, dia juga menceritakan soal kehadiran Anas Urbaningrum hingga strategi menggalang pemilih muda (Gen Z dan milenial) di Pemilu 2024. Lebih dari satu kali ia berbicara soal "politik penyadaran."

Berikut kutipan wawancara Bli Pasek—sapaan akrab I Gede Pasek Suardika—menerima tim redaksi Tirto—Fahreza Rizky, Irfan Amin dan Andhika Krishnuwardana di kantor Pimpinan Nasional (Pimnas) PKN, Jumat, 9 Juni 2023.

Apa saja kesibukan Anda selain mengurus PKN?

Selain sebagai politikus, saya berprofesi sebagai advokat. Kantor saya ada di Jakarta dan Bali, jadi kita lebih banyak melakukan pendampingan hukum, konsultan dan kegiatan sosial.

Tokoh di PKN tidak hanya Anda, tetapi juga ada Anas Urbaningrum. Seberapa intens Anda melakukan pertemuan?

Pasca beliau keluar penjara kita lebih intensif bertemu, tetapi intensif tidak selalu harus fisik, sesekali waktu ketemu ngobrol, dan kita juga sudah ajak teman-teman Pimpinan Daerah [Pimda] PKN ketemu di rumah Mas Anas. Pertemuan itu kita lakukan untuk lebih merekatkan dengan para Kapimda, walaupun sebagian memang sudah dekat.

Nama kepengurusan di PKN cukup unik, tidak seperti parpol lain, bagaimana latar ceritanya?

Kami menyebutnya Pimnas, Pimda, Pimcab, Pimran, karena kalau Dewan Pimpinan, dewannya belum ada, lagi kita cari di Pileg 2024. Jadi agar termotivasi [meraih kursi].

Jumlah pemilih muda [Gen Z dan milenial] di Pemilu 2024 mendekati 60 persen. Bagaimana strategi PKN mendekati ceruk tersebut?

Saya kira itu memang bonus demografi, orang-orang muda produktif akan muncul sebagai penentu arah bangsa ke depan. Di sisi lain, mereka adalah kelompok yang mulai apolitis, mulai ingin visi yang lain, dia jenuh melihat fenomena politik yang ditonton hari ini, perlu seni untuk mendekatkan dan itu tidak mudah.

Meski begitu kami punya cara. Yang paling bagus sifatnya partisipasi, jadi memberikan ruang sebanyak mungkin bagi mereka untuk berpartisipasi. Itu yang kita lakukan. Saya uji coba di anak saya, karena dunia saya dan anak sudah berbeda, ini kita coba tes ombaknya bagaimana [preferensi] teman-teman anak saya.

Cara komunikasi itu saya padukan secara global. Ternyata mereka bukan antipolitik. Mereka ada ketidakpuasan dengan cara berpolitik hari ini, itu yang lebih tepat saya temukan. Perlu cara komunikasi yang berbeda.

Di Kediri, misalnya, orang baru tamat sekolah mantan [pengurus] OSIS kita berikan kesempatan mengelola partai. Kita bimbing dan jalan cukup bagus.

Ada juga kegiatan yang cocok di dunia mereka dengan cara santai tapi pendekatannya politik penyadaran. Sisi kecil saja, ketika dia kuliah mau urus [beasiswa] Bidik Misi, saya bilang Bidik Misi itu kebijakan politik, bagaimana itu bisa bertambah untuk orang lain? Nah, Anda harus peduli dengan politik, jadi harus pendekatan sederhana. Kalau hari ini politik bansos, dan lain-lain, mereka [anak muda] sudah tak senang, mereka sudah menjauh.

Cara lain adalah pendekatan hobi. Kalau dia hobi e-sport ya mau enggak mau kita harus masuk dunia itu, apalagi sekarang sudah era artificial intelligence (AI). Dunia sekarang sudah tanpa batas, tanpa sekat, kita jangan membatasi diri lagi.

Partai jangan dibangun dengan pola kolonial, atasannya menjajah bawahannya. Milenial itu enggak mau seperti itu, makanya mereka enggak suka pola kepemimpinan kolonial.

I Gede Pasek Suardika

Ketua Umum PKN, I Gede Pasek Suardika. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

Menurut Anda, perlu atau tidak menyeleksi anak muda yang ingin terjun ke dunia politik?

