Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Putusan Etik Firli Bahuri yang Buat Taji Dewas KPK Dipertanyakan

Zaenur menilai Dewas KPK kerap tidak tegas dalam penegakan etik kepada pimpinan KPK pada periode kepemimpinan Firli Bahuri.

Putusan Etik Firli Bahuri yang Buat Taji Dewas KPK Dipertanyakan
Ketua KPK Firli Bahuri (kedua kanan) menyapa awak media saat akan melakukan konferensi pers terkait penahanan mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (3/4/2023).ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kembali lolos dari masalah etik. Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan tidak ada bukti keterlibatan Firli dalam kasus yang dilaporkan eks Deputi Penindakan KPK, Irjen Polisi Endar Prihartono terkait dugaan pembocoran dokumen penyelidikan korupsi di Kementerian ESDM.

“Dewan Pengawas KPK memutuskan bahwa laporan saudara Endar Priantoro dan 16 pelapor lainnya yang menyatakan saudara Firli Bahuri melakukan kode etik membocorkan tentang rahasia negara adalah tidak terdapat cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik,” kata Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, dalam konferensi pers di Gedung ACLC KPK, Senin (19/6/2023).

Dewas KPK juga menyebut tak menemukan bukti pelanggaran dugaan bocornya dokumen penyelidikan kasus korupsi di Kementerian ESDM.

“Bahwa tiga lembar kertas yang ditemukan pada waktu penggeledahan tidak identik pada hasil trans-informasi yang dibuat oleh penyelidik KPK,” kata Tumpak.

Selain itu, Tumpak juga mengatakan, tidak ada bukti komunikasi antara Pejabat Eselon II Kementerian ESDM, Muhammad Idris Frayoto Sihite dengan Firli Bahuri. Begitu juga dengan Menteri ESDM, Arifin Tasrif.

“Tidak ditemukan komunikasi saudara Menteri Arifin Tasrif yang memerintahkan saudara Idris Sihite untuk menghubungi saudara Firli,” kata dia.

Sontak, sikap Dewas KPK tersebut memantik kritik dari pegiat antikorupsi dan eks pegawai KPK, salah satunya Novel Baswedan. Ia menilai pegawai KPK yang bekerja saat ini dikelilingi pemimpin yang bermasalah.

“Kasihan kawan-kawan di KPK yang baik, justru sulit bekerja benar karena dikelilingi oleh pimpinan dan Dewas yang punya masalah serius tentang integritas," ujar Novel dalam keterangannya, Selasa, 20 Juni 2023.

Novel menilai kerja tim penindakan KPK akan semakin sulit di lapangan. Ia menyinggung salah satunya tentang risiko terjadinya serangan akibat kebocoran data penyelidikan dan penyidikan. Hal ini dinilai tidak hanya merugikan tim penindakan, melainkan instansi KPK secara umum.

“Bukan hanya merusak citra KPK, tapi juga meningkatkan risiko bagi pegawai KPK yang bekerja baik ketika turun ke lapangan. Ketika kegiatan mereka dibocorkan oleh pimpinan KPK atau oknum lain, dengan motif uang, kemudian pegawai KPK yang turun di lapangan bisa diserang oleh pihak yang sedang diamati/diawasi,” kata Novel.

Novel juga menyebut bahwa Dewas KPK seolah lupa bahwa pemberhentian Brigjen Endar dibuat sekitar tiga hari setelah penyidik dan penyelidik melakukan penggeledahan di Kementerian ESDM pada 27 Maret 2023, lalu menemukan adanya kebocoran dokumen yang diduga dilakukan Firli.

“Kasus kebocoran data/dokumen rahasia hasil penyelidikan jelas membuat perkaranya gagal. Tapi kemudian dibuat framing seolah kasus Tukin ESDM tetap berjalan dan tersangkanya ditahan. Ini pengalihan isu dan kebohongan, karena kasus yang dibocorkan adalah soal pengurusan IUP di ESDM, dan sukses tidak tertangkap," kata Novel.

“Ternyata kebohongan Firli dkk ditiru oleh Dewas KPK,” kata Novel menambahkan.

Hal senada juga diungkapkan mantan Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap. “Dari awal saya sudah tidak terlalu antusias Dewas akan mampu membongkar kasus pembocoran dokumen ataupun informasi penyelidikan kasus korupsi di Kementerian ESDM, karena saya paham kewenangan Dewas hanyalah seputar etik saja, patut atau tidak patut terkait perbuatan pimpinan atau pegawai KPK, apalagi Dewas tidak punya kewenangan memecat langsung pimpinan KPK yang melanggar etik,” kata Yudi.

Yudi mengatakan, Dewas KPK tidak punya kewenangan paksa seperti penegak hukum untuk dapat mencari alat bukti ataupun barang bukti memperkuat dugaan siapa pelaku pembocoran. Ia meyakini bukti yang didapatkan tidak sebaik penegak hukum atau penyidik.