Pada kondisi hari ini kita belum bisa menyeleksi. Kita justru membangun kesadaran mereka untuk berpartisipasi. Bayangan politik mereka hari ini harus kita brainwash, harus kita ganti, bahwa politik ke depan itu Anda [Gen Z]. Anda harus di depan.

Tetapi kadang-kadang mereka ini merasa, ‘saya ini masih kecil dan bukan dunia saya,’ nah, perlu [strategi] komunikasi yang lebih intensif dengan cara mereka.

Dulu ada teman-teman datang kebetulan penggemar vespa antik. Mereka datang di sini ngobrol dengan gaya mereka: tanpa jarak, tanpa kelas, yang penting pesannya masuk, dia mau peduli dengan bangsa dan nasib politik hari ini. Terpenting ke sana dulu, kita bangun anak-anak muda itu.

Jadi program konkret PKN ke Gen Z dan milenial apa saja?

Partisipasi [Gen Z dan milenial] kita tingkatkan. Kalau ada potensi kita dorong dia untuk memegang [jabatan di partai], kita minta jadi panitia, sehingga ada interaksi. Jadi bukan kita kasih pengarahan atau kita jadi guru buat dia, karena ini proses buat dia berani tampil, ini dorongannya ke sana.

Ngomong ke anak-anak SMA yang jadi pemilih pemula, misalnya, kalau dia suka sama olahraga, ya kita mulai dari olahraga, karena kebijakan negara di bidang politik menentukan nasib olahraga kita.

Di sebuah daerah yang penggemar olahraganya banyak tapi atletnya sedikit, coba cek pasti pemimpinnya enggak suka olahraga, sehingga anggaran pembinaan prestasinya pasti kecil, akhirnya mereka jadi berpikir juga. Kalian itu bagaimana bisa berprestasi kalau sarana olahraganya tidak dipikirkan sama pemerintahnya. Jadi hobi mereka apa, kita masuk di situ, kita dekatkan dengan kebijakan.

Solusinya, cari pemimpin yang peduli olahraga jadi akan dianggarkan dari APBD untuk itu dan kalian bisa berlatih. Kalau kalian berlatih, kalian bisa berprestasi. Selama ini, mereka tidak menyadari hal itu dan kini jadi sadar.

Pola pendekatan yang dibangun PKN kepada Gen Z dan milenial seperti apa?

Kita mencoba mencari pendekatan yang berbeda dengan memilih menu [politik] penyadaran. Penyadaran bahwa ada yang keliru di dalam proses sebelumnya dan harus ada penataan ke depan.

Gen Z dan milenial concern dengan isu kesejahteraan masyarakat seperti penciptaan lapangan kerja, kebebasan sipil, dan lain-lain. Bagaimana Anda melihat hal tersebut?

Saya melihat anak muda sekarang ingin bekerja tapi tidak ingin terikat. Ini perubahan yang sangat menonjol belakangan ini dan kita rumuskan dengan komunikasi yang sama. Anda [generasi muda] bisa produktif tanpa harus terikat dengan sesuatu yang kuat yang membuat Anda kehilangan kebebasan.

Sekarang banyak pekerjaan yang tidak perlu ikatan seperti datang jam delapan pulang jam lima sore. Mereka bisa bekerja dari mana saja dan hasilnya masuk ke rekening langsung. Itu dunia mereka dan kita tinggal masuk saja. Bahwa kalau PKN masuk dunia itu akan kita jaga betul supaya Anda sejahtera. Kita buka dengan kebijakan-kebijakan dan Anda bisa berkembang.

Saya punya teman ketika zaman [pandemi] COVID-19. Dia masih muda. Saat itu ia punya 600 karyawan hanya dari jualan jamu seperti jahe merah, dan lain-lain. Dia mencari bahannya ketika harga masih murah. Produk itu dijual secara online, tidak perlu toko, hanya di rumah saja.

Mereka bisa membaca pasar. Itu contoh anak muda cepat melihat peluang. Lalu sekarang sudah turun, dia pertahankan dan terus berinovasi sehingga pasar tidak terkoreksi, ini gaya anak muda untuk kesejahteraan mereka.

I Gede Pasek Suardika

Ketua Umum PKN, I Gede Pasek Suardika. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

PKN memiliki figur Anas Urbaningrum yang notabene mantan terpidana korupsi. Bagaimana PKN memandang hal tersebut, utamanya untuk mendekati ceruk pemilih muda yang peduli terhadap isu antikorupsi?

Harus saya akui ini tantangan terberat kita untuk brand image karena stigma Mas AU [Anas Urbaningrum] sebagai terpidana koruptor dengan isu gantung di Monas. Ini dua isu yang sangat kuat dimainkan. Beberapa kali saya menjelaskan posisi kasus, tone-nya sudah sangat berbeda. Bagaimana Mas AU 10 dan 11 tahun lalu didegradasikan dengan hari ini, itu sudah sangat berbeda.

Anak muda itu antikriminalisasi. Pada beberapa kejadian kriminalisasi, warganet yang bergerak dan mayoritas mereka anak-anak muda, dan terbalik itu. Kalau saja hari ini sidangnya Mas AU, selesai itu orang-orang yang merekayasa. Tapi kan itu 10 tahun lalu, sudah beda zamannya.

Dulu televisi dikuasai semua, warganet belum sekuat sekarang, kita masih main di Twitter saja masih belum kuat sampai ke desa-desa, tapi televisi yang sudah dikurung oleh parpol yang berkepentingan cari ceruk suara, itu sudah melakukan penetrasi.

Mas AU kasus gratifikasi mobil Harier harganya Rp600-700 miliar yang diributkan itu, dan di Peninjauan Kembali (PK) dinyatakan tidak terbukti. Bandingkan dengan (kasus) Rp8,3 triliun tower, beritanya sama enggak? Kenapa enggak sama? Karena yang satu punya televisi, yang satu ewuh pakewuh menyerang karena sama-sama kapitalis pemilik televisi.

Jadi tidak ada berita dari pagi sampai pagi lagi diulang-ulang. Paling diberitakan sebatas kabar siang dan kabar petang, tidak diberitakan dari pagi sampai pagi lagi seperti kasus Mas AU dulu. Ini fakta, tidak bisa dilawan waktu itu. Kalau hari ini pasti bisa dilawan karena kekuatan netizen sudah seimbang dengan media konvensional.

Kami memang punya tanggung jawab untuk clear-kan isu itu. Mas AU memang terpidana koruptor, tapi dia belum tentu seorang koruptor. Karena didakwaan pertama dia dikaitkan dengan Hambalang. Kemudian di putusan PK itu Hambalang tidak terkait dengan Mas AU. Lalu disebutkan lagi kenapa Mas AU dihukum?

Mas AU tetap dihukum karena kasus melakukan korupsi berkelanjutan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berulang kali. Di mana ini? Di kasus kongres Partai Demokrat di Bandung [...] Bayangkan dia ditersangkakan soal Hambalang. Hambalang ada di Bogor, tapi dia divonis terkait korupsi kongres di Bandung. Bogor dan Bandung sama-sama Jawa Barat tapi lokasinya beda. Akan tetapi publik tak tahu itu, tahunya Mas AU dihukum saja.

Bahwa publik hari ini terbelah ada yang menyatakan Mas AU dikriminalisasi, ada juga yang menyatakan Mas AU korupsi, itu wajar, karena medianya dulu dan sekarang berbeda, ini proses peralihan.

Yang mengatakan Mas AU korupsi itu para pelaku yang merekayasa [kasus] Mas AU. Dia menyosialisasikan, mengkapitalisasi dan menggerakkan buzzer untuk itu. Ketika Mas AU keluar penjara kita bisa tracking dari mana narasi-narasi yang menyerang Mas AU, nah kita dapat, ternyata masih komponen itu pelakunya. […] Ini tantangan, tapi kita akan jelaskan pelan-pelan.

Gen Z dan milenial lebih suka calon pemimpin yang memiliki inovasi di masa krisis, tak lagi suka dengan pemimpin yang doyan pencitraan, bagaimana tanggapan Anda?

Kalau gaya pencitraan itu hampir semua politisi yang jadi capres pasti akan mencitrakan dirinya yang terbaik. Yang biasanya enggak pernah lari keliling Indonesia, sekarang lari keliling Indonesia. Yang dulu enggak pernah bicara nasionalisme sekarang bicara nasionalisme. Yang dulunya ada stigma politik identitas sekarang jadi bhineka. Jadi untuk menutupi kekurangan dengan pencitraan. Bagi saya wajar, nanti biarkan rakyat yang menilai.

Sementara, inovasi merupakan bagian dari daya kreasi sebuah bangsa untuk menjadi negara unggul. Anak-anak muda sekarang melihat itu karena dia selalu kagum dengan produk-produk yang dulu tak terpikirkan lalu muncul menjadi sesuatu yang sangat menentukan.

Contoh, siapa yang sangka Zoom melejit? Kalau tak ada COVID mungkin Zoom enggak melejit, lalu Google Meet. Dengan aplikasi itu orang bisa terus berkarya karena mereka bisa beradaptasi.

Inovasi yang lain, Tiktok menjadi trending kenaikannya dibanding medsos lain karena orang tak lagi suka dengan [video] yang panjang-panjang, dia ingin yang pendek, jelas update, tapi ikuti irama psikologi dia, yang bisa baca ini yang punya daya nalar tinggi.

Makanya pemimpin yang tidak mampu mengikuti itu tidak disukai sama anak muda, sehingga tampil lah pemimpin yang menabrak pakem-pakem lama dengan ide-ide nyeleneh, ini bagian dari pencitraan pemimpin juga.

Coba lihat gaya Pak Jokowi bagian dari inovasi yang disukai anak muda. Menkes enggak dikasih ke dokter hari ini, dikasih ke yang lain, itu kan cara berpikir yang out of the box, tak sesuai pakem. Pakem ini ditabrak Pak Jokowi dan itu dinikmati.

Menteri Pendidikan dikasih ke pengusaha yang mungkin tidak profesor, tapi dia punya aplikasi bahwa orang sudah sekolah bisa kerja bagaimana caranya. Shortcut ini yang dicari. Menurut saya, gaya Pak Jokowi disukai anak muda, karena dia anti-mainstream, anti-rutinitas, nah mampu enggak pemimpin ke depan mengikuti pola itu? Pak Jokowi adaptasi itu.

[…] Cara berpikirnya diubah, kita diajak mikir jauh ke depan, sehingga pro kontra. Yang tidak mampu akan kontra, yang ingin kemajuan dia akan pro. Memang posisi pemimpin hari ini ada di pertarungan itu, siapa yang bisa inovasi dan menabrak pakem.

Sebagai Ketum, Anda siap enggak kalau anak-anak muda mengisi jabatan strategis di PKN?

Salah satu Waketum saya usianya masih 30-an, di bawah 40, itu anggota DPRD di Maluku. Bahasa Inggrisnya bagus, bahasa China-nya bagus. Jadi tidak sekadar ngomong saja. Beliau juga tidak ada hubungan keluarga lho dengan saya.

Jadi ini murni karena kapasitas yang bersangkutan. Bahwa ada senior tetap kita jaga, prosesnya harus adaptasi, jangan kita langsung cut off bahwa hanya usia sekian yang bisa jadi ketua, tidak, ini harus imbang. Ini nyata.

[Kalau di tempat lain] anaknya Ketum bisa mendapat jabatan ketua dan lain sebagainya. Kalau anak saya, saya suruh jadi pengurus di organisasi sayap, itu pun bukan pengurus utama.

Di tempat lain pemimpin elitenya bisa anaknya, menantu, paman atau ipar, kalau di kami tidak seperti itu. Istri saya saja tidak menjabat apa-apa, tapi kalau mau aktif di organisasi sayap perempuan silakan. Jadi kita atur betul, kita harus kasih contoh supaya tidak sama saja dengan yang lain.

Menurut Anda, perlu atau tidak kuota khusus pencalonan untuk anak muda di parpol?

Sebagai partai baru kita harus trial and error. Kita coba kalau salah diperbaiki. Kita coba semua dipegang anak muda, orang tua saya minta untuk membimbing, itu dahsyat lho, saya dapat cerita karena cucunya yang pegang [jabatan pengurus PKN], neneknya semangat bantu, bangunan rumah neneknya yang tidak terpakai dibuat jadi sekretariat, jadi tujuan kita jalan.

Kelemahan anak muda ini kan pengalaman, ini kita harus jaga jangan sampai trauma berpolitik, berat ini, jadi kita enggak langsung berikan ke [jabatan] seperti politisi yang sudah mahir. Kita harus jaga. Kita berikan ruang maksimal, tetapi kita jaga. Contohnya, kalau dia cocok main di U-17 jangan dipaksakan main di U-21 atau U-23, harus disesuaikan kecuali yang brilian sekali boleh kita kasih lompatan.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Fahreza Rizky

tirto.id - News
Reporter: Fahreza Rizky
Penulis: Fahreza Rizky
Editor: Maya Saputri