Oleh karena itu, Yudi menyayangkan Dewas KPK yang mengumumkan hasil pemeriksaan mereka yang tidak menemukan pelanggaran etik di tengah adanya penyidikan yang sedang dilakukan oleh Polda Metro Jaya.

“Seharusnya Dewas yang sudah tahu hasil mereka tidak menemukan bukti sebaiknya menunggu saja hasil penyidikan Polda Metro Jaya. Walau begitu, tindakan Dewas ini tidak akan berpengaruh dalam proses penegakan hukum," kata Yudi.

Mantan Penyidik KPK ini yakin bahwa penyidik Polda Metro Jaya akan profesional dan objektif mengusut kasus kebocoran dokumen ini sebagai bagian mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Meskipun secara etik disebut tidak terpenuhi, Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Karyoto mengakui bahwa ada pelaporan dugaan kebocoran dokumen penyelidikan di ESDM. Ia akan menindaklanjuti temuan tersebut karena sudah ada dugaan tindak pidana.

“Dalam sebuah penanganan laporan tentang dugaan adanya perbuatan pidana, kami wajib menindaklanjuti semua bentuk laporan. Dari laporan yang kami kumpulkan, kalau tidak salah lebih dari 10 laporan tentang kebocoran informasi di ESDM," ujar Karyoto di Polda Metro Jaya, Selasa, 20 Juni 2023.

"Ya, kebetulan pada saat itu saya masih menjabat Deputi di situ (KPK). Sehingga sedikit banyak saya tahu tentang itu. Memang setelah dilakukan pemeriksaan awal ada beberapa pihak yang diklarifikasi, kami memang menemukan ada peristiwa pidana," sambung dia.

Dewas KPK Dinilai “Lembek”

Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (PUKAT) UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman mengaku tidak heran dengan putusan Dewas KPK yang tidak maksimal dalam menyidang etik Firli. Ia menilai Dewas KPK kerap tidak tegas dalam penegakan etik kepada pimpinan KPK pada periode Firli cs.

“Sejak awal memang saya tidak pernah optimis dengan proses dilakukan oleh Dewan Pengawas ya. Kenapa? Karena Dewan Pengawas sudah berkali-kali itu tidak menunjukkan sikap yang tegas dan keras atas pelanggaran-pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para pimpinan KPK,” kata Zaenur.

Ia pun mengungkit bagaimana sikap Dewas KPK yang melempem saat kasus Lili Pintauli Siregar. Saat itu, Lili yang dinilai jelas-jelas melanggar Pasal 36 UU KPK karena bertemu pihak berperkara tidak ditangani serius. Padahal, kata Zaenur, KPK menerapkan zero tolerance pada isu korupsi.

Zaenur juga melihat dari bagaimana Dewas KPK menyatakan kurang bukti dalam kasus Firli yang diduga terlibat pada upaya pembocoran dokumen penyelidikan di Kementerian ESDM. Ia menilai sikap Dewas KPK akan memalukan jika Polda Metro Jaya menemukan dugaan pidana dalam kasus kebocoran dokumen penyelidikan sementara putusan etik berhenti.

“Artinya Apa? Artinya ya Polda Metro Jaya saja bisa sampai pada tahap penyidikan. Artinya Polda Metro Jaya sudah mendapatkan alat bukti ya, sudah berhasil menemukan peristiwa pidananya ya, sudah juga memiliki alat bukti telah terjadinya tindak pidana gitu ya. Ini tinggal satu langkah lagi yaitu penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya gitu ya,” kata Zaenur.

“Menurut saya seharusnya Dewan Pengawas KPK bisa introspeksi diri, harusnya malu gitu ya kalah dengan proses yang dilakukan oleh kepolisian, apalagi proses penegakan etik seharusnya bisa lebih mudah dilakukan karena Dewan Pengawas itu bisa meminta keterangan di internal KPK, bisa melakukan audit di internal KPK, bisa mencari data-data di internal KPK sendiri tanpa harus melalui prosedur pro justisia sebagaimana yang harus dilakukan oleh Polda Metro Jaya,” kata Zaenur.

Zaenur menambahkan, “Itu menunjukkan sekali lagi memang Dewan Pengawas itu tidak bisa dijadikan sebagai tumpuan harapan publik dalam rangka penegakan etik, menjaga integritas di internal KPK.”

Oleh karena itu, Zaenur mendorong penyelidikan kepolisian dalam dugaan kebocoran dokumen penyelidikan kasus di Kementerian ESDM. Ia mengingatkan ada sejumlah pasal yang akan bisa dikenakan seperti pasal merintangi penyidikan (Pasal 21 UU Tipikor), hingga pimpinan KPK bisa dikenakan Pasal 36 UU KPK dengan sanksi 5 tahun penjara sesuai Pasal 65 UU KPK.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz